Bab 3Setelah kepergian Yanti, aku merenung dan mencerna kata-katanya. Gadis itu benar. Aku tidak boleh diam saja dan harus melakukan rencana sesuai dengan sarannya.Jika aku tidak mampu mempertahankan suamiku dengan memilikiku seorang, maka aku tidak ikhlas jika apa yang kami dapatkan selama ini harus dibagi dua dengan wanita itu. Setidaknya aku harus memikirkan ketiga anakku, yang kedepannya mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang penuh dari ayahnya.Jam kantor sudah berlalu tiga jam yang lalu, tapi Mas Frans sama sekali belum datang ke rumah sakit. Iseng kuhubungi nomor asisten di rumah yang biasa menjaga anak-anak."Mama, kami kangen ….!" Suara bersahutan dari Devan dan Devia manggema lewat sambungan video call. "Halo sayangnya mama, Mama juga kangen kalian ….!" Rasanya hatiku nyari melihat mata bening mereka yang tanpa dosa. Tapi sebisa mungkin kututupi kesedihan itu. Aku tidak boleh kelihatan sedih atau mereka akan ikut sedih juga."Mama, katanya masuk rumah sakit untu
Bab 4Segera cari tahu gadis yang bersama bernama Sintia. Dia adalah istri baru suamiku. Kukirim pesan kepada Arfan. Pria itu adalah sahabatku. Selain ahli IT, Arfan juga ahli peretas yang kerap bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus.Tak lupa kukirimkan beberapa foto yang kudapatkan dari Yanti. Lihatlah setelah ini Sintia. Aku ingin melihat seperti apa rupamu yang sebenarnya, sehingga kau mau-maunya menikahi pria yang sudah beristri dan beranak tiga.Tak lama masuk balasan dari Arfan.Ok, laksanakan. Eh btw, akhirnya diduakan juga kamu, pesannya diikuti oleh emot menutup mulut. Si al. Arfan mengerjaiku.Aku mulai memejamkan mata seiring dengan Mas Frans yang masih asyik memainkan ponselnya. Bahkan setelah aku berdehem berkali-kali, pria itu masih tidak mengindahkan keberadaanku. Ternyata sedalam itu pesona Sintia mengalihkan dunia suamiku.Keesokan paginya, Mas Frans menghubungi seorang pengacara sekaligus notaris dan memintanya langsung datang ke rumah
"Arfan, akhirnya kamu datang juga."Aku menghela nafas setelah pria itu akhirnya muncul di depanku. Padahal berkali-kali aku mengirim pesan padanya, tapi terus diabaikan olehnya."Sepertinya kamu penasaran sekali hingga menyuruhku datang cepat-cepat ke sini."Arfan meletakkan kopi panas di atas meja kemudian mulai duduk di sampingku."Bagaimana keadaanmu dan bayimu?" tanya pria itu memastikan. Arfan menyentuh tangan. Tapi sehalus mungkin berusaha kutarik tanganku, agar jangan sampai ada fitnah diantara kami, yang ujung-ujungnya malah membuat hubunganku dengan Mas Frans semakin renggang. Bisa makin jauh dia dan lari ke pelukan Sintia."Aku baik. Tapi aku penasaran dengan wanita itu. Oh ya, bisakah kau ceritakan sekarang saja. Aku ingin tahu seperti apa seluk beluk wanita yang menjadi istri kedua suamiku itu." Aku yang tak sabaran orangnya, bicara pada intinya agar tak buang-buang waktu."Semuanya ada di sini." Arfan kemudian mengirim file doc lewat ponselnya."Arfan, padahal kau tida
Bab 6 "Aku nggak suka ya, kamu baca- baca dan lihat- lihat chat orang lain!" tegur Mas Frans dengan pandangan kesal."Idih. Aku 'kan nggak sengaja. Lagian kupikir itu ponselku," kelitku membela diri.Enak saja dia nyalahin aku. Dia sendiri kok yang memberikan ponselnya. Aneh.Mas Frans meraih ponsel dari dalam saku celana sebelah kiri, kemudian memberikannya padaku. Ponselnya sendiri sudah disambarnya beberapa saat yang lalu.Aku langsung membuka WhatsApp untuk mencari pesan dari Arfan. Biar saja kubacakan kelakuan si Sntia di depan suami barunya. Eh tapi, chat dari pria itu tidak ada, bahkan nomornya pun hilang dari pesan paling atas. Kucari- cari di daftar panggilan juga hilang. Hm, pasti pelakunya Mas Frans sendiri. Dasar pria itu, mancing- mancing amaraku saja!Ini tak bisa dibiarkan. Dia sudah mencampuri urusanku."Mas, kamu menghapus pesan dari Arfan?" tudingku menatap kesal pada suamiku. Pasalnya hasil penyelidikan tentang Sintia ada di sana. Mas Frans melotot setelah mengot
