"Kau yakin!?" tanya Xavier ragu. Alexander mengangguk, lantas ia mengeluarkan rekaman ketika Rain menginterogasi pelayan yang memberikan minuman itu pada Shei. Wajah Xavier sudah memerah, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, sorot matanya terlihat sekali amarah yang begitu besar. Tidak dapat Xavier sangka, jika gadis yang ia tabrak ternyata memiliki niat jahat pada keluarga kecilnya. Bahkan ia dengan begitu beraninya menjebak putri kesayangannya. Putri yang begitu ia jaga sedari kecil. "Kita kumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu. Setelah itu kita jebloskan dia ke penjara," ujar Alexander datar. Xavier menggeleng, penjara? Tidak ia tidak setuju jika perempuan itu harus di penjara. Xavier lebih memilih untuk memberinya hukuman dengan tangannya sendiri. "Aku tidak setuju! Biar tanganku sendiri yang memberinya hukuman, karena ia tidak hanya membuat putriku menangis namun juga membuatku bertengkar dengan istriku! Entah apa yang di pikirka
"Ibu, apa sebegitu marahnya ibu terhadap Shei?" lirih Sheinafia ketika ia sudah berada di dalam kamarnya. Xavier memboyong anak-anaknya ke Mansionnya yang lain, sementara Nandini tetap berada di Mansion sebelumnya. Xavier kecewa terhadap istrinya, ia tidak menyangka jika Nandini akan bersikap egois seperti itu. Sebagai seorang ibu, seharusnya Nandini merengkuh sang putri. Bukan malah menyalahkannya. Kekecewaan Xavier begitu dalam, sehingga untuk saat ini ia lebih memilih untuk memenangkan dirinya. "Sayang, maafkan aku karena harus meninggalkanmu sendirian. Tunggu aku sampai bisa membuktikan jika gadis itu tidak seperti yang kamu pikirkan selama ini," lirih Xavier seraya menatap poto pernikahannya. Sementara Nandini, ia tengah berada di dalam kamarnya yang begitu mewah dan luas. Kosong, dan hampa yang ia rasakan. Suaminya memilih untuk pergi bersama dengan putra putrinya, kini ia tinggal sendiri. Nandini meraih poto pernikahannya, ia usap gamba
"Kamu masuk lewat pintu balkon?! Terus ke sini naik apa?!" tanya Sheinafia heran. Gadis cantik itu mau turun dari atas pangkuan Rain, namun lelaki tampan itu menahan tubuh Shei. Ia memeluk erat pinggang Sheinafia. "Aku mau turun," lirih Sheinafia. "Biarkan seperti ini dulu," gumam Rain. "Shei, bila esok kita menikah, maukah kamu?!" Sheinafia menatap wajah tampan Rain. Shei dapat melihat ketulusan dan cinta yang besar dari binar mata Rain. Rain menatap wajah cantik Sheinafia dengan begitu dalam. Seolah ia tidak bisa menikmatinya di esok hari. "Apa kamu yakin? Masalahnya kita masih sangat muda, aku ... takut," ucap Sheinafia pelan. Rain terdiam, tentu ia tahu bagaimana kekhawatiran Sheinafia. Mereka masih sangat muda, tentu tidak mudah membina rumah tangga di usia yang begitu muda. Secara ego mereka masih sangat tinggi. "Apa yang kamu takutkan, hmm?" tanya Rain seraya menyelipkan rambut yang menutupi wajah
"Sedang apa kau di sini, Rain!?" tanya Xavier datar. Rain maju mendekat ke arah Sheinafia yang berdiri di apit oleh kedua adiknya. Ia menatap penuh cinta pada Sheinafia. Seseorang yang sudah tertambat di hatinya semenjak mereka kecil. Lalu Rain mengalihkan pandangannya, menatap lelaki matang dengan rambut gondrong yang sengaja ia ikat. Ah calon ayah mertuanya, mirip sekali dengan mafia-mafia di luaran sana. "Maaf, Om. Jika saya memasuki kamar putri ...." Bugh Belum menyelesaikan ucapannya, sebuah pukulan mampir di rahang tegas Rain. Membuat lelaki itu reflek, mundur ke belakang akibat pukulan yang di berikan oleh Xavier. Sheinafia menjerit, kala melihat ayahnya memukul lelaki yang beberapa menit lalu mengajaknya menikah. "Ayah!" jerit Sheinafia. Lantas ia memeluk lengan kekar sang ayah. Sheinafia menggeleng dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. "Ayah, jangan pukuli Rain lagi. Kami tidak melakukan apapun, Rai
"Aku mau, malam ini detik ini juga mereka menikah!" tegas Xavier. Alexander langsung menegakkan tubuhnya, menatap serius pada Xavier. "Bukankah, mereka akan menikah tiga hari kemudian?!" Xavier menghembuskan nafasnya kasar, menatap lelaki yang sudah lama bersahabat dengannya. "Kau tahu bukan, Al. Jika aku tidak sedang bercanda," ucap Xavier datar. Alexander terkekeh. Sahabatnya itu memang susah di ajak bercanda jika tengah serius. Xavier menatap tajam pada Alexander. Namun, pria matang itu sama sekali tidak merasa takut. "Ok, malam ini! Di mana aku bisa mendapatkan penghulu sedangkan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Bagaimana jika pagi saja, Vier. Supaya Sheinafia juga bisa berdandan sedikit. Lihatlah putriku, matanya sembab, wajahnya pucat." "Ck, dia bukan putrimu! Dia putriku!" tegas Xavier yang tidak ingin membagi putri kecilnya dengan orang lain, meskipun itu calon mertua Sheinafia.
