"Menangislah, Yah. Namun setelah ini, kita harus kuat. Demi kakak, dia membutuhkan kita, kakak pasti akan sangat kehilangan. Kak Rain dan om Alexander, mereka pergi dengan begitu mendadak. Kita harus kuat, karena jika kita rapuh siapa yang akan menguatkan kakak. Dia adalah segalanya bagiku, dan bagi Ayah serta Samudera. Oleh karena itu, kita harus bangkit. Di depannya jangan sampai ada air mata yang terjatuh." Xavier mengangguk di dalam pelukan sang putra. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama baru kali ini ia kembali menangis. Seorang lelaki paling pantrang menangis, namun tidak berlaku dengan Xavier. Meskipun di luar ia terlihat datar dan dingin, namun hatinya begitu lembut. "Perempuan itu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Air mata yang sudah kakak kalian keluarkan, akan ia bayar." Sean dan Samudera mengangguk. Merasa sudah lebih tenang, si kembar mengajak Xavier kembali masuk. Mereka pun sudah tidak sabar untuk member
Para laki-laki bertubuh kekar itu tampak menatap lapar, pada tubuh Syifa yang tengah kepanasan akibat obat perangsang yang di berikan oleh Xavier. Xavier benar-benar memberikan hukuman yang sama seperti kejahatan yang di lakukan oleh Syifa pada putrinya. Kesakitan dan juga kesedihan dan air mata yang keluar dari kedua mata indah Sheinafia harus di tebus lunas oleh Syifa. "Am-pun," ringis Syifa. Entah sudah berapa lelaki yang masuk ke dalam tubuhnya. Kini ia terlentang di atas lantai dingin. Dengan keadaan yang begitu kacau. "Cuih, ini hanya sedikit balasan yang di berikan oleh bos kami kepadamu! Apalagi kau sudah membuat putrinya menderita. Kau salah pilih lawan," ucap salah satu dari mereka. "Lain kali, berpikir matang untuk menghadapi tuan kami. Entah apa yang akan terjadi padamu esok hari. Semoga saja kau tidak sampai mati, seperti musuh-musuh tuan yang lainnya," tambahnya. Salah satu dari mereka menendang kaki Syifa. Gadis itu su
[Vier, kamu di mana? Jasad yang terbakar di dalam mobil itu tengah di otopsi, dan kabar buruknya, kemungkinan jasad-jasad itu adalah Alexander dan juga Rain beserta kedua bodyguardnya.] Deg Xavier mematung di tempatnya, bahkan ponsel yang ia pegang sampai terjatuh. Bagaimana semuanya bisa sampai kacau seperti ini. Xavier meremat rambut gondrongnya, frustasi. Ia merasa menjadi ayah yang tidak berguna untuk putrinya. [Apa sudah pasti, Bri. Tolong pastikan dengan benar, jangan sampai terlewat satu pun. Kau tahu bukan, jika putriku begitu mengharapkan kehadiran lelaki itu. Bri, aku benar-benar bukan ayah yang baik, Bri.] Abrian mematung di tempatnya, mendengar suara Xavier yang begitu frustasi. Tidak hanya Xavier yang merasa hancur, ia pun sama. [Aku akan memastikan terlebih dahulu, Vier. Kita berdo'a, semoga saja jika jasad-jasad itu bukanlah Rain maupun Alexander. Jaga putriku, Vier.] [Aku akan kesana, biar Sheinafia bers
"Setelah jenazah di mandikan, dan dikafani. Anda bisa membawa mereka untuk menyalatkan dan juga memakamkannya." Xavier terdiam. Ia tidak dapat mencerna apa yang di ucapkan oleh perawat tersebut. "Maaf, apa boleh jika jenazah di shalatkan terlebih dahulu. Sebelum kami membawanya pulang," ujar Abrian. Perawat itu pun tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja, Tuan. Itu akan kami lakukan. Silahkan anda mengurus semua administrasi terkait jenazah. Supaya semuanya cepat selesai. " Abrian mengangguk, lalu ia menatap putranya. Dan menepuk bahunya, "Jaga ayahmu, Nak. Papa akan mengurus semua administrasi," ucap Abrian pada Samudera. Samudera mengangguk. Abrian berlalu, ke empat jenazah itu tampak mulai di urus. Xavier terduduk di atas kursi tunggu. Tatapannya terlihat kosong, shock dan juga tak percaya akan kabar yang ia dapat. "Bagaimana dengan kakakmu, Sam. Ayah bingung, entah harus seperti apa berbicara padanya. Dia pa
"Shei!" Para lelaki Romanov seketika berteriak, ketika melihat Sheinafia luruh di dalam pelukan Xavier. Perempuan muda itu jatuh, tidak sadarkan diri. Xavier bahkan sudah merasakan panik, ketika sang putri sudah pingsan. Tanpa berpikir panjang, lelaki matang itu segera membawanya menuju kamar Sheinafia. Arshaka mengikuti langkah kaki sang adik, sedangkan Abrian dan yang lainnya bertugas meneruskan acara pemakaman. Pemakaman tersebut hanya di isi oleh keluarga inti saja, sebab Zaderta sama sekali tidak memiliki keluarga selain Rain. "Papa tidak menyangka jika akhir dari keluarga Zaderta akan seperti ini, Al. Kasihan Alexander, ia sama sekali tidak mempunyai keluarga selain putranya, Rain Alexander Zaderta." Alarich pun terdiam, ia masih mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka. Sedari dulu,Rain terlihat tidak begitu menyukai sang sepupu, lelaki itu selalu menatap Sheinafia dengan tatapan permusuhan. Namun, Sheinafia sama sekali tid
Xavier menatap Syifa dengan datar dan dingin. Masa hukuman wanita muda itu akan Xavier percepat. Kematian, adalah hukuman yang paling tepat untuk wanita ular seperti Syifa. "Bagaimana rasanya hmm? Di gagahi oleh beberapa pria?" tanya Xavier dingin. Syifa hanya diam. Tidak menjawab apapun ucapan Xavier. Lelaki matang itu tersenyum smirk. "Sudah saatnya kematian menjemputmu! Kau ingin cara cepat atau lambat hmm?!" Syifa tersenyum sinis," Aku tidak perduli!" Xavier tertawa, lantas ia menyuruh salah seorang anak buahnya untuk mengambil sebuah pedang. Tidak ada raut ketakutan dari wajah wanita muda itu. Kini, Xavier memegang pedang yang sebentar lagi akan menghujam tubuhnya. Syifa sudah pasrah, toh hidup pun tidak mungkin sebab ia hanya sebatang kara. "Ada yang ingin kau ucapkan untuk yang terakhir kalinya?" Syifa tertawa sinis. Ia dengan berani menatap nyalang pada Xavier. "Tidak ada! Aku hanya berha
Tidak terasa, setelah kejadian di mana kejadian demi kejadian berlalu. Sheinafia sudah memulai masa kuliahnya, bersama Alarich, yang selalu setia menemaninya kemana pun gadis itu pergi. Rain? Lelaki pertama yang menyentuh Sheinafia, kini telah tiada. Meninggalkan sejuta kenangan yang menyesakkan. "Shei," suara barithon itu mengalun indah menyapa indera pendengarannya. Lantas ia pun langsung berbalik, tampak Alarich menghampiri Sheinafia. Ia tidak pernah meninggalkan gadis itu sendirian lagi. Alarich takut, kejadian kemarin kembali menimpanya. "Al," sapa Sheinafia ceria. Alarich tersenyum lantas mengelus lembut puncak kepala Sheinafia, membuat siapa saja merasakan iri. Apalagi para mahasiswi yang mencuri pandang ke arah mereka berdua. "Bagaimana hari pertamamu? Lancar? Apakah ada orang yang berbuat jahat padamu?" tanya Alarich beruntun. Sheinafia terkekeh kecil, Alarich yang akan bersikap datar dan dingin pada orang lain
"Shei, ingat selalu hati-hati. Jika ada sesuatu segera kabari aku," ujar Alarich begitu ia sampai di gedung tempat Sheinafia belajar. Sheinafia mengangguk dan tersenyum lembut. Alarich mengantarkan gadis cantik itu sampai masuk ke dalam kelasnya. Banyak yang berpikir jika mereka adalah pasangan kekasih. Namun, nyatanya Sheinafia dan Alarich hanya pasangan sepupu. Alarich begitu menyayangi Sheinafia. "Hmm, kamu tenang aja, Al," ujar Sjheinafia tertawa pelan. "Kelas kita tidak jauh loh, tidak perlu khawatir seperti itu. I'm fine, and you know that," lanjut Sheinafia. Alarich mengangguk mencoba memahami jika gadis di hadapannya berusaha untuk kuat. "Hmm, aku mengerti kamu memang wanita kuat. Aku akan kembali ke kelas, tetap ingat jika sampai terjadi sesuatu apapun itu. Segera kabari aku!" tegas Alarich. "Ya, kamu tenang saja Al. Sana masuk ke kelasmu. Sepertinya sebentar lagi dosenku masuk." Alarich pun me