Alarich sontak berteriak ketika sudah sampai di pelataran rumah sakit. Ia berteriak meminta pertolongan pada para petugas medis yang ada di sana. Para dokter dan perawat langsung berlarian. Melihat putra dari Arshaka Dewangga Romanov berlari, sambil menggendong seorang perempuan. Mereka langsung meminta Alarich untuk merebahkan Sheinafia di atas brangkar. "Tolong, tolong lakukan apapun untuk kakakku," pinta Sean. Para dokter mengangguk dan langsung membawa Sheinafia ke ruangan gawat darurat. Sementara, Samudera masih berusaha mengejar pelaku. Namun sayang, orang itu menghilang membuat Samudera memaki. Tanpa pikir panjang, ia langsung menaiki motornya. Dan berlalu dari sekolah sang kakak menuju rumah sakit keluarga Romanov. Di tengah perjalanan ia menghubungi sang ayah. [Hallo, Son. Ada apa?] Sapa Xavier begitu ia mengangkat sambungan telepon dari salah satu putra kembarnya. [Yah, segera ke rumah sakit kita. Kak Shei seseorang melukainya. Aku liha
"Putriku." Xavier menjatuhkan tubuhnya di atas lantai dingin rumah sakit. Pria itu berlutut tepat di depan pintu ruangan ICU. Ponselnya sedari tadi menjerit, namun tidak ia angkat sebab Xavier tahu jika orang yang meneleponnya adalah sang istri. Pria itu meremat rambutnya dengan kasar. Meraup wajahnya, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya. Abrian menatap iba pada adik iparnya. "Vier bangun jangan seperti ini. Aku yakin Shei akan baik-baik saja." Alarich hanya diam menatap ayahnya yang hancur. Andai saja saat itu posisi Alarich tidak sedang membelakangi Shei, mungkin ia bisa mencegah semua ini terjadi. Ting Ponsel milik Alarich berbunyi. Ia melihat jika sang ibu yang mengirimkan pesan padanya. [Nak, apa kalian masih berada di sekolah? Ini sudah hampir sore tetapi kalian belum juga pulang ke rumah. Pulanglah ibu sudah membuat makanan kesukaan kalian bersama mama dan mommy kalian.] Alarich tidak langsung menjawab pesan sang ibu. Ia bingu
Nandini masih menangis di pelukan Namilea dan Melati. Mereka mencoba menenangkannya. Nandini terlihat rapuh dan hancur. "Mel, putriku akan baik-baik saja bukan?" tanyanya pada Melati. Melati dan Namilea saling berpandangan. Mereka tidak bisa mengatakan apapun, sebab keduanya pun tidak tahu bagaimana keadaan Sheinafia saat ini. Baik Abrian maupun Alarich serta si kembar, mereka belum memberi kabar apapun. Melati bingung, begitu juga dengan Namilea. "Kak, lebih baik sekarang kita ke rumah sakit hmm. Supaya kita tahu bagaimana keadaannya. Menunggu kabar dari yang lainnya pun tidak ada," tukas Melati. Namilea mengangguk. Akan lebih baik seperti itu, daripada berspekulasi atau menduga-duga. "Melati benar, kita siap-siap hmm. Kamu harus kuat, karena aku yakin jika suamimu pasti begitu hancur. Kalian harus saling mengingatkan, ada kami juga yang akan selalu mendukungmu," ujar Namilea lembut. "Aku bantu siap-siap ya, Kak. Kita akan segera m
Sean dan Samudera kini berada di kelas Sheinafia dan Alarich. Kedua pasang anak kembar itu menatap tajam ke sekeliling kelas. Satu persatu mereka teliti, namun di dalam kelas baik Sean dan Samudera mereka tidak menemukan apapun. Samudera bergerak ke arah luar. Lalu matanya memicing kala ia menatap ke arah rumput. Samudera bergerak ke arah sana dan berjongkok. "Jarum," gumam Samudera. Lalu ia mengambil sapu tangan, dan memasukkan jarum itu ke dalam sebuah kantong plastik. Samudera memanggil Sean, dan mengajaknya pergi dari sana. "Aku menemukan satu jarum, Sean. Aku yakin jika jarum ini yang di gunakan oleh orang itu. Aku tidak tahu motifnya melakukan hal itu, semoga kakak kita segera sadar. Supaya kita bisa bertanya lebih jauh mengenai orang tersebut," ujar Samudera datar. Sean hanya diam, namun di sela langkahnya mata tajamnya memindai lorong sekolah itu. Sepi, sebab semua orang sudah pulang. "Apa kau tidak merasa, jika sekolah ini seperti men
