Mobil SUV Lexus seharga tiga koma setengah Milyar berwarna hitam itu berhenti di depan lobby gedung kantor milik Damar Wiranata.
Sesaat Zanitha ragu, khawatir sang papi tidak mempercayainya tapi dia membawa pria yang akan menikahinya jadi semestinya sang papi percaya. Dan jika dilihat dari harga mobil milik pria itu, pria bernama Ananta ini pasti kaya raya jadi tidak mungkin papi tidak memberikan restu. “Nona … kita sudah sampai.” Ryan memberitahu karena Zanitha malah melamun menatap pintu lobby. “Kamu ikut, kan?” Zanitha bertanya kepada Ananta. “Tentu saja ….” Pria itu menyahut. “Tidak mungkin aku melewatkan momen berharga ini,” sambung Ananta di dalam hati. Zanita membuka pintu mobil, dia keluar diikuti Ryan dan Ananta. Mereka bertiga menyusuri lobby, semua pegawai membungkuk penuh hormat saat mereka lewat yang tentu saja sikap hormat itu ditunjukan untuk Zanitha yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini. Sekretaris Damar Wiranata yang bernama Anton menyambut mereka keluar dari mejanya. Anton menatap heran ke arah Ananta dan Ryan yang dia kenali sebagai saingan perusahaan ini. “Nona Zanitha, tadi pak Damar mencari Nona tapi ponsel Nona enggak bisa dihubungi.” Anton bicara sembari menatap tajam dua pria yang berdiri di belakang Zanitha. “Tadi ada urusan sedikit dan aku lupa bawa charger, ponselku kehabisan batre.” Zanitha memberi alasan dusta. “Apa papi ada di dalam?” sambung Zanita bertanya. “Ada … baru selesai meeting dengan klien.” Anton menjawab, kerutan di alisnya masih belum hilang lantaran pertanyaan di benaknya belum terjawab. Kenapa Zanita datang bersama pesaing bisnis mereka? “Tunggu di sana, nanti aku panggil.” Zanitha bicara kepada Ananta dan Ryan sembari menunjuk ruang tunggu yang terdapat sofa set. “Tolong suruh OB buatkan mereka kopi,” pinta Zanita kepada Anton sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan sang papi. Tok … Tok … Tidak lupa Zanitha mengetuk pintu. Ceklek … Lalu membukanya dan masuk ke dalam sana setelah pintu tertutup kembali. Damar Wiranata mengangkat pandangan dari layar MacBook. “Dari mana aja kamu? Papi cariin kamu dari tadi, papi mau kenalin kamu sama klien … Kamu bangun siang, iya?” Damar Wiranata tampak kesal. “Maaf Pi, tadi Nitha ada urusan sebentar.” Zanitha tidak berani menatap sang papi, pandangannya tertuju pada ujung sepatu. Dia mulai gentar, ingin rasnya mengurungkan niat meminta restu. Damar Wiranata mengembuskan nafas panjang. “Nanti lagi kamu bilang sama Papi kalau mau telat datang ke kantor.” “Iya … Pi ….” Kalimat Zanitha menggantung, dia mengangkat pandangan setelah mengumpulkan keberaniannya. “Pi ….” Damar Wiranata melirikan matanya dari layar MacBook menunggu sang putri mengatakan sesuatu. “Nitha mau nikah,” sambungnya hati-hati. Damar Wiranata tampak mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang barus saja dia dengar. “Umur Nitha ‘kan udah dua puluh lima tahun … pacar Nitha juga orang kaya, Papi pasti setuju.” Zanitha bicara pelan penuh kehati-hatian. “Sejak kapan kamu pacaran?” Damar Wiranata memicingkan mata. “Udah lama, Pi … tapi baru sekarang dia serius mau nikahin Nitha.” Zanitha menjawab cepat. Damar Wiranata tidak merespon, dia menatap Zanitha lekat. “Pacar Nitha ada di luar, Papi mau bicara dulu sama dia?” Zanitha ingin melimpahkan permohonan restu ini kepada Ananta saja. Menurutnya, ‘kan pria itu yang ingin menjadikannya seorang istri. “Ya udah, suruh masuk!” titah Damar Wiranata, dia penasaran juga dengan kekasih dari putrinya. Zanitha memutar badannya lalu pergi menuju pintu, dia memanggil Ananta dengan melambaikan tangannya. “Sini! Papi