Bab 7"Mau ngomong apa sih, Mas?" Aku menanggapinya dengan kesal. Kenapa belakangan ini dia jadi sering marah- marah, padahal dulu dia adalah pria yang sabar dan baik. Meskipun emosian tapi tak pernah menyerangku seperti sekarang. Apa karena nafsunya tidak tersalurkan, hingga emosinya naik ke otak."Kamu mengusir Ibu di rumah sakit tadi?" tanyanya seperti tuduhan."Siapa yang mengusir, Mas? Ibu sendiri yang kesal karena kamu menyuruhnya menjemputku," jawabku apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi."Jangan memutar balikan fakta, Cahya. Kenapa kamu harus mengusir Ibu dengan kasar dari rumah sakit, sih? Apa kamu nggak sadar kalau ibuku itu sama dengan ibumu juga, hah? Bagaimana perasaanmu kalau almarhum ibumu yang aku usir!!" bentaknya kasar. Sontak aku melotot tak terima. Berani-beraninya dia membawa-bawa ibuku yang telah tiada."Mas! Jangan samakan ibu kandungku dengan ibumu yang tidak pernah merestui pernikahan kita ini!! Jelas keduanya beda!!" Kutekankan kata- kataku dengan mata
Bab 8"Kenapa kamu melotot seperti itu, Cahya? Apa kamu nggak suka Ibu dan Sintia datang ke rumah ini?" "Tentu saja. Lagian untuk apa Ibu membawa wanita ini ke mari? Tak cukupkah kalian menorehkan sakit dalam hatiku, hingga harus pula Ibu membawanya datang ke rumah ini segala?!" tunjukku pada Sintia yang seperti biasa, memasang senyum miring. Heran dengan sikapnya itu, dasar wanita tak tahu malu. "Heh, ini rumah putraku juga, kalau- kalau kamu lupa!" "Dan aku istrinya Mas Frans kalau Ibu lupa! Bawa dia pergi dari rumahku sekarang juga! Aku tidak sudi dia menginjakkan kakiku di sini! Keluar, kau!!" usirku pada Sintia yang bersikap santai. "Mbak Cahya, jangan sok ngatur siapa yang boleh dan siapa yang nggak boleh datang ke sini. Aku datang bukan untukmu, tapi untuk suami kita." Sintia ikut bersuara."Nah, kamu denger Sintia ngomong apa?!" Ibu langsung tanggap. Pandangan kebencian jelas tersorot padaku, seperti biasanya.
Bab 9Kata demi kata serta semua informasi tentang Sintia berhasil kukantongi. Dan ternyata wanita itu memang seperti dugaanku. Aku tersenyum puas dan sangat berterima kasih kepada Arfan atas upayanya membantuku.Dan kini Sintia, masihkah suamiku akan mendekatimu setelah mengetahui masa lalumu yang kelam itu. Brughh!Mas Frans membuka pintu dengan kasar sambil membawa amarahnya padaku. Dadanya naik turun seolah-olah siap menerkamku untuk melampiaskan kekesalannya."Haruskah kamu bersikap seperti itu kepada Ibu dan Sintia? Tidakkah peringatanku beberapa jam yang lalu membuatmu bisa menahan amarah?!" Mas Frans menekankan kata-katanya. Aku tersenyum sinis. Begitulah pria yang nafsu bawahnya tidak tersalurkan, maka amarahnya lari ke kepala."Tenangkan hati dan pikiranmu, Mas. Tidak ada gunanya kita berdebat. Kau jelas lebih tahu kalau aku tidak sudi wilayahku diganggu oleh wanita lain. Beruntung aku hanya mengusir dan bert
Bab 10Kuketuk pintu yang tampak usang dengan warna catnya yang sudah memudar. Tak membutuhkan waktu lama, seorang pria tinggi berambut sebahu yang dikuncir asal langsung menatap serius."Siapa kamu?"Abbas mengernyitkan alis."Aku tidak mengenalmu. Ada urusan apa kamu datang ke mari?"Abbas langsung bertanya bahkan sebelum aku sempat memperkenalkan diri. Ok, tak masalah. Sepertinya dia bukan pria yang suka berbasa-basi."Kamu tak kenal aku, tapi aku mengenalmu. Dan kamu pasti mengenali wanita ini. Pria di sampingnya adalah suamiku." Kuulurkan ponselku yang segera diraihnya."Sintia?" Wajah pria itu menggelap. Terlihat urat-urat di rahangnya menegang."Jadi, istriku dinikahi oleh suamimu?"Abbas seperti terpukul ketika kusodorkan foto pengantin yang tak lain adalah Sintia dan Mas Frans. Tentu saja foto yang kudapat dari Yanti waktu itu.Aku mengangguk. Hubungan Mas Frans dengan Sintia