Bab 3
Setelah kepergian Yanti, aku merenung dan mencerna kata-katanya. Gadis itu benar. Aku tidak boleh diam saja dan harus melakukan rencana sesuai dengan sarannya.Jika aku tidak mampu mempertahankan suamiku dengan memilikiku seorang, maka aku tidak ikhlas jika apa yang kami dapatkan selama ini harus dibagi dua dengan wanita itu. Setidaknya aku harus memikirkan ketiga anakku, yang kedepannya mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang penuh dari ayahnya.Jam kantor sudah berlalu tiga jam yang lalu, tapi Mas Frans sama sekali belum datang ke rumah sakit. Iseng kuhubungi nomor asisten di rumah yang biasa menjaga anak-anak."Mama, kami kangen ….!" Suara bersahutan dari Devan dan Devia manggema lewat sambungan video call. "Halo sayangnya mama, Mama juga kangen kalian ….!" Rasanya hatiku nyari melihat mata bening mereka yang tanpa dosa. Tapi sebisa mungkin kututupi kesedihan itu. Aku tidak boleh kelihatan sedih atau mereka akan ikut sedih juga."Mama, katanya masuk rumah sakit untuk melahirkan dedek bayi, ya?" tanya Devia yang usianya baru menginjak 3 tahun. Tapi gadis kecilku itu sudah fasih berbicara. "Iya Sayang. Doakan Mama dan dedek bayi sehat ya, supaya kita cepat bisa berkumpul lagi."Aku menyembunyikan sebak yang tak kuasa kutahan. Lekas kuraih tisu di sudut meja, kemudian menyeka air mata saat layar hp kuedarkan ke sudut ruangan."Iya, Mama. Aku nggak sabar nungguin Mama pulang," ujar Devan, putra sulungku yang berusia 5 tahun. Devia dan Devan kemudian bercerita tentang kesehariannya di playground. Juga kegiatan apa saja yang mereka lakukan, termasuk dengan makanan apa saja yang mereka konsumsi. Bibir imut mereka tidak henti-hentinya berceloteh tentang apa saja yang membuat kesedihanku sedikit terlupakan.Lihatlah Frans, betapa teganya kamu membagi hati dengan wanita lain. Sementara ada dua anak yang lucu-lucu yang membutuhkan perhatianmu juga. Betapa hanya karena syahwat semata, hingga kau tega menambah istri lagi."Ya udah, Sayang. Mama tutup dulu sambungan teleponnya, ya. kebetulan mama udah ngantuk. Kalian juga bobok, ya?""Iya, Ma. Semoga Papa jagain Mama di sana terus, ya. Soalnya sejak Mama masuk rumah sakit, Papa belum pernah pulang," adu Devan membuat dadaku semakin nyeri."Iya, Sayang. Makasih." Kututup sambungan dengan hati nelangsa. Pria itu benar-benar keterlaluan. Setidaknya jika aku tidak bisa menemani anak-anak, seharusnya pria itu kembali ke rumah untuk menghibur mereka.Aku merebahkan kembali badanku sambil menahan sesak dalam hati. Pikiranku melayang jauh, membayangkan suamiku dengan Sintia yang mungkin tengah memadu kasih, meskipun tanpa ridha dariku. Tentu saja mereka sudah menjadi pasangan halal dan tidak membutuhkan izinku untuk melakukan ibadah suami istri.Tapi ya Tuhan, kenapa rasanya dadaku sakit sekali. Sepertinya aku masih tidak ridha Mas Frans menduakanku.Kriet. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, setelahnya Mas Frans masuk ke dalam.Kuperhatikan pria itu yang sedikit salah tingkah, bahkan rambutnya terkesan basah dengan baju yang sepertinya ganti baju. Aku tak tahu dia mendapatkannya dari mana.Tapi sebagai seorang istri yang sudah membersamainya selama hampir 7 tahun, jelas aku mengenali barang apa saja yang dikenakan oleh suamiku.Karena tiap pagi dan tiap malam, aku yang menyiapkan baju untuknya. Tapi ini, celana bahan dengan kemeja biru langit terlihat begitu nyaman dipakainya, bahkan dia memakai merek yang berbeda dari biasanya."Kenapa kamu belum istirahat?"Pria itu masuk ke dalam sambil membawa paper bag.'Mana mungkin aku bisa istirahat sementara suamiku sendiri mungkin saja habis pulang bersama dengan perempuan lain,' batinku terus mengoceh. Rasa cemburu itu kian meraja. Rasanya ingin kucakar wajah suami yang dengan teganya membagi hati."Aku istirahat di kantor, jika kamu curiga. Dan ini, aku terpaksa membeli baju baru karena aku tidak pulang ke rumah," tuturnya tanpa kuminta."Apa kau pernah merasa bersalah padaku dan anak-anak?!" Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari bibirku. Bo doh. Mana mungkin dia merasa bersalah. Yang ada dia ingin segera belah duren dengan wanita yang si alnya sangat cantik itu."Salah satu alasanku tidak pulang karena rasa bersalahku terhadap anak-anak. Tapi itu tidak merubah keadaan, Cahya," desahnya dengan suara seperti frustasi. Mungkin dia lelah dengan sikapku, bodo amat."Ya, kamu bener, Mas. Semuanya sudah terjadi. Tapi aku pastikan kau akan kehilangan segalanya jika kau tidak berbuat adil pada kami," ujarku menekankan kata-kataku membuat pria itu terkejut."Belakangan ini kau selalu dilanda emosi dan amarah. Bahkan aku seperti tidak mengenal Cahyaku yang selalu memberikan cahaya kelembutan dalam hatiku."Mas Frans berdecak dan hendak duduk di sampingku, namun aku segera membuang muka. Jijik rasanya harus berdekatan dengannya."Menjauh dariku dan duduklah di sofa!!" sentakku agar Mas Frans tidak berusaha untuk meluluhkan hatiku.Mas Frans mendengus kasar sebelum akhirnya menuruti ucapanku. Ditatapnya dalam-dalam manik mataku sekilas sambil menatap sayu. Aku ingin merasa iba padanya, namun dengan adanya pernikahan itu, dia terlihat seperti penghianat bagiku. Andaikan dia mau bicara baik-baik dan mencari jalan keluar untuk kebutuhannya, mungkin hatiku tidak akan sesakit ini. "Apa yang harus kulakukan agar kau bisa menerima kenyataan?!" Mas Frans bertanya setelah hening meraja diantara kami."Kau akan melakukan semua yang kumau?!" tanyaku memastikan kesungguhannya."Jika itu tidak menyalahi aturan, tentu saja akan kulakukan. Apa yang kau inginkan, katakan saja." Mata Mas Frans berbinar. Mungkin merasa ini kesempatan baginya untuk berhubungan dengan Sintia setelah berhasil memenuhi keinginanku."Aku ingin semua surat kendaraan, rumah, tanah, bahkan sebagian saham di perusahaan dipindahnamakan atas nama anak-anak.""Dengan begitu kau akan menyetujui pernikahanku dan Sintia, dan kau akan benar-benar menerimanya?!" tanyanya serius."Akan kupikirkan nanti setelah aku mendapatkan semuanya."Tak kuduga Mas Frans mengangguk dengan antusias. Pria itu langsung berdiri dan mendekat padaku. Diraih dan dibawanya aku ke dalam pelukannya, yang meskipun aku terus memberontak, tapi dia tetap kukuh melakukannya. Diciumnya pucuk kepala berkali-kali. Sebegitu besarkah keinginannya untuk berbulan madu dengan perempuan itu, hingga dia tidak berpikir dua kali untuk memindahkan nama kepemilikan atas anak-anak. Menyebalkan."Sesegera mungkin akan kuturuti permintaanmu. Kalau perlu besok aku akan menemui notaris. Kupastikan semua kendaraan, rumah, tanah, bahkan ruko-ruko itu akan menjadi hak milik anak-anak. Aku sama sekali tidak akan mengganggunya, Mas janji," ujarnya sungguh-sungguh."Bagus. Kalau begitu sekarang lepaskan aku," ujarku sambil mendorong tubuhnya. Mas Frans tidak marah kali ini. Dia malah masa-mesem dan duduk kembali di sofa, setelahnya mengambil ponsel yang sejak datang diletakkan di dalam satu celana, kemudian mulai mengetik pesan.Melihat ciri-ciri dan gerak-geriknya, kupastikan dia pasti mengabari Sintia. Tapi tak apa, silahkan lakukan apapun mau kalian. Lihat saja nanti. Setelah semuanya berada di tanganku, aku ingin melihat apakah wanita yang kau bilang baik itu, bisa menerimamu yang tidak memiliki apa-apa?Tunggu tanggal mainnya, Mas!Bab 4Segera cari tahu gadis yang bersama bernama Sintia. Dia adalah istri baru suamiku. Kukirim pesan kepada Arfan. Pria itu adalah sahabatku. Selain ahli IT, Arfan juga ahli peretas yang kerap bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus.Tak lupa kukirimkan beberapa foto yang kudapatkan dari Yanti. Lihatlah setelah ini Sintia. Aku ingin melihat seperti apa rupamu yang sebenarnya, sehingga kau mau-maunya menikahi pria yang sudah beristri dan beranak tiga.Tak lama masuk balasan dari Arfan.Ok, laksanakan. Eh btw, akhirnya diduakan juga kamu, pesannya diikuti oleh emot menutup mulut. Si al. Arfan mengerjaiku.Aku mulai memejamkan mata seiring dengan Mas Frans yang masih asyik memainkan ponselnya. Bahkan setelah aku berdehem berkali-kali, pria itu masih tidak mengindahkan keberadaanku. Ternyata sedalam itu pesona Sintia mengalihkan dunia suamiku.Keesokan paginya, Mas Frans menghubungi seorang pengacara sekaligus notaris dan memintanya langsung datang ke rumah