mau bicara.” Damar Wiranata memfokuskan tatapannya ke arah pintu, dia menunggu sosok pria yang akan menjadi calon menantunya. Saat sosok tinggi tegap itu masuk, mata Damar Wiranata seketika melebar dengan jantung berdebar kencang. “Pi … ini pacar Nitha, namanya Ananta … kami mau menikah besok, boleh ‘kan?” kata Zanitha polos. Sebuah smirk muncul di bibir Ananta dan tatapan mata penuh kepuasan. “Apa? Kamu mau menikah dengan dia?” Damar Wiranata bangkit dari kursi kebesarannya, nada suaranya terdengar tidak bersahabat. Matanya melotot dengan ekspresi gundah bercampur emosi yang kentara. “Kamu enggak tahu siapa dia?” Damar Wiranata menunjuk Ananta yang masih berdiri di tengah ruangan sedang menikmati pemandangan yang menurutnya sangat epik. Zanitha menoleh menatap Ananta. “Dia pacar Nitha.” Gadis itu menjawab polos. “Sejak kapan kalian pacaran? Apa kamu enggak tahu kalau dia Ananta Victor von Rotchchild, CEO Helvion Group di Indonesia?” bentak papi yang langkahnya sampai di depan Zanitha. “Hah?” Zanitha menoleh menatap Ananta dengan mata membulat. Pantas saja tadi Ryan mengetahui nama papinya karena ternyata mereka sudah mengetahui kalau papi adalah saingan bisnis mereka. Zanitha yang merasa dibohongi langsung mendorong pelan dada Ananta hingga mundur beberapa langkah menjauhi papi lalu punggung Ananta terdesak ke pintu. “Kenapa kamu enggak ngomong kalau kamu CEO Helvion Group?” Zanitha menahan nada suaranya, mata indah miliknya melotot menatap Ananta marah. “Nanti kamu akan kabur, dengar Zanitha … Kamu akan masuk penjara kalau kita enggak menikah,” ancam Ananta berbisik namun tatapannya tajam menuntut. Zanita menjauhkan tangannya dari dada Ananta yang berotot membuat pria itu juga melepaskan cekalannya di pergelangan kedua tangan Zanitha. “Pi … ada miss komunikasi, kami sama-sama enggak tahu … kami bertemu di aplikasi kencan dan menyembunyikan identitas kami karena satu dan lain hal … tapi, ijinkan kami menikah ya Pi.” Zanitha memohon. “Tentu saja Papi enggak akan memberi ijin!” seru Danar Wiranata tegas dan lantang. “Saya tidak akan memberikan putri saya kepada kamu, Ananta! Tidak sampai kapanpun!“ seru Damar Wiranata penuh keyakinan. “Kenapa Pi? Papi ‘kan enggak menginginkan Nitha, Nitha cuma anak haram … bukannya Papi ingin Nitha pergi jauh dari hidup Papi biar Papi enggak berantem terus sama mami Ratih? Papi enggak setuju Nitha menikah dengan Ananta karena Ananta adalah saingan bisnis Papi ‘kan? Ego Papi akan terluka kalau memberi restu, iya ‘kan?” tanya Zanitha menuntut, matanya mulai berkaca-kaca. Ananta menoleh menatap Zanitha, asal-usul gadis itu jadi dia ketahui sekarang yang ternyata anak haram. Jadi benar tentang gosip yang beredar di luar sana kalau Damar Wiranata pernah berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri, dan mungkin Zanitha adalah anak dari sekretarisnya itu. “Kamu pikir aja, kalau kamu menikah sama dia nanti kamu bisa membocorkan rahasia perusahaan! Kamu mau menghancurkan perusahaan yang telah Papi bangun? Dasar anak enggak tahu diuntung kamu!” seru Damar Wiranata memarahi putrinya. “Nitha akan keep rahasia perusahaan, Pi … Nitha sendiri juga enggak tahu yang mana rahasia perusahan … Papi menempatkan Nitha di bagian kepegawaian … Nitha enggak tahu apapun tentang kinerja perusahaan … jadi tolong ijinkan Nitha menikah dengan Ananta, Pi.” Demi apa, Zanitha tidak mau masuk penjara. Ananta menatap Zanita curiga, usaha Zanitha patut diacungi jempol dalam meminta restu sampai wajah Damar Wiranata tampak pucat mungkin penyakit jantungnya sebentar lagi akan kambuh. Dia jadi tidak percaya kalau sebenarnya Zanitha hanya takut di penjara, bisa jadi gadis itu juga memang ingin pergi dari keluarga Wiranata.