[Maafkan, jika saya harus memberi kabar yang mengejutkan untuk anda. Tapi mobil yang tuan Rain dan Alexander mengalami kecelakaan. Dan mereka tidak selamat.] Deg Xavier mematung. Ponselnya bahkan terjatuh ke lantai, ia tidak dapat mempercayai kabar yang di berikan oleh anak buahnya. Lelaki tampan itu menoleh menatap sang kakak. "Temani aku mencari kabar Rain, aku tidak bisa mempercayai apa yang di kabarkan oleh anak buahku. Jasmine, Alarich dan kalian tolong jaga Shei, jangan sampai ia mendengar kabar ini. Sebelum aku memastikannya sendiri," ucap Xavier datar. Alarich, Sean dan Samudera langsung berdiri. Ketika Samudera ingin ikut dengan sang ayah, Xavier terlihat menggelengkan kepalanya. Sehingga membuat Samudera urung. Arshaka dan Abrian mengikuti langkah kaki Xavier. Terlihat sekali jika lelaki itu begitu khawatir. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Arshaka hanya bisa berharap jika Rain baik-baik saja. "Tuan, bagaimana apa pernikahannya ak
"Bang, Om Alexander sudah meninggal," seru Sean yang baru saja mendapatkan kabar dari ayahnya. Deg Baik Sheinafia, Alarich dan Namilea, ketiganya mematung mendengar kabar yang baru saja di lontarkan oleh saudara kembar Samudera. Sean sendiri terdiam kala ia menatap wajah pucat sang kakak. Bruk "Shei." "Kakak." Alarich dan Namilea sontak panik, kala melihat Sheinafia tidak sadarkan diri. Alarich langsung menggendong sang sepupu, dan menyuruh Sean untuk memanggilkan seorang dokter. Namilea, Melati dan Jasmine mengikuti Alarich. Pria tampan itu merebahkan Sheinafia di atas ranjang mewah itu. Namilea langsung mendekati, dan memegang lembut tangan itu. "Ma, aku akan keluar menemui si kembar terlebih dahulu. Tolong jaga Shei, sebentar lagi dokter akan datang." Namilea mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya terhadap putrinya. Ia begitu menyayangi Sheinafia seperti putri kandungnya sendiri.
"Tamatlah riwayatmu, tikus kecil," ucap Xavier seringaian di bibirnya terlihat begitu menakutkan. Nandini masih berusaha memberontak dari pelukan sang kakak. Ia tidak tega jika sampai Syifa di beri hukuman berat oleh suaminya. Abrian memeluk begitu erat tubuh sang adik. Nandini menangis kala Xavier menyeret Syifa dengan sangat kasar. "Kak, kasihan Syifa. Mas Xavier menariknya dengan sangat kasar kak. Tolong gadis itu, ia sendirian tidak mempunyai siapa ...." Ucapan Nandini terpotong oleh Arshaka. "Stop, Nandini. Asal kamu tahu, gadis itu yang menjebak putriku, Shei. Dan gadis itu pula yang membuat mobil Alexander dan Rain kecelakaan," hardik Arshaka. Ia kesal menatap adik iparnya yang masih saja berusaha untuk menyelamatkan orang yang justru sudah membuat putrinya celaka. Beruntung beberapa saat yang lalu, Alarich menghubunginya dan berkata jika semua ini adalah perbuatan Syifa. Nandini terdiam kala mendengar ucapan A