Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha tidak serta merta percaya apalagi jumawa saat Ryan datang untuk mewakili Ananta menyampaikan permintaan maaf.Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi yang pasti Zanitha masih sakit hati.Dia tidak pernah baik-baik saja setiap kali ada yang mengatainya anak haram.Demi apa, luka yang Ananta torehkan melalui kata-katanya tidak semudah itu bisa sembuh.Zanitha mengusap satu buliran kristal yang jatuh dari sudut mata.Ting …Tong …Suara bel di pintu depan membuat Zanitha menoleh dengan ekspresi penuh tanya.Siapa gerangan yang bertamu?Jika itu Ryan atau Ananta, pasti mereka akan langsung masuk karena memiliki akses.Zanitha turun dari sofa yang sedari sore tempatnya bersarang lalu menyeret langkahnya menuju pintu.Ceklek.Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan senyum profesional, menyerahkan sebuah buket bunga mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas putih elegan.“Nyonya Zanitha Von Rotchschild?” Kurir pria bertanya untuk memastikan.“Bukan … aku Zanitha
Ananta berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan ekspresi gelisah yang jarang terlihat. Tangannya menggenggam ponsel, membaca ulang pesan yang baru saja ia terima dari ayahnya.Mathias von Rotchschild: Ananta, Ayah ingin melakukan video call malam ini. Ayah penasaran dengan wajah istrimu, jangan membuat Ayah curiga kalau sebenarnya kamu belum menikah, hanya membohongi Ayah dan keluarga besar Von Rotchschild. Jangan beri alasan lagi, setelah makan siang Ayah akan melakukan panggilan video!”Mengingat perbedaan waktu lebih cepat enam jam, pasti di Zurich-Swiss sekarang ini akan memasuki jam makan siang dan sang ayah sebentar lagi akan menghubunginya.Ananta menghela napas panjang. Ayahnya sudah mulai curiga. Jika ia terus menghindar, bukan tidak mungkin beliau akan menggali lebih dalam dan menemukan kejanggalan pernikahannya dengan Zanitha.“Persetan,” gumam Ananta, meremas ponselnya. Mau tidak mau, ia harus melibatkan Zanitha.Dengan enggan, Ananta melangkah keluar dar
Zanitha bangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sedikit berat, tetapi semangatnya tinggi.Semalam, setelah video call dengan Mathias, ia terus memikirkan ekspresi Ananta saat dia menyebut ibunya. Ada kesedihan yang samar di mata Ananta yang membuat Zanitha merasa bersalah.Dengan cepat, ia mandi lalu mengenakan pakaian kasual—sebuah blouse putih sederhana dan rok pendek berpotongan rapi. Tidak terlalu formal, tetapi cukup sopan untuk duduk satu meja dengan pria yang kini menjadi suaminya, meskipun hanya dalam kontrak.Ketika ia sampai di ruang makan, Ananta sudah duduk di sana, membaca koran elektronik di iPad, secangkir kopi hitam mengepul di hadapannya. Lelaki itu tampak seperti biasa—tampan, tenang, berkarisma, tapi dingin.Zanitha menarik kursi di seberang Ananta. “Pagi.” Dia menyapa, berusaha terdengar santai.Ananta mengangkat pandangannya sekilas, lalu kembali ke iPad. “Pagi,” jawabnya pendek.Zanitha menarik napas dalam. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sudah meng
Hari-hari selanjutnya, Ananta seolah tinggal sendiri karena tidak pernah bertemu Zanitha.Terkadang hanya suara pintu kamar Zanitha yang terdengar tertutup saat Ananta baru saja masuk ke kondominium, gadis itu benar-benar menghindarinya padahal mereka bisa dibilang masih pengantin baru.Semestinya Ananta merasa senang karena hidupnya tidak berubah, sama seperti ketika dulu dia belum menikah tapi nyatanya malah membuat hati gundah.Ananta bertahan tidak melakukan cara apapun untuk meminta maaf, dia merasa tidak salah karena menurutnya wajar seorang suami menegur istrinya yang sedang berduaan di luar tanpa ijin dan sepengetahuan sang suami.Entah kenapa pagi ini terasa sepi, Ananta jadi tidak berselera sarapan mungkin karena perasaan bersalah dan penyesalan sedang menyelimutinya.Sementara itu kedatangan ayah Mathias semakin dekat dan mereka semestinya terlihat seperti pasangan suami istri yang bahagia.Ananta menyesap kopinya dalam hening, dia baru ingat kalau menikahi Zanitha ad
