Saat ini, Sheinafia sudah di pindahkan ke ruang perawatan. Gadis itu sudah keluar dari ruang ICU. Xavier dan Nandini menghembuskan nafas lega. Kondisi Sheinafia di nyatakan baik-baik saja, meski ia baru terbangun dari koma. Kini di ruangan itu, ada Xavier dan yang lainnya. Mereka penasaran dengan keadaan Sheinafia. Gadis itu terlihat menatap sekumpulan manusia tersebut dengan kening yang berkerut. "Kalian siapa?" Deg Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Sheinafia barusan. Semua shock meski efek dari penawar itu sudah di beri tahu sebelumnya. Nandini maju, ia menatap lembut wajah cantik sang putri. Meskipun masih terlihat pucat, namun tidak menghilangkan kecantikan Sheinafia. "Nak?" panggil Nandini lembut. Sheinafia tidak menjawab, ia hanya menatap wajah lembut Nandini. Dan kembali melihat ke yang lain. "Nak," Nandini kembali memanggil. "Perkenalkan namaku, Nandini dan pria yang memakai kemeja putih itu suamiku, namanya Xavier.
Tidak terasa sudah satu bulan lamanya Sheinafia di rawat di rumah sakit. Perlahan keadaannya sudah membaik, ia sudah bisa kembali menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya saja ingatannya masih hilang. Nandini sudah berusaha untuk mengembalikan lagi ingatan sang putri, namun nihil. "Nak, hari ini kita pulang ke rumah. Alhamdulillah setelah satu bulan lamanya kamu di rawat, akhirnya bisa pulang juga," ujar Nandini lembut. Sheinafia menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya bertambah tua. Namun tidak melunturkan kecantikan Nandini, tubuhnya masih kencang dan juga segar. "Iya, Ibu. Alhamdulillah Sheinafia bisa pulang. Maafkan Sheinafia karena belum bisa mengingat ayah dan ibu. Ingin sekali Sheinafia segera mengingatnya, tetapi sulit," lirih gadis yang memakai jaket rajut berwarna putih itu . Nandini tersenyum, lalu menghampiri putrinya. "Tidak jangan di paksakan, Nak. Biarkan semua mengalir apa adanya." Sheinafia pun mengangguk dan tersen
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di Mansion yang begitu luas nan indah. Hamparan bunga menghiasi sepanjang jalan masuk menuju Mansion Romanov. Rumah yang sudah beberapa belas tahun ia tinggali. Sheinafia mengarahkan pandangannya ke taman kecil, di mana terdapat kursi kecil di tengah-tengah taman. Sangat indah dan menenangkan. "Ayo turun, Sayang. Kita sudah sampai." Sheinafia menatap sang Ibu dan tersenyum lembut. Mata hazel yang di turunkan Nandini padanya begitu terlihat terang. Menambah kecantikan Sheinafia berkali lipat. "Ibu, apa ini rumahku?" tanya Sheinafia pelan. Nandini mengangguk. "Ya, Sayang. Ini rumahmu, tempatmu tumbuh dewasa. Saksi bagaimana nakalnya seorang gadis kecil bernama Sheinafia Azalea Romanov ketika menjahili adik-adiknya." Sheinafia terkekeh. Begitu ia menginjakkan kakinya di tangga pertama, samar kenangan ketika ia berlarian bersama adik-adiknya menari-nari dalam kepalanya. Membuat Sheinafia sedikit meringis.
