Di sini aku sekarang. Sedang melihat gadis yang disandingkan terpaksa di sebelahku. Tak aku sangka sama sekali, Kayla—perempuan yang telah menjalin hubungan denganku selama lima tahun, harus mencampakkanku dengan cara memalukan seperti ini. Padahal dari awal kami sudah sama-sama sepakat masalah mahar. Aku hanya mampu memberinya lima puluh juta rupiah saja. Bukan karena aku tak cinta, tetapi hanya itu kesanggupanku. Uangku ada lebih. Rencananya akan aku gunakan untuk membangun restaurant impianku sejak dulu. Kayla tahu semua mimpi-mimpiku. Ternyata dia juga yang menghancurkannya. Benar kata orang, siapa yang paling dekat dengan kita, dia yang akan menikam kita paling dalam dengan rasa sakit tak terkira. Sehari sebelum akad aku bahkan sudah meyakinkan Kayla, bahwa aku akan bertanggung jawab penuh pada gaya hidupnya. Tapi, apa mau dikata, satu jam sebelum akad nikah dia membatalkan semuanya, kecuali aku mempersiapkan mahar senilai 150 juta rupiah. Kayla bilang kalau aku mencintanya,
Aku tak tahu harus jawab apa. Sekali pun dalam hidup, walau aku sering dibilang orang adalah playboy, tapi tak pernah terlintas di pikiranku untuk mempermainkan pernikahan. Karena kalau main-main aku tak akan mempersiapkan sampai sedetail ini. Di pelaminan ini aku duduk lagi. Menunggu Cantika—gadis bar bar dikit yang terpaksa menjadi istriku. Anggap saja sekarang masih terpaksa. Sisanya akan aku jalani sesuai takdir. Kata orang, kalau tidak jodoh, sekali pun dekat tidak akan pernah bertemu di pelaminan. Kalau jodoh sekali pun orang yang paling dibenci akan jadi sepasang pengantin juga. Aku melihat ke arah kiri. Cantika sudah datang dipandu berjalan dengan mamaku dan mama mertua sekaligus. Aku yakin sekali dia kesulitan berjalan memakai heels. Ya, semua yang ada ini warna, dekorasi, gaun pengantin 80% meengikuti selera Kayla. Sampai juga Cantika di pelaminan. Aku tersenyum ke arah mama mertua. Walau hari ini agak terkejut sampai jungkir balik, tapi harus tetap jaga sikap di depan Ta
Adoooh, malu, Bestieee. Udah dari tadi tampil cantik, anggunli, dan berkarakter. Malah jatuh gara-gara rok sama baju ketat luar biasa ini gak mau diajak kerja sama. Salah sendiri, kok, mau disuruh pakai baju ketat. Bukan maunya aku, wei. Soale ini, kan, size-nya si nenek lampir yang buat aku tersiksa jadi istri orang. Kayaknya badan orangnya setipis triplek. Makanya ketat banget di badan aku yang bohay kayak gentong pinguin. Mana nggak ada yang mau nolongin aku. Semuanya ketawa, termasuk Mas Jimmi(n). Awas, kamu, ya, Mas, tak uyel-uyel palamu pakai jurus petir ala Boboiboy. Terus aku terpaksa jalan anggunli lagi ke atas panggung. Pesta selesai. Tinggal kami pihak keluarga yang ada belakang gedung. Aku buru-buru ganti baju super mini ini. Nyiksa, beud, kentutku ketahan dari tadi. Mau dilepas juga malu bukan main di depan orang. “Can, Nak. Mama, Papa, sama masmu yang lain, pulang duluan, ya,” kata mamaku. Eh, jangan, donk, jangan tinggalin anakmu, Maaaa.“Mah, terus, Can gimana?”