Zanitha berbaring miring di sofa ruang televisi, tatapannya kosong ke arah televisi.Dia sedang melamun, sama sekali tidak menyaksikan apa yang disajikan layar kaca.Usai tadi pagi mengungkapkan apa yang mengganjal di benaknya kepada Ananta, Zanitha merasa lega tapi tetap saja hatinya kosong, hampa dan dia mulai merindukan papinya.Berulang kali Zanitha memeriksa ponselnya namun tidak ada satu pun pesan yang sang papi kirim untuknya hanya sekedar menanyakan kabar.Bagaimana kalau ternyata Ananta adalah pembunuh berdarah dingin?Apakah sang papi rela, dia dihabisi oleh Ananta?Zanitha tertawa kering. “Papi enggak akan peduli, dia justru lega sekarang karena enggak perlu ngurusin aku lagi.” Air mata Zanitha kembali mengalir, menganak sungai di pipinya.Zanitha masih duduk terdiam di sofa, memandang kosong ke layar televisi yang menampilkan acara yang bahkan tidak ia pedulikan. Matanya masih basah, sisa air mata yang belum sepenuhnya mengering.Ryan yang sejak tadi berdiri di a
Nyatanya Ananta tidak memiliki waktu, deadline membuatnya pergi pagi sekali bahkan pernah sekali menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia tidak bisa membahas tentang kedatangan ayah Mathias dengan Zanitha dan bahkan Ananta pun lupa kalau hari ini sang ayah tiba di Indonesia. “Tuan … maaf, tadi tuan Mathias mengatakan tidak jadi ke kantor … beliau akan langsung menuju kondominium dari Bandara untuk beristirahat.” Ryan memberitahu usai meeting dengan para petinggi di bawah pimpinan Ananta. “Apa?” Ananta sampai bangkit dari kursinya sambil membeliakan mata. “Apanya Tuan?” Ryan balik bertanya, matanya juga membulat karena terkejut dengan reaksi Ananta. “Kenapa kamu baru bilang sekarang kalau ayah langsung ke kondominium?” Suara Ananta meninggi. Pasalnya dia belum berpesan apapun kepada Zanitha malah mereka belum benar-benar berbaikan usai kesalahpahaman kemarin. “Saya juga baru dapat kabar melalui pesan dari tuan Mathias, Tuan.” Ryan meringis. Ananta
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h
*Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.Langit mendung menggantung rendah, seperti menahan tangis yang tidak sempat tumpah. Udara tropis menyambut Zanitha dengan kelembaban dan panas yang menusuk, begitu kontras dengan dingin elegan Zurich yang baru ia tinggalkan.Langkah kaki Zanitha menyentuh lantai terminal dengan pelan. Sandal hak rendah yang ia kenakan nyaris tidak menimbulkan suara, namun jantungnya berdetak kencang.Ryan berdiri tak jauh dari gate kedatangan, mengenakan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu. Tatapannya tenang seperti biasa, namun kali ini ada sedikit ragu di sorot matanya saat melihat Zanitha.“Nyonya Zanitha,” sapanya begitu sopan.Zanitha mengangguk kecil. “Mas Ryan.”Ia tak banyak bicara. Matanya tampak kosong. Ada lelah yang begitu dalam, bukan hanya karena perjalanan, tapi karena kehilangan.“Mobil sudah menunggu di luar. Saya akan mengantar Anda ke apartemen,” ujar Ryan, mengambil alih koper Zanitha.Mobil Mercedes hitam yang dijanjikan Ryan kepada Anant
Beberapa saat setelah meninggalkan mansion Von Rotchschild.Limosin hitam yang membawa Zanitha melaju pelan di jalanan Zurich yang tenang. Di luar, dedaunan berwarna hijau segar menari pelan ditiup angin awal musim panas. Namun, suasana dalam mobil itu terasa beku.Taylor yang duduk di kursi depan sesekali melirik ke spion tengah. Sorot matanya tampak khawatir, meski wajahnya tetap profesional seperti biasa.Di kursi belakang, Zanitha duduk membisu. Tubuhnya kaku, tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya dingin. Matanya kosong menatap keluar jendela, namun air matanya diam-diam turun, tanpa suara. Setiap detik terasa berat. Setiap jarak yang bertambah dari mansion Von Rotchschild membuat hatinya makin sesak.Setelah beberapa lama, suara Zanitha terdengar lirih, hampir seperti bisikan.“Taylor.”Pria itu segera menoleh sedikit, memberi perhatian penuh.“Ya Nyonya ….”“Saya ingin pergi ke kantor tuan Sebastian dulu,” katanya dengan sorot mata penuh harap kalau Taylor