Bab 8
"Kenapa kamu melotot seperti itu, Cahya? Apa kamu nggak suka Ibu dan Sintia datang ke rumah ini?""Tentu saja. Lagian untuk apa Ibu membawa wanita ini ke mari? Tak cukupkah kalian menorehkan sakit dalam hatiku, hingga harus pula Ibu membawanya datang ke rumah ini segala?!" tunjukku pada Sintia yang seperti biasa, memasang senyum miring. Heran dengan sikapnya itu, dasar wanita tak tahu malu."Heh, ini rumah putraku juga, kalau- kalau kamu lupa!" "Dan aku istrinya Mas Frans kalau Ibu lupa! Bawa dia pergi dari rumahku sekarang juga! Aku tidak sudi dia menginjakkan kakiku di sini! Keluar, kau!!" usirku pada Sintia yang bersikap santai."Mbak Cahya, jangan sok ngatur siapa yang boleh dan siapa yang nggak boleh datang ke sini. Aku datang bukan untukmu, tapi untuk suami kita." Sintia ikut bersuara."Nah, kamu denger Sintia ngomong apa?!" Ibu langsung tanggap. Pandangan kebencian jelas tersorot padaku, seperti biasanya.Bab 9Kata demi kata serta semua informasi tentang Sintia berhasil kukantongi. Dan ternyata wanita itu memang seperti dugaanku. Aku tersenyum puas dan sangat berterima kasih kepada Arfan atas upayanya membantuku.Dan kini Sintia, masihkah suamiku akan mendekatimu setelah mengetahui masa lalumu yang kelam itu. Brughh!Mas Frans membuka pintu dengan kasar sambil membawa amarahnya padaku. Dadanya naik turun seolah-olah siap menerkamku untuk melampiaskan kekesalannya."Haruskah kamu bersikap seperti itu kepada Ibu dan Sintia? Tidakkah peringatanku beberapa jam yang lalu membuatmu bisa menahan amarah?!" Mas Frans menekankan kata-katanya. Aku tersenyum sinis. Begitulah pria yang nafsu bawahnya tidak tersalurkan, maka amarahnya lari ke kepala."Tenangkan hati dan pikiranmu, Mas. Tidak ada gunanya kita berdebat. Kau jelas lebih tahu kalau aku tidak sudi wilayahku diganggu oleh wanita lain. Beruntung aku hanya mengusir dan bert
Bab 10Kuketuk pintu yang tampak usang dengan warna catnya yang sudah memudar. Tak membutuhkan waktu lama, seorang pria tinggi berambut sebahu yang dikuncir asal langsung menatap serius."Siapa kamu?"Abbas mengernyitkan alis."Aku tidak mengenalmu. Ada urusan apa kamu datang ke mari?"Abbas langsung bertanya bahkan sebelum aku sempat memperkenalkan diri. Ok, tak masalah. Sepertinya dia bukan pria yang suka berbasa-basi."Kamu tak kenal aku, tapi aku mengenalmu. Dan kamu pasti mengenali wanita ini. Pria di sampingnya adalah suamiku." Kuulurkan ponselku yang segera diraihnya."Sintia?" Wajah pria itu menggelap. Terlihat urat-urat di rahangnya menegang."Jadi, istriku dinikahi oleh suamimu?"Abbas seperti terpukul ketika kusodorkan foto pengantin yang tak lain adalah Sintia dan Mas Frans. Tentu saja foto yang kudapat dari Yanti waktu itu.Aku mengangguk. Hubungan Mas Frans dengan Sintia
Bab 11Biasanya orang yang ngotot ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan, dia akan marah dan kesal, lalu mencari cara lain kalau keinginannya tidak berhasil dia dapatkan. Begitupun dengan Sintia. Ketika dia tidak berhasil mendekati rumahku, maka dia memilih cara lain dengan mendekati Devan serta mengadu kepada Mas Frans, contohnya.Aku memejamkan mata sekilas sambil menghembuskan nafas panjang. Sepertinya inilah saatnya aku harus kembali menegakkan hati dan menghadapi semua ini dengan tegar.Bismillah. Segera kubalas pesan dari suamiku.(Lakukan saja apa maumu, Mas. Atau apa perlu aku menyiapkan kamar hotel untuk kalian?)Tanpa kuduga, Mas Frans langsung merespon dengan cepat.(Terima kasih, Cahya. Jika kamu tidak keberatan mengaturnya, tolong pesankan saja sebuah kamar untuk dua malam di salah satu hotel berbintang.)Heh, aku tersenyum kecut melihat balasan dari Mas Frans. Pria itu benar-benar kebel
Bab 12Sintia memendam kekesalan. Bukan hanya karena keinginannya untuk bersama dengan Frans harus terhambat karena menunggu keridhoan dari Cahya, istri pertama suaminya itu pun bahkan menolak kehadiran dirinya di rumah utama. Tak kehabisan akal, Sintia nekat mendatangi Devan agar putra pertama suaminya itu tahu kalau ayahnya sudah mendua. Wanita itu tersenyum licik, puas membayangkan bagaimana sedihnya anak-anak Cahya saat mendengar kenyataan bahwa Papa hanya memiliki istri dua.Baru saja sampai di tempat itu, diluar dugaan, lagi-lagi dia harus gigit jari setelah Cahya datang dan menyindirnya. Wajah wanita bertabur make up tebal itu seketika memerah. Sintia menelan ludahnya kasar, takut kalau Cahya sebenarnya sudah mengetahui latar belakang dan masa lalunya. Akhirnya karena kesal, Sintia mendatangi Frans di kantornya."Pokoknya aku nggak mau tahu, Mas harus memberi nafkah batin padaku malam ini," ucap Sintia pada Frans.Wanita
Bab 13Aku duduk di balkon, menikmati teh manis sambil menunggu Mas Frans yang pasti akan segera pulang. Kalau beruntung dia akan bersama Sintia untuk melabrakku, tapi kalau dugaanku tidak meleset, pria itu akan datang sendirian.Tiitt …!Suara klakson ditekan kencang. Mobil hitam memasuki parkiran. Tak lama kemudian, taksi berwarna biru juga berhenti di bahu jalan. Sintia muncul dengan amarahnya. Apa mereka kejar-kejaran di jalan?"Cahya!""Cahya, keluar kau dan hadapi aku!""Buka gerbangnya, buka!" Wanita itu berteriak-teriak seperti orang gila. Kakiku bersilang menatap puas dari lantai atas. Dia tak sadar aku sedang memperhatikannya. Beruntung kamar anak-anakku ada di bagian belakang lantai dua. Mereka tak akan tahu apalagi terganggu.Dari arah pintu, Mas Frans ikut memburu. Nafasnya terlihat tersengal-sengal karena kelelahan dan bercampur amarah. Kasihan kamu, Mas, mau unboxing malah zonk.
Bab 14"Tumben Papa belum bangun." Devia langsung naik ke atas tempat tidur dan mengguncang lengan papanya. Untung pakaiannya sudah dikarenakan.Akan sangat gawat jika putri kecilku itu melihat papanya tidak memakai baju. Pikirannya akan berkelana mengingat usianya belum sampai ke tahap itu.Berbeda dengan Devia yang mengguncang-guncang lengan Mas Frans, hingga pria itu mengerjap dan duduk, Devan yang sudah berusia 5 tahun berdiri di samping tempat tidur.Anak itu melirik ke atas jam dinding, kemudian menyalakan lampu utama."Kita shalat berjamaah di rumah aja, Pa. Ujan gede di luar. Buruan, jangan sampai waktu subuh kelewat," ujar anak itu mengingatkan.Baik aku, Mbak Titin serta Mas Frans, selalu berusaha untuk membiasakan jadwal anak-anak. Mereka akan tidur di awal waktu dan bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Apalagi didikan sholat sudah kutanamkan sejak kecil.Saat usia sebelum baligh, aku berjanji
Bab 15Lima belas menit kemudian, mobil Mas Frans kembali ke halaman. Pria itu mengantarkan Devia, setelah tadi ikut mengantar kakaknya dan Mbak Titin ke TK.Beruntung Sintia sudah pergi. Wanita itu pasti tidak menduga kalau suamiku akan kembali mengantarkan anak keduaku."Nanti kita ke rumah sakit, ya, Mas," ujarku saat Mas Frans duduk di bangku kemudi."Ok. Aku usahakan pulang kantor lebih cepat atau saat istirahat kita pergi," jawabnya. Mobil pun melaju setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan. Aku masuk ke rumah bersama dengan Devia. Siang harinya Mas Frans menghubungi. Aku sudah siap dengan pakaian serba panjang. Lima menit kemudian suara klakson mobil terdengar di halaman. Devia merengek ingin ikut serta setelah bertengkar dengan kakaknya.Aku mengalah dan mengajaknya juga. Bergegas keluar dari rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Sintia yang duduk di bangku belakang. "Eum, Cahya, Mas akan jelaskan nanti."
Bab 16"Ibu ini yang bagaimana, masa menikahkanku dengan seorang wanita yang masih bersuami!" protes Mas Frans tak terima.…"Tidak. Aku tidak ingin terlibat dalam dosa zina. Walau bagaimanapun semuanya harus berakhir. Lagian Cahya juga sudah berperan untuk menyenangkanku," katanya lagi.…"Sebaiknya kita bicara langsung. Sore ini aku akan mengajak Cahya dan wanita itu ke rumah Ibu. Tunggu saja," ujar Mas Frans sambil menutup sambungan.Aku mendekat setelah memastikan priaku itu selesai. Aku menyentuh bahu suamiku. Pria itu menoleh. Terlihat kekesalan dalam wajahnya yang putih bersih."Siapa yang menghubungi, Mas?""Ibu," jawabnya singkat. Aku berohria. "Cahya, nanti kita ngobrol di rumah Ibu untuk berdiskusi. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini," kata Mas Frans lagi. Aku bingung memikirkan pikiran Ibu yang dalam hal ini kenapa ngotot dan tidak terima. Wanita itu kenapa lebih membela Sintia da