“Sekali enggak! Tetap enggak, Nitha! Papi enggak akan menikahkan kamu dengan saingan bisnis Papi!” Zanitha menoleh lagi menatap Ananta meminta pria itu setidaknya sedikit saja bicara untuk meyakinkan papi namun malah smirk yang menambah ketampanannya yang Zanitha dapatkan.Dia tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan papi, dia salah perkiraan tadi—tidak tahu kalau calon suami yang dikenalkannya adalah pria yang paling sang papi benci di dunia ini.“Nitha hamil, Pi ….,” kata Zanitha yang akhirnya harus menambah dosis dustanya agar Damar Wiranata berubah pikiran.Ananta menatap takjub dengan kedua alis terangkat. Akting Zanitha sempurna sekali.Tolong siapapun, berikan Zanitha piala Oscar.“Apa?” Plak!Tanpa segan Damar Wiranata menampar Zanitha hingga gadis itu tersungkur ke samping dan terhempas ke lantai.Air mata jatuh bersamaan dengan sisi bokong Zanitha menghantam lantai berkarpet.Sedingin-dinginnya hati Ananta, pria itu refleks bergerak mendekat membantu Zanitha ba
Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah. Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini.“Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha.“Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik.Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya.“Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta.Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba.“Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus.Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan ba
Zanitha duduk di balkon kamarnya dengan lampu yang sengaja dia padamkan agar tidak ada tetangga yang bisa melihatnya duduk di sini dalam keadaan murung.Tapi sinar bulan masih bisa membantu membaca kartu nama Ryan yang berada dalam genggaman tangannya.Banyak yang ingin Zanitha bicarakan salah satunya tentang di mana dia akan tinggal setelah menikah?Ketika Zanitha hendak menyalin nomor ponsel Ryan dan menyimpannya di kontak, benda tersebut berdering memunculkan sederet nomor tidak di kenal.Nomor yang tertera tampak familiar lalu Zanitha menyocokannya dengan nomor ponsel Ryan di kartu nama dan ternyata sama.Zanitha langsung menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang dia yakini dari sekretaris Ananta itu.“Hallo Mas Ryan?” Zanitha langsung menyahut.“Nona sudah simpan nomor saya?” tanya Ryan heran karena Zanitha mengetahui kalau dirinya yang menghubungi.“Sudah …,” jawab Zanitha agar tidak perlu menjelaskan.“Oh oke, saya menghubungi Nona ingi
Zanitha menatap dirinya di cermin, dress berwarna putih berlengan panjang dengan model rok A Line yang panjangnya sebetis telah membalut tubuhnya begitu sempurna.Rambut panjang lebat dan ikalnya dia biarkan terurai dan jepit mutiara tersemat di dekat pelipis menambah kesan mewah dan elegan.Zanitha memutar tubuh lalu mengenakan kitten heelsnya.Meraih handle koper lantas membawanya menuju lantai satu.Tidak ada satu pun keluarganya di dalam rumah, papi sudah pergi, mami ngopi cantik bersama bestie, kak Anindita dan mas Adam sudah kembali ke rumah mereka tadi pagi dan Aditya tentunya bersama papi di kantor.Para pegawai sedang beristirahat di area belakang, Zanitha tidak akan mengganggu mereka.“Ini bener-bener enggak ada yang mau nganterin aku menikah? Seenggak penting itu aku di mata mereka?” Zanitha tertawa sumbang.Dia pergi menuju pintu keluar dengan langkah tegas karena sudah memantapkan hatinya untuk pergi dari Neraka ini.Zanitha berdi