Di dalam mobil aku menghabiskan sisa tempe sama tahu yang aku comot. Mas Jimmi(n) menyetir mobil sangat fokus luar biasa. Nggak ada lagi drama lirik-lirikan di antara kami berdua. Mungkin masih marah karena Kayla. Nggak tahu, deh. Entah beneran karena marah atau masih nggak rela nggak jadi nikah. Hanya Mamas dan Allah yang tahu. Aku juga nggak mau tahu. Resep seblak aja sampai sekarang aku nggak pernah tahu. Mobil berbelok ke arah gang rumah si mamas. Langsung masuk parkiran. Fyi, ya, Bestie, Mas Jimmi(n) ini anak orang terpandang. Suami Tante Dian seorang dosen tetap di satu universitas ternama. Mama mertuaku juga dosen. Jadi keluarga mereka ini high class, tapi tetep santuy jadi orang. Nggak suka pamer mereka. Nggak pamer aja anaknya jadi orang semua, kok. Beda sama aku yang kata temen-temenku setengah orang setengah siluman tengkorak. Bertemen dengan Sun Go Kong dari Gunung Huwa Ko. Skip, nggak penting. Yang nggak jelas sampai sekarang ini aku udah 21 tahun, ambil jurusan ekono
Aku bangun sebelum Shubuh. Sudah biasa bagi seorang chef sepertiku ini untuk bergerak cepat. Walau rasanya kepalaku masih sakit sekali. Tentu aku terkejut melihat kaki siapa di atas kakiku. Aku singkirkan baik-baik. Eh, Gusti Allah. Anak gadis mana yang nyasar ke kamarku ini. Tidurnya, ya ampun, sampai hampir lepas sprei dari kasurnya. Sekali lagi aku mengingat. Iya, ya, kemarin aku batal nikah dengan Kayla. Jadi gantinya si Cantika yang jadi istriku. Sulit dimengerti, serasa hidupku hari senin semuanya. Teringat lagi dengan kata mamaku. Tidak ada pernikahan sandiwara atau main-main di dalamnya. Oke, aku akan coba jalani, tapi aku perlu waktu. Karena tidak ada rasa cinta sedikit pun untuk Cantika. Rasa di hati masih untuk Kayla. Semoga saja cepat enyah, karena aku baru percaya, tanpa restu dari Mama sekuat apa pun kami mencoba ada saja halangannya. Aku nggak berniat membangunkan Cantika. Aku mandi dan membersihkan diri setelah tadi malam asal tidur begitu saja karena lelah tak tert
“Iiih, kok, aneh-aneh, sih, model baju tidurnya. Selain masuk angin. Ini juga bisa memancing nafsu laki-laki. Percuma, donk, belajar pakai jilbab kalau dikasih baju ginian,” kata Cantika Ayu Jelita terang-terangan. Sepertinya dia memang nggak tahu sama sekali apa fungsi lingeri. Ya, aku juga malas mengajarinya. Ini bukan hal yang bisa ditangani laki-laki seperti aku. Lagi pula kami kaum lelaki nggak semuanya butuh baju sexi seperti itu. Ada yang lebih memilih aksi langsung daripada menunggu dirayu. “Kamu beneran nggak ada baju sama sekali?” tanyaku. Dia menjawab pertanyaanku dengan menggeleng saja.“Ya, udah agak siangan dikit kita ke rumah kamu dan ambil semua baju-bajumu.” Aku membuka kado yang lain pula. Lumayan juga jumlahnya. Nanti bisa dibagi dengan yang lain. Lagi-lagi, ya ampun, drama baju dalam yang belum juga selesai. Kali ini kadonya untukku. Can sampai memejamkan mata melihatnya. Ini pasti ulah teman-teman satu profesiku. Mereka memang sangat terbuka dan tak malu-malu
Eh, kok, malah aku yang cium tangan si Mamas. Gimana, sih, konsepnya? Kenapa hatiku jadi jungkir balik kayak roler coster habis akad nikah sama Park Mas Jimmi(n)? Padahal tadi aku sendiri yang minta nggak boleh ada kontak fisik. “Anak pinter.” Mas Jimmi(n) ngacak-ngacak kepalaku yang masih dilapisin jilbab. Okeh, jangan baper, Can. Nggak boleh! Ingat, yang dia acak-acak itu kepala. Jangan sampai lubuk hati yang ikut merasakan. Tahan diri. Tarik napas, keluarin pelan-pelan. Terus senyum dengan menampakkan 33 gigimu. Lebih satu emang, Besti. Soalnya aku punya gingsul di bagian depan. Perkara gigi gingsul ini emang yang buat aku diputusin sama mantanku dulu. Katanya aku kayak drakula di matanya. Dia takut mati kehabisan darah kalau deket-deket sama aku. Halah, sekalipun aku beneran jadi drakula. Nggak akan mau juga hisap darah dia. Apaan, pait, gara-gara jarang mandi. Skip, skip, tentang mantan. Nggak penting. “Itu semua juga jadi punya kamu, ya. Buka aja.” Mas Park Jimmi(n) menunju
Eh, lupa. Hari senin aku harus mengajukan judul skripsi. Yah, terpaksa nggak jadi, deh, bulan madunya. Aku memonyongkan bibirku lima senti. Masa bodo dengan Mas Park Jimmi(n) yang kelihatan sedang menunggu jawabanku. Emang kalau bulan madu aku sama dia mau ngapain juga? Kalau saling membulli tanpa harus ke Bali juga bisa. “Gimana?” Nggak sabaran banget si Mamas denger jawabanku. Apa dia ini tidak paham sama sekali mood perempuan? Dasarnya udah galak ya mau gimana lagi. Si Mamas ini kalau disandingkan sama Chef Junna, begh, damagenya nggak main-main. Aku bersumpah dengan segenap jiwa, raga, dan hatiku. Kalau sampai si mamas duet sama Chef Junna dalam suatu acara. Aku akan belajar masak sungguh-sungguh. Sampai makanan aku dibilang enak sama si mamas. Catat janji aku, ya. Catat!“Can, oi, ditanyain dari tadi loh. Kelamaan mikirnya, ini udah setengah jam kamu ngitung kancing bolak-balik dari tadi.” Mamas mulai emosi, mungkin laper. Eh, masak sih, udah setengah jam aja waktu berlalu.
Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka
Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,
Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.
Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor
Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.
“Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U