Nandini tampak tengah memakaikan sebuah bedong pada putrinya. Supaya sang putri merasakan kehangatan. Subuh ini mereka akan keluar dari rumah yang sudah di tempati oleh Nandini selama 9 bulan lamanya. Wanita muda itu tampak tersenyum kala melihat bayi mungilnya itu. Gadis kecil itu tampak menggeliat di dalam balutan kain hangat itu. Sangat menggemaskan. "Cantik sekali kamu nak, sayang sekali wajahmu sangat mirip sekali dengan ayahmu, ibu hanya kebagian sedikit saja ini. Hanya matamu saja yang mirip dengan ibu." Mbok Sekar ikut tersenyum kala melihat wajah ceria Nandini. Tadinya ia takut jika Nandini akan mengalami baby blouse. Sebab wajah si bayi begitu mirip sekali dengan suaminya. Mbok Sekar pun tahu bagaimana cerita hidup Nandini dari Jordhan. Pria itu menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidup gadis itu. Membuat Mbok Sekar merasa iba. "Sudah siap nak?" Nandini mengangguk. Ia hanya membawa keperluan sang bayi. Sebab barang-barang dia hanya
Nandini baru saja tiba di sebuah kampung kecil yang berada di Sukabumi. Sekar memilih kampung itu karena terletak jauh dari perkotaan. Dia yakin jika suami dari Nandini tidak akan dengan mudah menemukan keberadaan mereka. Walau sebenarnya Sekar merasakan berdosa karena telah memisahkan seorang anak dari ayahnya. Tetapi keadaan yang membuat mereka dengan sangat terpaksa membawa Nandini beserta sang bayi. Meski di tempat tinggal baru Nandini, di sana sangat susah sinyal tetapi setidaknya membuat Sekar dan Jordhan tenang. "Mas, kami sudah tiba di salah satu kampung yang berada di kota Sukabumi. Apabila kamu meneleponku dan ponselku tidak aktif kemungkinan di sana akan susah sinyal. Jadi aku memberi tahumu sekarang supaya nanti tidak terlalu kaget." Itulah kata-kata Sekar kepada Jordhan sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Dari kota Sukabumi menuju ke daerah kabupaten Sukabumi. Nandini memperhatikan sekelilingnya, hawa sejuk menyelimuti dirinya. "Mbok i
Xavier merenung. Ia sudah pasrah, dan hanya berharap pada takdir. Yang kelak akan mempertemukan mereka. Senyum Xavier tersungging kala mengingat ia sudah mempunyai seorang putri. Tapi ia pun sedih, sebab di saat Nandini hamil dirinya tidak ada. Dan di saat bayinya lahir pun ia tidak ada. "Maafkan, maafkan Daddy, Nak. Daddy banyak salah pada Mommy. Daddy berharap bila kelak kita berjumpa, bantu Daddy untuk membujuk Mommy, supaya ia mau memaafkan semua kesalahan yang telah Daddy lakukan padanya." Xavier pun tertidur dengan memeluk bantal yang dulu di pakai Nandini. Bantal itu tidak pernah di cuci. Sengaja supaya wanginya tidak hilang. * * Pagi menjelang, kicau burung tampak menyambut datangnya pagi. Embun yang masih menempel di dedaunan menambah hangat dan sejuknya udara di pagi hari. Nandini tampak sudah bangun sedari tadi. Beruntung si bayi sudah mulai anteung. Tidak menangis ataupun rewel seperti kemarin. Sheinafia atau Nandini me
Pagi itu, Nandini sudah terbangun sejak pukul 03 pagi. Kemarin Nandini dan si mbok sudah berbelanja membeli beberapa kebutuhan mereka untuk berdagang. Beruntung mereka mempunyai tetangga yang begitu baik dan ramah sehingga mau membantu mengantarkan mereka ke pasar. Nandini pagi ini akan memulai berdagang. Ia begitu semangat mempersiapkan olahan untuk dagangannya. Beruntung Sheinafia tidak rewel, bayi itu seakan mengerti jika sang ibu tengah berjuang untuk kehidupannya supaya lebih baik. "Shei tidak boleh rewel ya, Nak. Hari ini kita akan mulai berjualan. Do'a kan ibu supaya di hari pertama kita berjualan, laris manis," ucap Nandini pada si kecil Sheinafia. Si mbok tersenyum melihat interaksi keduanya. Padahal Nandini baru beberapa hari melahirkan, tetapi ia di paksa untuk menjadi kuat karena keadaan. "Hari ini mau berjualan apa dulu, Nak?" tanya si mbok. Nandini tersenyum, "Pagi ini kita akan jualan pisang goreng, bakwan jagung, kue lapis, kue
