"Bang, Om Alexander sudah meninggal," seru Sean yang baru saja mendapatkan kabar dari ayahnya. Deg Baik Sheinafia, Alarich dan Namilea, ketiganya mematung mendengar kabar yang baru saja di lontarkan oleh saudara kembar Samudera. Sean sendiri terdiam kala ia menatap wajah pucat sang kakak. Bruk "Shei." "Kakak." Alarich dan Namilea sontak panik, kala melihat Sheinafia tidak sadarkan diri. Alarich langsung menggendong sang sepupu, dan menyuruh Sean untuk memanggilkan seorang dokter. Namilea, Melati dan Jasmine mengikuti Alarich. Pria tampan itu merebahkan Sheinafia di atas ranjang mewah itu. Namilea langsung mendekati, dan memegang lembut tangan itu. "Ma, aku akan keluar menemui si kembar terlebih dahulu. Tolong jaga Shei, sebentar lagi dokter akan datang." Namilea mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya terhadap putrinya. Ia begitu menyayangi Sheinafia seperti putri kandungnya sendiri.
"Tamatlah riwayatmu, tikus kecil," ucap Xavier seringaian di bibirnya terlihat begitu menakutkan. Nandini masih berusaha memberontak dari pelukan sang kakak. Ia tidak tega jika sampai Syifa di beri hukuman berat oleh suaminya. Abrian memeluk begitu erat tubuh sang adik. Nandini menangis kala Xavier menyeret Syifa dengan sangat kasar. "Kak, kasihan Syifa. Mas Xavier menariknya dengan sangat kasar kak. Tolong gadis itu, ia sendirian tidak mempunyai siapa ...." Ucapan Nandini terpotong oleh Arshaka. "Stop, Nandini. Asal kamu tahu, gadis itu yang menjebak putriku, Shei. Dan gadis itu pula yang membuat mobil Alexander dan Rain kecelakaan," hardik Arshaka. Ia kesal menatap adik iparnya yang masih saja berusaha untuk menyelamatkan orang yang justru sudah membuat putrinya celaka. Beruntung beberapa saat yang lalu, Alarich menghubunginya dan berkata jika semua ini adalah perbuatan Syifa. Nandini terdiam kala mendengar ucapan A
"Menangislah, Yah. Namun setelah ini, kita harus kuat. Demi kakak, dia membutuhkan kita, kakak pasti akan sangat kehilangan. Kak Rain dan om Alexander, mereka pergi dengan begitu mendadak. Kita harus kuat, karena jika kita rapuh siapa yang akan menguatkan kakak. Dia adalah segalanya bagiku, dan bagi Ayah serta Samudera. Oleh karena itu, kita harus bangkit. Di depannya jangan sampai ada air mata yang terjatuh." Xavier mengangguk di dalam pelukan sang putra. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama baru kali ini ia kembali menangis. Seorang lelaki paling pantrang menangis, namun tidak berlaku dengan Xavier. Meskipun di luar ia terlihat datar dan dingin, namun hatinya begitu lembut. "Perempuan itu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Air mata yang sudah kakak kalian keluarkan, akan ia bayar." Sean dan Samudera mengangguk. Merasa sudah lebih tenang, si kembar mengajak Xavier kembali masuk. Mereka pun sudah tidak sabar untuk member
Para laki-laki bertubuh kekar itu tampak menatap lapar, pada tubuh Syifa yang tengah kepanasan akibat obat perangsang yang di berikan oleh Xavier. Xavier benar-benar memberikan hukuman yang sama seperti kejahatan yang di lakukan oleh Syifa pada putrinya. Kesakitan dan juga kesedihan dan air mata yang keluar dari kedua mata indah Sheinafia harus di tebus lunas oleh Syifa. "Am-pun," ringis Syifa. Entah sudah berapa lelaki yang masuk ke dalam tubuhnya. Kini ia terlentang di atas lantai dingin. Dengan keadaan yang begitu kacau. "Cuih, ini hanya sedikit balasan yang di berikan oleh bos kami kepadamu! Apalagi kau sudah membuat putrinya menderita. Kau salah pilih lawan," ucap salah satu dari mereka. "Lain kali, berpikir matang untuk menghadapi tuan kami. Entah apa yang akan terjadi padamu esok hari. Semoga saja kau tidak sampai mati, seperti musuh-musuh tuan yang lainnya," tambahnya. Salah satu dari mereka menendang kaki Syifa. Gadis itu su