"Arfan, akhirnya kamu datang juga."Aku menghela nafas setelah pria itu akhirnya muncul di depanku. Padahal berkali-kali aku mengirim pesan padanya, tapi terus diabaikan olehnya."Sepertinya kamu penasaran sekali hingga menyuruhku datang cepat-cepat ke sini."Arfan meletakkan kopi panas di atas meja kemudian mulai duduk di sampingku."Bagaimana keadaanmu dan bayimu?" tanya pria itu memastikan. Arfan menyentuh tangan. Tapi sehalus mungkin berusaha kutarik tanganku, agar jangan sampai ada fitnah diantara kami, yang ujung-ujungnya malah membuat hubunganku dengan Mas Frans semakin renggang. Bisa makin jauh dia dan lari ke pelukan Sintia."Aku baik. Tapi aku penasaran dengan wanita itu. Oh ya, bisakah kau ceritakan sekarang saja. Aku ingin tahu seperti apa seluk beluk wanita yang menjadi istri kedua suamiku itu." Aku yang tak sabaran orangnya, bicara pada intinya agar tak buang-buang waktu."Semuanya ada di sini." Arfan kemudian mengirim file doc lewat ponselnya."Arfan, padahal kau tida
Bab 6 "Aku nggak suka ya, kamu baca- baca dan lihat- lihat chat orang lain!" tegur Mas Frans dengan pandangan kesal."Idih. Aku 'kan nggak sengaja. Lagian kupikir itu ponselku," kelitku membela diri.Enak saja dia nyalahin aku. Dia sendiri kok yang memberikan ponselnya. Aneh.Mas Frans meraih ponsel dari dalam saku celana sebelah kiri, kemudian memberikannya padaku. Ponselnya sendiri sudah disambarnya beberapa saat yang lalu.Aku langsung membuka WhatsApp untuk mencari pesan dari Arfan. Biar saja kubacakan kelakuan si Sntia di depan suami barunya. Eh tapi, chat dari pria itu tidak ada, bahkan nomornya pun hilang dari pesan paling atas. Kucari- cari di daftar panggilan juga hilang. Hm, pasti pelakunya Mas Frans sendiri. Dasar pria itu, mancing- mancing amaraku saja!Ini tak bisa dibiarkan. Dia sudah mencampuri urusanku."Mas, kamu menghapus pesan dari Arfan?" tudingku menatap kesal pada suamiku. Pasalnya hasil penyelidikan tentang Sintia ada di sana. Mas Frans melotot setelah mengot
Bab 7"Mau ngomong apa sih, Mas?" Aku menanggapinya dengan kesal. Kenapa belakangan ini dia jadi sering marah- marah, padahal dulu dia adalah pria yang sabar dan baik. Meskipun emosian tapi tak pernah menyerangku seperti sekarang. Apa karena nafsunya tidak tersalurkan, hingga emosinya naik ke otak."Kamu mengusir Ibu di rumah sakit tadi?" tanyanya seperti tuduhan."Siapa yang mengusir, Mas? Ibu sendiri yang kesal karena kamu menyuruhnya menjemputku," jawabku apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi."Jangan memutar balikan fakta, Cahya. Kenapa kamu harus mengusir Ibu dengan kasar dari rumah sakit, sih? Apa kamu nggak sadar kalau ibuku itu sama dengan ibumu juga, hah? Bagaimana perasaanmu kalau almarhum ibumu yang aku usir!!" bentaknya kasar. Sontak aku melotot tak terima. Berani-beraninya dia membawa-bawa ibuku yang telah tiada."Mas! Jangan samakan ibu kandungku dengan ibumu yang tidak pernah merestui pernikahan kita ini!! Jelas keduanya beda!!" Kutekankan kata- kataku dengan mata
Bab 8"Kenapa kamu melotot seperti itu, Cahya? Apa kamu nggak suka Ibu dan Sintia datang ke rumah ini?" "Tentu saja. Lagian untuk apa Ibu membawa wanita ini ke mari? Tak cukupkah kalian menorehkan sakit dalam hatiku, hingga harus pula Ibu membawanya datang ke rumah ini segala?!" tunjukku pada Sintia yang seperti biasa, memasang senyum miring. Heran dengan sikapnya itu, dasar wanita tak tahu malu. "Heh, ini rumah putraku juga, kalau- kalau kamu lupa!" "Dan aku istrinya Mas Frans kalau Ibu lupa! Bawa dia pergi dari rumahku sekarang juga! Aku tidak sudi dia menginjakkan kakiku di sini! Keluar, kau!!" usirku pada Sintia yang bersikap santai. "Mbak Cahya, jangan sok ngatur siapa yang boleh dan siapa yang nggak boleh datang ke sini. Aku datang bukan untukmu, tapi untuk suami kita." Sintia ikut bersuara."Nah, kamu denger Sintia ngomong apa?!" Ibu langsung tanggap. Pandangan kebencian jelas tersorot padaku, seperti biasanya.
Bab 9Kata demi kata serta semua informasi tentang Sintia berhasil kukantongi. Dan ternyata wanita itu memang seperti dugaanku. Aku tersenyum puas dan sangat berterima kasih kepada Arfan atas upayanya membantuku.Dan kini Sintia, masihkah suamiku akan mendekatimu setelah mengetahui masa lalumu yang kelam itu. Brughh!Mas Frans membuka pintu dengan kasar sambil membawa amarahnya padaku. Dadanya naik turun seolah-olah siap menerkamku untuk melampiaskan kekesalannya."Haruskah kamu bersikap seperti itu kepada Ibu dan Sintia? Tidakkah peringatanku beberapa jam yang lalu membuatmu bisa menahan amarah?!" Mas Frans menekankan kata-katanya. Aku tersenyum sinis. Begitulah pria yang nafsu bawahnya tidak tersalurkan, maka amarahnya lari ke kepala."Tenangkan hati dan pikiranmu, Mas. Tidak ada gunanya kita berdebat. Kau jelas lebih tahu kalau aku tidak sudi wilayahku diganggu oleh wanita lain. Beruntung aku hanya mengusir dan bert
Bab 10Kuketuk pintu yang tampak usang dengan warna catnya yang sudah memudar. Tak membutuhkan waktu lama, seorang pria tinggi berambut sebahu yang dikuncir asal langsung menatap serius."Siapa kamu?"Abbas mengernyitkan alis."Aku tidak mengenalmu. Ada urusan apa kamu datang ke mari?"Abbas langsung bertanya bahkan sebelum aku sempat memperkenalkan diri. Ok, tak masalah. Sepertinya dia bukan pria yang suka berbasa-basi."Kamu tak kenal aku, tapi aku mengenalmu. Dan kamu pasti mengenali wanita ini. Pria di sampingnya adalah suamiku." Kuulurkan ponselku yang segera diraihnya."Sintia?" Wajah pria itu menggelap. Terlihat urat-urat di rahangnya menegang."Jadi, istriku dinikahi oleh suamimu?"Abbas seperti terpukul ketika kusodorkan foto pengantin yang tak lain adalah Sintia dan Mas Frans. Tentu saja foto yang kudapat dari Yanti waktu itu.Aku mengangguk. Hubungan Mas Frans dengan Sintia
Bab 11Biasanya orang yang ngotot ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan, dia akan marah dan kesal, lalu mencari cara lain kalau keinginannya tidak berhasil dia dapatkan. Begitupun dengan Sintia. Ketika dia tidak berhasil mendekati rumahku, maka dia memilih cara lain dengan mendekati Devan serta mengadu kepada Mas Frans, contohnya.Aku memejamkan mata sekilas sambil menghembuskan nafas panjang. Sepertinya inilah saatnya aku harus kembali menegakkan hati dan menghadapi semua ini dengan tegar.Bismillah. Segera kubalas pesan dari suamiku.(Lakukan saja apa maumu, Mas. Atau apa perlu aku menyiapkan kamar hotel untuk kalian?)Tanpa kuduga, Mas Frans langsung merespon dengan cepat.(Terima kasih, Cahya. Jika kamu tidak keberatan mengaturnya, tolong pesankan saja sebuah kamar untuk dua malam di salah satu hotel berbintang.)Heh, aku tersenyum kecut melihat balasan dari Mas Frans. Pria itu benar-benar kebel