“Ini kamar Nona, kamar mandi ada di dalam dan itu dapurnya.” Ryan sedang melakukan room tour kepada Zanitha.“Jangan pindahkan barang-barang di sini dan jangan berantakin ruangan kecuali kamar kamu, terserah.” Ananta memberikan ultim.Zanitha mendengkus sebagai balasan membuat Ananta berdecak lidah kesal.“Memangnya kamu enggak mampu bayar asisten rumah tangga?” Zanitha bersarkasme.“Ada Nona, akan datang setiap hari … tapi siang juga sudah pulang hanya sampai pekerjaannya selesai, mungkin maksud tuan Ananta setelah asisten rumah tangga pulang kalau Nona lapar ingin masak maka harus mencuci piring dan peralatan masak serta merapihkan dapur kembali … juga living room harus tetap rapih seperti itu.” Jempol Ryan menunjuk living room.“Tenang aja, aku enggak bisa masak.” Zanitha menyengir lucu.“Udah waktunya makan siang nih, kita mau makan di mana?” Zanitha melirik arlojinya.Ananta menatap malas Zanitha kemudian menarik langkah menuju pintu keluar.“Nanti saya akan pesan caterin
Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha tidak serta merta percaya apalagi jumawa saat Ryan datang untuk mewakili Ananta menyampaikan permintaan maaf.Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi yang pasti Zanitha masih sakit hati.Dia tidak pernah baik-baik saja setiap kali ada yang mengatainya anak haram.Demi apa, luka yang Ananta torehkan melalui kata-katanya tidak semudah itu bisa sembuh.Zanitha mengusap satu buliran kristal yang jatuh dari sudut mata.Ting …Tong …Suara bel di pintu depan membuat Zanitha menoleh dengan ekspresi penuh tanya.Siapa gerangan yang bertamu?Jika itu Ryan atau Ananta, pasti mereka akan langsung masuk karena memiliki akses.Zanitha turun dari sofa yang sedari sore tempatnya bersarang lalu menyeret langkahnya menuju pintu.Ceklek.Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan senyum profesional, menyerahkan sebuah buket bunga mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas putih elegan.“Nyonya Zanitha Von Rotchschild?” Kurir pria bertanya untuk memastikan.“Bukan … aku Zanitha
Ketika itu hujan semakin deras saat hari menuju sore.Ananta duduk di ruang meeting utama gedung Helvion Group. Presentasi dari salah satu eksekutifnya terus berjalan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia mengangkat tangannya, memijat pelipis yang terasa berat. Ada firasat buruk yang menghantui sejak pagi, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya.Setelah meeting selesai, Ananta mengantar para tamunya ke lobby.Sambil melangkah menuju ruangannya, Ananta merogoh ponsel lalu mengaktifkannya.Begitu dinyalakan, puluhan pesan masuk membanjiri layar—dan di antaranya, pesan dari Zanitha.Zanitha : Ta, aku akan pergi ke pesta perayaan proyek ini. Kami akan terbang menggunakan jet pribadi ke pulau eksklusif. Aku sebenarnya enggak terlalu ingin pergi, tapi karena aku adalah bintangnya, rasanya enggak enak jika tidak hadir. Aku akan segera pulang setelah acara selesai. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku hanya ingin memberitahumu. Aku akan baik-baik saja, janga
Zanitha berdiri bersama seluruh tim termasuk designer yang mengerjakan proyek ini mengelilingi Elias yang berdiri di tengah lingkaran mereka, yang lain tampak antusias dan senang tapi tidak dengan Zanitha yang menatap kosong pria itu.Elias sedang memberi kabar bahagia tentang sebuah pesta dan mereka semua diundang.Sontak sorak bahagia disertai tepuk tangan mengudara kemudian satu persatu dari mereka bubar untuk mempersiapkan diri.“Kamu pasti datang, kan? Kamu adalah bintangnya.” Madame Cécile Laurent (Chanel) bertanya langsung kepada Zanitha.“Saya akan minta ijin suami dulu.” Zanitha tidak memberi kepastian.“Oh ayolah, gosip antara kamu dan Elias pun sudah tak terdengar lagi dan tampaknya suamimu juga mengerti dengan kondisi yang terjadi,” timpal Giovanni De Luca (Elie Saab).“Ingat Zanitha, kamu bintangnya … pesta tidak akan sempurna tanpa kamu.” Marcel Fournier (Dior) berujar demikian membuat Zanitha bimbang.“Kami sudah menyediakan privat jet khusus untuk kamu, jadi kam
Suara nyaring memekakan telinga datang dari powder room dekat ruang makan.Ananta yang sedang sarapan jadi tidak selera mendengar suara itu bukan karena jijik melainkan memikirkan istrinya tidak bisa masuk makanan sedikitpun.“Klaus, aku minta ice cream …,” kata Ananta memerintah.“Tapi Tuan, ini masih pagi dan di dalam ice cream tidak terkandung makanan bergizi yang baik untuk ibu hamil … kebanyakan adalah gula.” “Kalau begitu suruh koki buatkan ice cream yang baik dikonsumsi ibu hamil, aku tidak peduli rasanya karena istriku hanya bisa makan ice cream.” Ananta memaksa.“Baik Tuan.” Dan Klaus tidak memiliki pilihan kata selain itu.Saat terdengar suara kunci pintu powder room terbuka, Ananta langsung bangkit dari kursi memburu istrinya.Tadi Zanitha mengunci diri di sana karena tidak ingin Ananta melihat muntahannya.“Kamu makan buah-buahan aja ya,” kata Ananta sembari membantu Zanitha duduk.Zanitha mengangguk pasrah.Dan entah ap
Mansion Sebastian Von Rotchschild berdiri megah di bawah cahaya sore, dikelilingi taman luas yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Namun, keindahan itu tidak bisa menghapus ketegangan yang menyelimuti ruangan utama di dalamnya.Di meja makan panjang yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga, Sebastian duduk di kursi utama dengan ekspresi penuh wibawa. Di sekelilingnya, para anggota keluarga Von Rotchschild telah berkumpul. Ada Rafael, Seraina, Simon, Amelie, dan tentu saja, Elias yang duduk dengan ekspresi campuran antara kepedulian dan sesuatu yang lebih sulit ditebak.Dan di ujung meja, Ananta duduk dengan santai, sementara di sebelahnya, Zanitha tampak tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan besar. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ini adalah panggilan penghakiman.Sebastian menyesap tehnya sebelum akhirnya berbicara."Ananta," suara tuanya terdengar dalam dan penuh tekanan, "Aku yakin kamu sudah membaca berita yang beredar di luar sana. Tent
Di salah satu mansion megah keluarga Von Rotchschild, Simon duduk santai di sofa besar dengan cangkir teh hitam di tangannya.Sore itu, langit Zurich berwarna keemasan, dan angin musim semi berhembus lembut dari jendela terbuka, membawa aroma teh herbal yang khas.Di sebelahnya, Amelie-sang istri, duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menyesap tehnya perlahan.Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan berita terbaru tentang keluarga mereka.“BREAKING NEWS: Istri Ananta Von Rotchschild Dicurigai Mengandung Anak Elias Von Rotchschild?”Di layar, beberapa foto ditampilkan—Elias yang membawa Zanitha keluar dari rumah sakit, Elias yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan senyum khasnya, dan berbagai spekulasi yang mulai berkembang di media.Amelie meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi yang cukup nyaring, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.Tangannya bahkan bertepuk beberapa kali, seolah menikmati tontonan yang sangat menghibur.“Suamiku sayang, li