Mbok Sekar segera berlari begitu melihat Sheinafia berada di dalam gendongan pria tampan nan gagah itu. Ya meski saat ini usia Xavier sudah menginjak 30 lebih, tetapi yang ada di semakin matang. Wajahnya semakin berwibawa. Wajah mbok Sekar sudah tegang, ia takut jika pria itu mengenali anak yang tengah ia gendong itu. Jika itu sampai terjadi, pelarian Nandini akan berbuah percuma. Dengan nafasnya yang masih terengah-engah, ia meraih gadis kecil yang baru berusia beberapa bulan itu dari gendongan Xavier. "Ya Tuhan, maafkan cucu saya tuan! Barusan saya tak tinggal sebentar masuk ke dalam rumah, eh malah sudah kabur saja. Sekali lagi maafkan cucu saya, Tuan!" Si mbok berusaha berbicara dengan nada tenang. Supaya orang-orang yang ada di hadapannya tidak curiga. Si mbok tahu, bila ayah dari Sheinafia adalah orang penting di negaranya, beruntung Nandini belum kembali dari pasar. "Tidak apa-apa," jawab Xavier datar seperti biasanya. "Terima kasih tuan k
Jeduarr Bak di sambar petir di siang bolong. Abrian tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Bahkan ia sempat memegangi kupingnya untuk memastikan apa yang ia dengar. Lantas pria itu menatap Xavier yang tengah fokus menatap jalanan. Tetapi Abrian dapat melihat kegelisahan dalam mata tajam pria itu. Keduanya pun terdiam dengan fokus pada pikiran masing-masing. "Tadi siang, aku bertemu dengan anak kecil itu di sini," ujar Xavier begitu mobil berhenti di depan sebuah lapangan. Xavier memandangi sekeliling. Gelap sebab memang belum ada penerangan. Abrian pun ikut mengedarkan pandangannya, tetapi nihil tidak ada apapun. "Kamu yakin Vier! Di sini tidak ada siapa-siapa, tidak mungkin bukan jika tempat tinggal anak itu di sekitar sini! Atau kau bisa menelepon Mandor pembangunan tempat ini, siapa tahu dia mengetahui perihal anak bayi itu!" usul Abrian. Xavier menoleh, dan tersenyum dengan ide sahabatnya itu. "Boleh juga usulmu, aku akan menelepon Man
Xavier menemukan kemejanya yang dulu hilang. Ia pikir jika kemeja itu memang menghilang, sebab ia sudah mencarinya kemana pun tidak ketemu. Dan saat ini, ia sudah mengetahui jika istrinya lah yang menjadi tersangka pencurian kemeja itu. Xavier terkekeh menyadari kebodohannya. Menyuruh seluruh maid di rumahnya untuk mencari kemeja kesayangannya itu. Bahkan Jordhan pun sampai turun tangan, Xavier memeluk hangat kemeja itu yang sudah bercampur dengan wangi dari tubuh Nandini. "Ya Tuhan, mengapa aku tidak menyadari bila ternyata, istriku sendiri yang membawanya. Mungkin kemeja ini yang menjadi penawar rasa rindu Nandini dan bayiku," ucapnya narsis. Abrian menatap Xavier di pintu yang terbuka sedikit. Ia terpaku melihat Xavier yang tengah memeluk kemeja berwarna putih. "Bagaimana Bri?" tanya Xavier begitu ia sadar jika Abrian tengah berdiri di dekat pintu. Abrian menggeleng,"Nihil Vier, sepertinya memang kita belum di takdirkan untuk bertemu dengan Nand
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, meskipun bukan sang istri dan sang putri yang ia dapatkan. Setidaknya apa yang ia miliki saat ini, bisa membuatnya melepaskan rasa rindu pada keduanya. Ya Xavier sudah mempunyai obat penawar bagi keresahan dan rasa gelisahnya. Di dalam mobil, senyum terus terlukis di bibir sexy itu. Abrian pun ikut senang, setidaknya ia mengetahui keadaan adik dan keponakannya dalam keadaan baik-baik saja. Tidak kekurangan apapun. "Pencarian kita apa masih akan lanjut Vier?" tanya Abrian serius. Xavier diam. Tidak langsung menjawab ucapan sahabatnya itu. Pencarian, negara tempat ia tinggal begitu luas, bukan hal susah untuknya menemukan keberadaan seseorang, tetapi sekali lagi pencariannya selalu saja gagal, alam dan takdir seolah tidak mendukung pertemuan mereka. "Lanjutkan saja! Meskipun hasilnya saat ini masih nihil, tetapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan Tuhan akan mempertemukanku kembali bersama mereka, ketika takdir dan