Alexander tampak masuk ke dalam ruang ICU. Ia menatap seorang gadis yang tengah tertidur dalam damai. Alexander tersenyum, lalu memegang tangan gadis itu dengan lembut. "Hai, Cantik. Selamat sore, Nak. Nyenyak sekali tidurmu, hmm. Tidak ingin bangun? Banyak orang yang menunggumu terbangun, lihatlah ayah dan ibu serta adik-adikmu menunggumu bangun. Ayahmu begitu hancur melihatmu seperti ini, Om baru pertama kali melihat ayahmu menangis dan hancur. Maka dari itu, Om mohon ayo bangun." Alexander terus mengajak Sheinafia berbicara, hingga tiga puluh menit lamanya ia berada di dalam. Kini giliran Rain yang masuk, laki-laki itu tidak langsung menghampiri Shei. Ia masih berdiri mematung di dekat pintu. Perlahan langkah kakinya membawa pria itu mendekat ke arah brankar Sheinafia. Ia dapat melihat banyaknya peralatan yang di gunakan untuk menyambung hidup. Rain meringis kala melihat wajah pucat Sheinafia. "Mengapa kau hobby sekali celaka?" tanya Rain datar dan kak
Abrian tampak mematung mendengar penjelasan Alexander. Ia sungguh tidak menyangka jika efek dari racun itu begitu dahsyat. Lantas bagaimana nasib putrinya jika sampai hal itu terjadi?. "Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Jika sampai apa yang kau ucapkan itu menjadi kenyataan? Tidak hanya putriku yang akan hancur, namun Xavier dia yang paling akan terpuruk atas kejadian ini. Ya Tuhan," gumam Abrian. Rain terdiam, tetapi pria itu terlihat mengepalkan tangannya dengan erat. Rain pun tidak dapat membayangkan semua itu. Sheinafia celaka akibat kecerobohannya. Andai saja ia lebih ketat mengawasi dan tidak terlalu mempercayai orang lain. Tentu ini semua tidak akan terjadi. "Bri, aku dan putraku akan berusaha membuat penawar dari racun tersebut. Namun sebelum itu, aku mohon untuk tidak memberi tahu ...." Perkataan Alexander terpotong oleh suara bariton yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Apa maksud semua ini?" tanya Xavier dingin. Xa
Nandini seketika pingsan kala mendengar apa yang di ucapkan oleh suster tersebut. Putrinya anfal, ia tengah berjuang di dalam sana. Xaver langsung memeluk tubuh lemah sang istri. "Vier, kenapa adikku?" tanya Arshaka panik. Xavier kalut. Ia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan sang kakak. Arshaka pun mengerti, lantas ia menggantikan sang adik menggendong Nandini dan membawanya ke ruang perawatan. "Tolong adikku, Dok!" Seorang dokter perempuan langsung menghampiri Arshaka yang sudah membaringkan Nandini di atas brangkar. Wajah Arshaka begitu panik, ia baru saja tiba di rumah sakit. "Bagaimana?" tanya Arshaka khawatir. "Nyonya hanya shock, Tuan. Selebihnya baik-baik saja." Arshaka mengangguk, lalu sang dokter pun berpamitan. Tak lama kemudian, Xavier masuk ke dalam ruangan. Arshaka menatap iba sang adik, lagi dan lagi kehidupannya di beri cobaan yang begitu berat. "Jaga istrimu. Biar putriku aku yang urus," ujar Arshaka
Pria yang menjadi tersangka penyuntikan Sheinafia, kini tengah menggelepar. Meregang nyawa, mulutnya sudah memuntahkan darah begitu banyak. Alexander menatap datar pada pria itu, darah yang mengalir di dalam diri Rain. Membuktikan jika pria itu memang keturunan sejati Zaderta. "Lihatlah, Sayang. Putra kita, ia begitu kejam. Persis ketika aku muda, andai kau masih berada di dunia ini. Tentu kau akan merasa bangga, atas putramu. Aku harap dia menjadi pria sejati, tidak sepeZrti ayah kandungnya." Setelah beberapa menit meregang nyawa. Akhirnya pria itu pun mati dalam keadaan mengenaskan. Di mana mulutnya mengeluarkan darah. Dan juga kulitnya yang melepuh seperti terbakar. Rain sendiri tengah menuju anak dari pria itu. Ia ingin bertanya perihal, mengapa ia memilih Sheinafia jika nyatanya ayahnya menyuruhnya random. Tok tok tok Pria muda nan tampan itu tampak mengetuk pintu sebuah rumah. Lama Rain menunggu hingga pintunya terbuka. Setelah menu