Dokter tampak memeriksa Sheinafia yang tengah tidak sadarkan diri itu. Nandini sudah sangat khawatir dan panik, lagi dan lagi putrinya pingsan. "Mas, putri kita akan baik-baik saja bukan?" tanya Nandini khawatir. Xavier tidak mengatakan apapun. Ia pun bingung harus berkata apa, sebab dirinya sama khawatirnya seperti istrinya. Beberapa saat kemudian, dokter pun sudah selesai memeriksa Sheinafia. Xavier langsung menghampirinya. "Bagaimana? Putriku baik-baik saja bukan?" tanya Xavier khawatir. Dokter pun mengulas senyumnya. "Nona baik-baik saja, Tuan Romanov. Hanya saja ia sedikit shock karena mungkin Mansion ini mengingatkan pada beberapa kenangan yang sudah ia lewati selama ini. Dan saya rasa, ingatan nona perlahan sudah pulih. Tapi saya harap anda tidak membiarkan nona terlalu keras berpikir, sebab itu akan berpengaruh pada kesehatannya." Xavier mengangguk. Ia mengerti, putrinya pasti mulai mengingat setiap kenangan yang sudah mereka lew
Nandini memeluk erat tubuh Sheinafia. Ia senang sekaligus lega, sebab sang putri sudah kembali ingatannya. Benar, rumah tempat pertama yang menjadi kembalinya ingatan sang putri. "Ibu senang sekali, Sayang. Akhirnya kamu sudah mengingat kami semua," ucap Nandini. Sheinafia mengangguk, Xavier menghampiri sang putri. Dan mengecup lembut puncak kepalanya. Sheinafia menatap sang ayah. Lelaki pertama yang ia cintai. "Ayah, bagaimana ujian Shei?" tanyanya cemas. Xavier tersenyum. Putrinya pasti mengingat tentang sekolahnya, padahal keadaannya belum pulih sepenuhnya. "Kamu tenang saja, Sayang. Alarich sudah membawakan kertas ujianmu, Nak dan ...." "Aku sudah mengerjakannya. Jadi kamu tenang saja." Mendengar perkataan Alarich membuat Sheinafia memberengut. Apa-apaan, mengisi jawaban ujian miliknya. Alarich yang di tatap seperti itu oleh Sheinafia langsung menyembunyikan tubuh besarnya di belakang tubuh mungil sang ibu, Namilea. Memeluk erat t
"Ya Tuhan, semoga saja dia tidak apa-apa!" Xavier membawa gadis yang di tabraknya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan ia menghubungi Abrian, jika dirinya akan datang terlambat ke perusahaan. Ada hal yang terjadi, sehingga membuatnya datang terlambat. Xavier juga menghubungi sang istri, tidak ingin membuatnya khawatir bila dirinya tidak memberitahukan kabar. Nandini yang kebetulan tengah berada bersama Sheinafia, tampak kaget kala ponselnya berbunyi. [Ya, Sayang? Ada apa?] [Sayang, kamu sedang apa?] Nandini mengerutkan keningnya, tidak biasanya sang suami menghubunginya sepagi ini. Biasanya ia akan menghubungi dirinya ketika akan menuju makan siang. Meskipun kenyataannya bila sekedar mengabari melalui pesan mereka sering lakukan. [Aku tengah menemani Shei, Mas. Kenapa? Tumben kamu meneleponku, kamu baik-baik saja'kan Mas?] Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Entah harus seperti apa ia menjelaskannya pada sang istri.
Nandini menatap gadis yang baru saja histeris. Entah apa yang terjadi di dalam hidup gadis itu. Namun, Nandini dapat melihat jika ia begitu tergoncang. Berbeda dengan Xavier, ia hanya menatap datar pada Syifa. Pria dingin itu bukannya tidak berempati, hanya saja ia memang seperti itu jika bertemu dengan orang baru. "Mas, dia tertabrak di mana?" tanya Nandini. Xavier yang mendengar suara Nandini langsung menoleh pada istri tercintanya. Menatap dalam wajah yang selalu menjadi penyemangatnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tepatnya di sebelah mana. Hanya saja jika tidak salah, beberapa meter dari Mansion kita. Dia tiba-tiba berlari, dan aku tidak bisa menghindari dari kecelakaan. Hanya saja yang membuat aku janggal, mengapa dia berada di jalanan menuju Mansion kita sedangkan kamu tahu Sayang. Jarak dari jalan utama menuju jalan Mansion kita itu jauh, dan juga tidak sembarangan orang bisa memasuki jalanku." Nandini terdiam mendengar penjelasan Xavier, mema
"Mengapa hatiku rasanya sakit sekali, aku tidak tahu mengapa! Hanya saja tiba-tiba hatiku rasanya seperti tertusuk jarum." Saat ini, Sheinafia tengah duduk di beranda belakang rumahnya. Ia menatap hamparan bunga yang tertanam di sana. Meskipun mungkin matanya menatap bunga, tetapi pikiran Sheinafia entah berada di mana. Tatapan matanya pun terlihat begitu kosong. "Entah kenapa aku segelisah ini," monolog Sheinafia. Ia kembali menatap bunga-bunga yang memang sengaja di tanam oleh Nandini kala ia mengisi waktu luangnya. Nandini kerap kali mengisi waktunya dengan berkebun atau menyulam. "Shei," panggil Namilea. Sheinafia menoleh dan menatap Namilea, perempuan cantik yang seumur dengan ibunya. Wanita yang memiliki sikap yang begitu lembut dan ia jarang marah, begitu juga Nandini dan Melati. "Iya, Ma. Kenapa?" jawab Sheinafia dengan berteriak juga. "Aduh, Mama cari-cari kamu. Ternyata kamu di sini, Nak," tukas Namilea. Sheinafia ter