Dokter tampak memeriksa Sheinafia yang tengah tidak sadarkan diri itu. Nandini sudah sangat khawatir dan panik, lagi dan lagi putrinya pingsan. "Mas, putri kita akan baik-baik saja bukan?" tanya Nandini khawatir. Xavier tidak mengatakan apapun. Ia pun bingung harus berkata apa, sebab dirinya sama khawatirnya seperti istrinya. Beberapa saat kemudian, dokter pun sudah selesai memeriksa Sheinafia. Xavier langsung menghampirinya. "Bagaimana? Putriku baik-baik saja bukan?" tanya Xavier khawatir. Dokter pun mengulas senyumnya. "Nona baik-baik saja, Tuan Romanov. Hanya saja ia sedikit shock karena mungkin Mansion ini mengingatkan pada beberapa kenangan yang sudah ia lewati selama ini. Dan saya rasa, ingatan nona perlahan sudah pulih. Tapi saya harap anda tidak membiarkan nona terlalu keras berpikir, sebab itu akan berpengaruh pada kesehatannya." Xavier mengangguk. Ia mengerti, putrinya pasti mulai mengingat setiap kenangan yang sudah mereka lew
Nandini memeluk erat tubuh Sheinafia. Ia senang sekaligus lega, sebab sang putri sudah kembali ingatannya. Benar, rumah tempat pertama yang menjadi kembalinya ingatan sang putri. "Ibu senang sekali, Sayang. Akhirnya kamu sudah mengingat kami semua," ucap Nandini. Sheinafia mengangguk, Xavier menghampiri sang putri. Dan mengecup lembut puncak kepalanya. Sheinafia menatap sang ayah. Lelaki pertama yang ia cintai. "Ayah, bagaimana ujian Shei?" tanyanya cemas. Xavier tersenyum. Putrinya pasti mengingat tentang sekolahnya, padahal keadaannya belum pulih sepenuhnya. "Kamu tenang saja, Sayang. Alarich sudah membawakan kertas ujianmu, Nak dan ...." "Aku sudah mengerjakannya. Jadi kamu tenang saja." Mendengar perkataan Alarich membuat Sheinafia memberengut. Apa-apaan, mengisi jawaban ujian miliknya. Alarich yang di tatap seperti itu oleh Sheinafia langsung menyembunyikan tubuh besarnya di belakang tubuh mungil sang ibu, Namilea. Memeluk erat t
"Ya Tuhan, semoga saja dia tidak apa-apa!" Xavier membawa gadis yang di tabraknya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan ia menghubungi Abrian, jika dirinya akan datang terlambat ke perusahaan. Ada hal yang terjadi, sehingga membuatnya datang terlambat. Xavier juga menghubungi sang istri, tidak ingin membuatnya khawatir bila dirinya tidak memberitahukan kabar. Nandini yang kebetulan tengah berada bersama Sheinafia, tampak kaget kala ponselnya berbunyi. [Ya, Sayang? Ada apa?] [Sayang, kamu sedang apa?] Nandini mengerutkan keningnya, tidak biasanya sang suami menghubunginya sepagi ini. Biasanya ia akan menghubungi dirinya ketika akan menuju makan siang. Meskipun kenyataannya bila sekedar mengabari melalui pesan mereka sering lakukan. [Aku tengah menemani Shei, Mas. Kenapa? Tumben kamu meneleponku, kamu baik-baik saja'kan Mas?] Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Entah harus seperti apa ia menjelaskannya pada sang istri.
Nandini menatap gadis yang baru saja histeris. Entah apa yang terjadi di dalam hidup gadis itu. Namun, Nandini dapat melihat jika ia begitu tergoncang. Berbeda dengan Xavier, ia hanya menatap datar pada Syifa. Pria dingin itu bukannya tidak berempati, hanya saja ia memang seperti itu jika bertemu dengan orang baru. "Mas, dia tertabrak di mana?" tanya Nandini. Xavier yang mendengar suara Nandini langsung menoleh pada istri tercintanya. Menatap dalam wajah yang selalu menjadi penyemangatnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tepatnya di sebelah mana. Hanya saja jika tidak salah, beberapa meter dari Mansion kita. Dia tiba-tiba berlari, dan aku tidak bisa menghindari dari kecelakaan. Hanya saja yang membuat aku janggal, mengapa dia berada di jalanan menuju Mansion kita sedangkan kamu tahu Sayang. Jarak dari jalan utama menuju jalan Mansion kita itu jauh, dan juga tidak sembarangan orang bisa memasuki jalanku." Nandini terdiam mendengar penjelasan Xavier, mema
"Mengapa hatiku rasanya sakit sekali, aku tidak tahu mengapa! Hanya saja tiba-tiba hatiku rasanya seperti tertusuk jarum." Saat ini, Sheinafia tengah duduk di beranda belakang rumahnya. Ia menatap hamparan bunga yang tertanam di sana. Meskipun mungkin matanya menatap bunga, tetapi pikiran Sheinafia entah berada di mana. Tatapan matanya pun terlihat begitu kosong. "Entah kenapa aku segelisah ini," monolog Sheinafia. Ia kembali menatap bunga-bunga yang memang sengaja di tanam oleh Nandini kala ia mengisi waktu luangnya. Nandini kerap kali mengisi waktunya dengan berkebun atau menyulam. "Shei," panggil Namilea. Sheinafia menoleh dan menatap Namilea, perempuan cantik yang seumur dengan ibunya. Wanita yang memiliki sikap yang begitu lembut dan ia jarang marah, begitu juga Nandini dan Melati. "Iya, Ma. Kenapa?" jawab Sheinafia dengan berteriak juga. "Aduh, Mama cari-cari kamu. Ternyata kamu di sini, Nak," tukas Namilea. Sheinafia ter
"Sayang, tolong kamu pikirkan kembali. Mengajaknya ke rumah, ke rumah kita!" Xavier masih menatap Nandini dengan tatapan datarnya. Entah kenapa anak buahnya pun tidak menemukan bukti apapun mengenai gadis itu. Itulah alasan mengapa Xavier tidak mau jika gadis itu di ajak tinggal bersama dengannya. Nandini hanya diam saja menatap Xavier. "Dia bisa tinggal di salah satu apartemen kita, tapi tidak di Mansion. Tolong mengertilah, kamu tahu aku bagaimana." Nandini tetap bungkam. Entah kenapa kali ini ia tidak sependapat dengan suaminya. "Tapi, Mas ...." "Please, untuk kali ini saja. Turuti aku, kamu tahu sayang. Aku bahkan tidak dapat menemukan bukti apapun mengenai gadis itu, siapa orang tuanya. Atau saudaranya." Nandini menghela nafasnya. Tak lama kemudian ia menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Mas. Aku setuju jika ia tidak tinggal di Mansion bersama kita. Tapi izinkan ia untuk selalu datang ke Mansion. KAPANPUN!" Xavi
Sore ini, Syifa di perbolehkan pulang. Karena ia tidak mengalami luka parah. Hanya beberapa luka gores di kedua lengan gadis itu. Wajah Xavier sama sekali tidak bersahabat semenjak tadi. Syifa pun hanya diam, menjaga image dirinya. Dan untuk memuluskan rencananya. "Nyonya, tidak perlu repot-repot. Saya bisa kembali ke tempat saya dulu, Panti Asuhan." Nandini tersenyum, dan mengelus lembut punggung tangan Syifa. Nandini begitu menyambut kedatangan Syifa. Berbeda dengan Xavier. "Tidak apa-apa. Tapi maaf jika aku tidak bisa mengajakmu tinggal di Mansion bersamaku. Kamu akan tinggal di apartemen dan nanti ada pelayan yang akan menemanimu. Kamu juga sesekali bisa mengunjungi kami di Mansion." Syifa menyunggingkan senyumnya. Sementara Xavier tampak mendengarkan saja obrolan mereka berdua. Ponsel Xavier tiba-tiba berbunyi, nama sang putri tampak menghiasi layar ponselnya. [Ya, Sayang. Ada apa?] Ucapan Xavier terdengar begitu hangat. Berbeda
"Pergilah beristirahat, supaya kamu lekas sembuh," ucap Nandini dingin. Sheinafia mematung kala mendengar perkataan yang terlontar dari bibir sang ibu. Baru kali ini, Nandini bersikap seperti itu padanya. Sheinafia heran, bagaimana bisa sikap sang ibu berubah. Sementara sebelum ia pergi ke rumah sakit, sikapnya masih seperti biasa. "Pergilah! Ibu ingin sendiri," tukas Nandini. Sheinafia pun memilih untuk meninggalkan sang ibu. Meski hatinya remuk redam, sesak dan juga sakit mendapat penolakan seperti ini. Alarich berdiri di depan pintu kamar Nandini, ia menatap wajah sedih dan sayu Sheinafia. "Kenapa?" tanyanya lembut. Sheinafia mendongak menatap wajah Alarich dan memaksakan senyumnya, "Aku tidak apa-apa, Al. Kamu sedang apa? Mau bertemu ibu?" tanya Sheinafia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Namun, Al sudah hafal bagaimana sifat dan sikap Sheinafia. Dan ia tahu, jika Sheinafia tengah menyembunyikan