[Vier, kamu di mana? Jasad yang terbakar di dalam mobil itu tengah di otopsi, dan kabar buruknya, kemungkinan jasad-jasad itu adalah Alexander dan juga Rain beserta kedua bodyguardnya.] Deg Xavier mematung di tempatnya, bahkan ponsel yang ia pegang sampai terjatuh. Bagaimana semuanya bisa sampai kacau seperti ini. Xavier meremat rambut gondrongnya, frustasi. Ia merasa menjadi ayah yang tidak berguna untuk putrinya. [Apa sudah pasti, Bri. Tolong pastikan dengan benar, jangan sampai terlewat satu pun. Kau tahu bukan, jika putriku begitu mengharapkan kehadiran lelaki itu. Bri, aku benar-benar bukan ayah yang baik, Bri.] Abrian mematung di tempatnya, mendengar suara Xavier yang begitu frustasi. Tidak hanya Xavier yang merasa hancur, ia pun sama. [Aku akan memastikan terlebih dahulu, Vier. Kita berdo'a, semoga saja jika jasad-jasad itu bukanlah Rain maupun Alexander. Jaga putriku, Vier.] [Aku akan kesana, biar Sheinafia bers
"Setelah jenazah di mandikan, dan dikafani. Anda bisa membawa mereka untuk menyalatkan dan juga memakamkannya." Xavier terdiam. Ia tidak dapat mencerna apa yang di ucapkan oleh perawat tersebut. "Maaf, apa boleh jika jenazah di shalatkan terlebih dahulu. Sebelum kami membawanya pulang," ujar Abrian. Perawat itu pun tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja, Tuan. Itu akan kami lakukan. Silahkan anda mengurus semua administrasi terkait jenazah. Supaya semuanya cepat selesai. " Abrian mengangguk, lalu ia menatap putranya. Dan menepuk bahunya, "Jaga ayahmu, Nak. Papa akan mengurus semua administrasi," ucap Abrian pada Samudera. Samudera mengangguk. Abrian berlalu, ke empat jenazah itu tampak mulai di urus. Xavier terduduk di atas kursi tunggu. Tatapannya terlihat kosong, shock dan juga tak percaya akan kabar yang ia dapat. "Bagaimana dengan kakakmu, Sam. Ayah bingung, entah harus seperti apa berbicara padanya. Dia pa
"Shei!" Para lelaki Romanov seketika berteriak, ketika melihat Sheinafia luruh di dalam pelukan Xavier. Perempuan muda itu jatuh, tidak sadarkan diri. Xavier bahkan sudah merasakan panik, ketika sang putri sudah pingsan. Tanpa berpikir panjang, lelaki matang itu segera membawanya menuju kamar Sheinafia. Arshaka mengikuti langkah kaki sang adik, sedangkan Abrian dan yang lainnya bertugas meneruskan acara pemakaman. Pemakaman tersebut hanya di isi oleh keluarga inti saja, sebab Zaderta sama sekali tidak memiliki keluarga selain Rain. "Papa tidak menyangka jika akhir dari keluarga Zaderta akan seperti ini, Al. Kasihan Alexander, ia sama sekali tidak mempunyai keluarga selain putranya, Rain Alexander Zaderta." Alarich pun terdiam, ia masih mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka. Sedari dulu,Rain terlihat tidak begitu menyukai sang sepupu, lelaki itu selalu menatap Sheinafia dengan tatapan permusuhan. Namun, Sheinafia sama sekali tid
Xavier menatap Syifa dengan datar dan dingin. Masa hukuman wanita muda itu akan Xavier percepat. Kematian, adalah hukuman yang paling tepat untuk wanita ular seperti Syifa. "Bagaimana rasanya hmm? Di gagahi oleh beberapa pria?" tanya Xavier dingin. Syifa hanya diam. Tidak menjawab apapun ucapan Xavier. Lelaki matang itu tersenyum smirk. "Sudah saatnya kematian menjemputmu! Kau ingin cara cepat atau lambat hmm?!" Syifa tersenyum sinis," Aku tidak perduli!" Xavier tertawa, lantas ia menyuruh salah seorang anak buahnya untuk mengambil sebuah pedang. Tidak ada raut ketakutan dari wajah wanita muda itu. Kini, Xavier memegang pedang yang sebentar lagi akan menghujam tubuhnya. Syifa sudah pasrah, toh hidup pun tidak mungkin sebab ia hanya sebatang kara. "Ada yang ingin kau ucapkan untuk yang terakhir kalinya?" Syifa tertawa sinis. Ia dengan berani menatap nyalang pada Xavier. "Tidak ada! Aku hanya berha
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia