Mobil SUV Lexus seharga tiga koma setengah Milyar berwarna hitam itu berhenti di depan lobby gedung kantor milik Damar Wiranata.
Sesaat Zanitha ragu, khawatir sang papi tidak mempercayainya tapi dia membawa pria yang akan menikahinya jadi semestinya sang papi percaya. Dan jika dilihat dari harga mobil milik pria itu, pria bernama Ananta ini pasti kaya raya jadi tidak mungkin papi tidak memberikan restu. “Nona … kita sudah sampai.” Ryan memberitahu karena Zanitha malah melamun menatap pintu lobby. “Kamu ikut, kan?” Zanitha bertanya kepada Ananta. “Tentu saja ….” Pria itu menyahut. “Tidak mungkin aku melewatkan momen berharga ini,” sambung Ananta di dalam hati. Zanita membuka pintu mobil, dia keluar diikuti Ryan dan Ananta. Mereka bertiga menyusuri lobby, semua pegawai membungkuk penuh hormat saat mereka lewat yang tentu saja sikap hormat itu ditunjukan untuk Zanitha yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini. Sekretaris Damar Wiranata yang bernama Anton menyambut mereka keluar dari mejanya. Anton menatap heran ke arah Ananta dan Ryan yang dia kenali sebagai saingan perusahaan ini. “Nona Zanitha, tadi pak Damar mencari Nona tapi ponsel Nona enggak bisa dihubungi.” Anton bicara sembari menatap tajam dua pria yang berdiri di belakang Zanitha. “Tadi ada urusan sedikit dan aku lupa bawa charger, ponselku kehabisan batre.” Zanitha memberi alasan dusta. “Apa papi ada di dalam?” sambung Zanita bertanya. “Ada … baru selesai meeting dengan klien.” Anton menjawab, kerutan di alisnya masih belum hilang lantaran pertanyaan di benaknya belum terjawab. Kenapa Zanita datang bersama pesaing bisnis mereka? “Tunggu di sana, nanti aku panggil.” Zanitha bicara kepada Ananta dan Ryan sembari menunjuk ruang tunggu yang terdapat sofa set. “Tolong suruh OB buatkan mereka kopi,” pinta Zanita kepada Anton sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan sang papi. Tok … Tok … Tidak lupa Zanitha mengetuk pintu. Ceklek … Lalu membukanya dan masuk ke dalam sana setelah pintu tertutup kembali. Damar Wiranata mengangkat pandangan dari layar MacBook. “Dari mana aja kamu? Papi cariin kamu dari tadi, papi mau kenalin kamu sama klien … Kamu bangun siang, iya?” Damar Wiranata tampak kesal. “Maaf Pi, tadi Nitha ada urusan sebentar.” Zanitha tidak berani menatap sang papi, pandangannya tertuju pada ujung sepatu. Dia mulai gentar, ingin rasnya mengurungkan niat meminta restu. Damar Wiranata mengembuskan nafas panjang. “Nanti lagi kamu bilang sama Papi kalau mau telat datang ke kantor.” “Iya … Pi ….” Kalimat Zanitha menggantung, dia mengangkat pandangan setelah mengumpulkan keberaniannya. “Pi ….” Damar Wiranata melirikan matanya dari layar MacBook menunggu sang putri mengatakan sesuatu. “Nitha mau nikah,” sambungnya hati-hati. Damar Wiranata tampak mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang barus saja dia dengar. “Umur Nitha ‘kan udah dua puluh lima tahun … pacar Nitha juga orang kaya, Papi pasti setuju.” Zanitha bicara pelan penuh kehati-hatian. “Sejak kapan kamu pacaran?” Damar Wiranata memicingkan mata. “Udah lama, Pi … tapi baru sekarang dia serius mau nikahin Nitha.” Zanitha menjawab cepat. Damar Wiranata tidak merespon, dia menatap Zanitha lekat. “Pacar Nitha ada di luar, Papi mau bicara dulu sama dia?” Zanitha ingin melimpahkan permohonan restu ini kepada Ananta saja. Menurutnya, ‘kan pria itu yang ingin menjadikannya seorang istri. “Ya udah, suruh masuk!” titah Damar Wiranata, dia penasaran juga dengan kekasih dari putrinya. Zanitha memutar badannya lalu pergi menuju pintu, dia memanggil Ananta dengan melambaikan tangannya. “Sini! Papi mau bicara.” Damar Wiranata memfokuskan tatapannya ke arah pintu, dia menunggu sosok pria yang akan menjadi calon menantunya. Saat sosok tinggi tegap itu masuk, mata Damar Wiranata seketika melebar dengan jantung berdebar kencang. “Pi … ini pacar Nitha, namanya Ananta … kami mau menikah besok, boleh ‘kan?” kata Zanitha polos. Sebuah smirk muncul di bibir Ananta dan tatapan mata penuh kepuasan. “Apa? Kamu mau menikah dengan dia?” Damar Wiranata bangkit dari kursi kebesarannya, nada suaranya terdengar tidak bersahabat. Matanya melotot dengan ekspresi gundah bercampur emosi yang kentara. “Kamu enggak tahu siapa dia?” Damar Wiranata menunjuk Ananta yang masih berdiri di tengah ruangan sedang menikmati pemandangan yang menurutnya sangat epik. Zanitha menoleh menatap Ananta. “Dia pacar Nitha.” Gadis itu menjawab polos. “Sejak kapan kalian pacaran? Apa kamu enggak tahu kalau dia Ananta Victor von Rotchchild, CEO Helvion Group di Indonesia?” bentak papi yang langkahnya sampai di depan Zanitha. “Hah?” Zanitha menoleh menatap Ananta dengan mata membulat. Pantas saja tadi Ryan mengetahui nama papinya karena ternyata mereka sudah mengetahui kalau papi adalah saingan bisnis mereka. Zanitha yang merasa dibohongi langsung mendorong pelan dada Ananta hingga mundur beberapa langkah menjauhi papi lalu punggung Ananta terdesak ke pintu. “Kenapa kamu enggak ngomong kalau kamu CEO Helvion Group?” Zanitha menahan nada suaranya, mata indah miliknya melotot menatap Ananta marah. “Nanti kamu akan kabur, dengar Zanitha … Kamu akan masuk penjara kalau kita enggak menikah,” ancam Ananta berbisik namun tatapannya tajam menuntut. Zanita menjauhkan tangannya dari dada Ananta yang berotot membuat pria itu juga melepaskan cekalannya di pergelangan kedua tangan Zanitha. “Pi … ada miss komunikasi, kami sama-sama enggak tahu … kami bertemu di aplikasi kencan dan menyembunyikan identitas kami karena satu dan lain hal … tapi, ijinkan kami menikah ya Pi.” Zanitha memohon. “Tentu saja Papi enggak akan memberi ijin!” seru Danar Wiranata tegas dan lantang. “Saya tidak akan memberikan putri saya kepada kamu, Ananta! Tidak sampai kapanpun!“ seru Damar Wiranata penuh keyakinan. “Kenapa Pi? Papi ‘kan enggak menginginkan Nitha, Nitha cuma anak haram … bukannya Papi ingin Nitha pergi jauh dari hidup Papi biar Papi enggak berantem terus sama mami Ratih? Papi enggak setuju Nitha menikah dengan Ananta karena Ananta adalah saingan bisnis Papi ‘kan? Ego Papi akan terluka kalau memberi restu, iya ‘kan?” tanya Zanitha menuntut, matanya mulai berkaca-kaca. Ananta menoleh menatap Zanitha, asal-usul gadis itu jadi dia ketahui sekarang yang ternyata anak haram. Jadi benar tentang gosip yang beredar di luar sana kalau Damar Wiranata pernah berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri, dan mungkin Zanitha adalah anak dari sekretarisnya itu. “Kamu pikir aja, kalau kamu menikah sama dia nanti kamu bisa membocorkan rahasia perusahaan! Kamu mau menghancurkan perusahaan yang telah Papi bangun? Dasar anak enggak tahu diuntung kamu!” seru Damar Wiranata memarahi putrinya. “Nitha akan keep rahasia perusahaan, Pi … Nitha sendiri juga enggak tahu yang mana rahasia perusahan … Papi menempatkan Nitha di bagian kepegawaian … Nitha enggak tahu apapun tentang kinerja perusahaan … jadi tolong ijinkan Nitha menikah dengan Ananta, Pi.” Demi apa, Zanitha tidak mau masuk penjara. Ananta menatap Zanita curiga, usaha Zanitha patut diacungi jempol dalam meminta restu sampai wajah Damar Wiranata tampak pucat mungkin penyakit jantungnya sebentar lagi akan kambuh. Dia jadi tidak percaya kalau sebenarnya Zanitha hanya takut di penjara, bisa jadi gadis itu juga memang ingin pergi dari keluarga Wiranata.“Sekali enggak! Tetap enggak, Nitha! Papi enggak akan menikahkan kamu dengan saingan bisnis Papi!” Zanitha menoleh lagi menatap Ananta meminta pria itu setidaknya sedikit saja bicara untuk meyakinkan papi namun malah smirk yang menambah ketampanannya yang Zanitha dapatkan.Dia tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan papi, dia salah perkiraan tadi—tidak tahu kalau calon suami yang dikenalkannya adalah pria yang paling sang papi benci di dunia ini.“Nitha hamil, Pi ….,” kata Zanitha yang akhirnya harus menambah dosis dustanya agar Damar Wiranata berubah pikiran.Ananta menatap takjub dengan kedua alis terangkat. Akting Zanitha sempurna sekali.Tolong siapapun, berikan Zanitha piala Oscar.“Apa?” Plak!Tanpa segan Damar Wiranata menampar Zanitha hingga gadis itu tersungkur ke samping dan terhempas ke lantai.Air mata jatuh bersamaan dengan sisi bokong Zanitha menghantam lantai berkarpet.Sedingin-dinginnya hati Ananta, pria itu refleks bergerak mendekat membantu Zanitha ba
Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah. Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini.“Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha.“Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik.Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya.“Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta.Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba.“Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus.Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan ba
Zanitha duduk di balkon kamarnya dengan lampu yang sengaja dia padamkan agar tidak ada tetangga yang bisa melihatnya duduk di sini dalam keadaan murung.Tapi sinar bulan masih bisa membantu membaca kartu nama Ryan yang berada dalam genggaman tangannya.Banyak yang ingin Zanitha bicarakan salah satunya tentang di mana dia akan tinggal setelah menikah?Ketika Zanitha hendak menyalin nomor ponsel Ryan dan menyimpannya di kontak, benda tersebut berdering memunculkan sederet nomor tidak di kenal.Nomor yang tertera tampak familiar lalu Zanitha menyocokannya dengan nomor ponsel Ryan di kartu nama dan ternyata sama.Zanitha langsung menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang dia yakini dari sekretaris Ananta itu.“Hallo Mas Ryan?” Zanitha langsung menyahut.“Nona sudah simpan nomor saya?” tanya Ryan heran karena Zanitha mengetahui kalau dirinya yang menghubungi.“Sudah …,” jawab Zanitha agar tidak perlu menjelaskan.“Oh oke, saya menghubungi Nona ingi
Zanitha menatap dirinya di cermin, dress berwarna putih berlengan panjang dengan model rok A Line yang panjangnya sebetis telah membalut tubuhnya begitu sempurna.Rambut panjang lebat dan ikalnya dia biarkan terurai dan jepit mutiara tersemat di dekat pelipis menambah kesan mewah dan elegan.Zanitha memutar tubuh lalu mengenakan kitten heelsnya.Meraih handle koper lantas membawanya menuju lantai satu.Tidak ada satu pun keluarganya di dalam rumah, papi sudah pergi, mami ngopi cantik bersama bestie, kak Anindita dan mas Adam sudah kembali ke rumah mereka tadi pagi dan Aditya tentunya bersama papi di kantor.Para pegawai sedang beristirahat di area belakang, Zanitha tidak akan mengganggu mereka.“Ini bener-bener enggak ada yang mau nganterin aku menikah? Seenggak penting itu aku di mata mereka?” Zanitha tertawa sumbang.Dia pergi menuju pintu keluar dengan langkah tegas karena sudah memantapkan hatinya untuk pergi dari Neraka ini.Zanitha berdi
“Ini kamar Nona, kamar mandi ada di dalam dan itu dapurnya.” Ryan sedang melakukan room tour kepada Zanitha.“Jangan pindahkan barang-barang di sini dan jangan berantakin ruangan kecuali kamar kamu, terserah.” Ananta memberikan ultim.Zanitha mendengkus sebagai balasan membuat Ananta berdecak lidah kesal.“Memangnya kamu enggak mampu bayar asisten rumah tangga?” Zanitha bersarkasme.“Ada Nona, akan datang setiap hari … tapi siang juga sudah pulang hanya sampai pekerjaannya selesai, mungkin maksud tuan Ananta setelah asisten rumah tangga pulang kalau Nona lapar ingin masak maka harus mencuci piring dan peralatan masak serta merapihkan dapur kembali … juga living room harus tetap rapih seperti itu.” Jempol Ryan menunjuk living room.“Tenang aja, aku enggak bisa masak.” Zanitha menyengir lucu.“Udah waktunya makan siang nih, kita mau makan di mana?” Zanitha melirik arlojinya.Ananta menatap malas Zanitha kemudian menarik langkah menuju pintu keluar.“Nanti saya akan pesan caterin
Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha tidak serta merta percaya apalagi jumawa saat Ryan datang untuk mewakili Ananta menyampaikan permintaan maaf.Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi yang pasti Zanitha masih sakit hati.Dia tidak pernah baik-baik saja setiap kali ada yang mengatainya anak haram.Demi apa, luka yang Ananta torehkan melalui kata-katanya tidak semudah itu bisa sembuh.Zanitha mengusap satu buliran kristal yang jatuh dari sudut mata.Ting …Tong …Suara bel di pintu depan membuat Zanitha menoleh dengan ekspresi penuh tanya.Siapa gerangan yang bertamu?Jika itu Ryan atau Ananta, pasti mereka akan langsung masuk karena memiliki akses.Zanitha turun dari sofa yang sedari sore tempatnya bersarang lalu menyeret langkahnya menuju pintu.Ceklek.Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan senyum profesional, menyerahkan sebuah buket bunga mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas putih elegan.“Nyonya Zanitha Von Rotchschild?” Kurir pria bertanya untuk memastikan.“Bukan … aku Zanitha
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h
*Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.Langit mendung menggantung rendah, seperti menahan tangis yang tidak sempat tumpah. Udara tropis menyambut Zanitha dengan kelembaban dan panas yang menusuk, begitu kontras dengan dingin elegan Zurich yang baru ia tinggalkan.Langkah kaki Zanitha menyentuh lantai terminal dengan pelan. Sandal hak rendah yang ia kenakan nyaris tidak menimbulkan suara, namun jantungnya berdetak kencang.Ryan berdiri tak jauh dari gate kedatangan, mengenakan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu. Tatapannya tenang seperti biasa, namun kali ini ada sedikit ragu di sorot matanya saat melihat Zanitha.“Nyonya Zanitha,” sapanya begitu sopan.Zanitha mengangguk kecil. “Mas Ryan.”Ia tak banyak bicara. Matanya tampak kosong. Ada lelah yang begitu dalam, bukan hanya karena perjalanan, tapi karena kehilangan.“Mobil sudah menunggu di luar. Saya akan mengantar Anda ke apartemen,” ujar Ryan, mengambil alih koper Zanitha.Mobil Mercedes hitam yang dijanjikan Ryan kepada Anant
Beberapa saat setelah meninggalkan mansion Von Rotchschild.Limosin hitam yang membawa Zanitha melaju pelan di jalanan Zurich yang tenang. Di luar, dedaunan berwarna hijau segar menari pelan ditiup angin awal musim panas. Namun, suasana dalam mobil itu terasa beku.Taylor yang duduk di kursi depan sesekali melirik ke spion tengah. Sorot matanya tampak khawatir, meski wajahnya tetap profesional seperti biasa.Di kursi belakang, Zanitha duduk membisu. Tubuhnya kaku, tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya dingin. Matanya kosong menatap keluar jendela, namun air matanya diam-diam turun, tanpa suara. Setiap detik terasa berat. Setiap jarak yang bertambah dari mansion Von Rotchschild membuat hatinya makin sesak.Setelah beberapa lama, suara Zanitha terdengar lirih, hampir seperti bisikan.“Taylor.”Pria itu segera menoleh sedikit, memberi perhatian penuh.“Ya Nyonya ….”“Saya ingin pergi ke kantor tuan Sebastian dulu,” katanya dengan sorot mata penuh harap kalau Taylor