Ruangan studio yang semula penuh dengan suara kamera yang berbunyi kini berubah menjadi sunyi saat Zanitha tiba-tiba menghentikan posenya.Dia menunduk sembari memegangi perut yang terasa bergejolakRasa mual yang menggeliat di perutnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba bertahan, menelan ludah berkali-kali, tetapi gelombang rasa tidak enak di tubuhnya semakin kuat.“Aku butuh istirahat sebentar…,” gumamnya pelan, sambil berusaha melangkah keluar dari studio.Wajahnya pucat disertai banyak buliran peluh di pelipisnya.Namun, saat kakinya baru dua kali melangkah, pandangannya mulai berputar. Dunia di sekelilingnya bergoyang. Keringat dingin membasahi hingga ke lehernya.Dengan langkah tertatih, Zanitha berhasil sampai ke kamar mandi di dalam studio.Begitu pintu tertutup, ia langsung berlutut di depan kloset, memuntahkan isi perutnya dengan hebat.Air mata Zanitha mengalir di pipinya saat muntahan tidak kunjung berhenti. Perutnya terasa diremas d
Suasana ruang makan yang biasanya tenang kini mencekam dan sebentar lagi akan berubah menjadi arena pertengkaran yang dipenuhi ketegangan.Cahaya pagi yang masuk dari jendela tinggi tak mampu menghangatkan ruangan, karena hawa dingin yang berasal dari tatapan tajam Ananta kepada Zanitha mengalahkan segalanya.Zanitha masih duduk di tempatnya, menggenggam iPad yang baru saja dilemparkan oleh Ananta.Layar di tangannya menampilkan serangkaian berita dengan foto-foto ‘mesra’-nya bersama Elias.Di seberangnya, Ananta duduk dengan rahang mengeras, napasnya memburu, serta kedua tangannya mengepal di atas meja.“Apa yang kamu lakukan dengan Elias?” suara Ananta akhirnya keluar—serak, dingin, dan dipenuhi dengan kemarahan yang berusaha pria itu tahan.Zanitha menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena kecewa.Ia menggeleng pelan, berusaha menjelaskan.“Ta… ini enggak seperti yang kamu pikirkan.” Dia mengulang karena entah harus menjelaskan mulai da
“Sayang, aku pergi ya ….” Zanitha datang ke ruang makan dengan langkah terburu-buru, mengecup pipi Ananta kemudian pergi.“Kamu enggak sarapan dulu?” Ananta berteriak karena langkah Zanitha nyaris melewati batas antara ruang makan dengan living room. “Aku sarapan sama Elias dan photographer sambil diskusi tentang pemotretan besok.” Dan Zanitha masih sempat menjelaskan meski harus berteriak.Setelah itu Zanitha melanjutkan langkah keluar dari mansion untuk masuk ke dalam mobil Elias.Rahang Ananta mengeras, satu tangannya mengepal di atas meja.Pria itu tidak suka situasi seperti ini, semestinya sebagai istri-Zanitha menemaninya sarapan pagi lalu mengantarnya hingga teras.Kebiasaan itu tidak bisa mereka lakukan lagi karena akal-akal Elias yang ingin merebut hati istrinya.“Brengsek!” Ananta menggeram.Sementara di dalam mobil, Zanitha tidak bersuara usai menyapa Elias dengan kalimat ‘Selamat Pagi’ ketika masuk tadi.“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Elias bertanya karena
Matahari pagi menyinari mansion megah Von Rotchschild milik Ananta dengan cahaya keemasan.Ananta berdiri di depan kamar mereka, sudah dibalut setelan jas hitam dengan dasi yang belum terikat sempurna.Di hadapannya, Zanitha sedang berdiri mengenakan blazer putih dan celana panjang krem yang membuatnya terlihat elegan sekaligus profesional.Hari ini, Zanitha akan pergi menemui para perancang busana kelas dunia bersama Elias.Sesuatu yang membuat dada Ananta terasa sesak.Pria itu tidak suka ini.Namun, Ananta tahu bisnis tetap bisnis.Zanitha sibuk merapikan dirinya di depan cermin saat ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pinggangnya dari belakang.Ananta.Tanpa bicara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Zanitha, menarik tubuhnya lebih dekat.“Ta?” Zanitha menoleh, sedikit terkejut.Ananta tidak menjawab kemudian memutar tubuh Zanitha agar menghadapnya.Setelah itu, Ananta menempelkan keningnya ke