Saras menatap ke sekeliling, mengamati kamar yang memiliki corak berwarna biru muda. “Ini kamarnya Tuan Ricard,” sang maid mulai menjelaskan.“Kenapa dia membawaku kesini?” walaupun Saras dalam keadaan lapar, ia masih dapat berpikir jernih untuk tidak langsung menyantap makanan yang ditawarkan.“Alasan pastinya, saya tidak mengerti. tapi, setahu saya Nona adalah calon istri Tuan Ricard.”“Ap-apa?” Saras mencoba untuk mencerna perkataan wanita itu.“tapi maaf, saya sudah menikah dan pastinya saat ini saya sudah memiliki suami. soal saya adalah calon istri Ricard, itu sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal…” “Kata siapa?” seorang pria bertubuh tinggi, seperti tinggi badan Liam tengah berjalan memasuki kamar. Pria yang tempo hari Saras lihat di Rumah Sakit dan juga parkiran Perpustakaan itu nampak tersenyum tipis menatap wajah Saras. “Ka-kau?” Saras menatap tak percaya, pria itu benar-benar berada di hadapannya saat ini. “Selamat datang, calon istriku.” “Aku adalah istri Liam Anj
Bab 48Malam hari yang gelap dan hujan deras membalut kota dalam kesunyian. Lampu kota berkedip-kedip seperti bintang jauh, mencoba menerangi jalanan yang basah dan licin. Liam membawa Luna ke rumah sakit dengan langkah yang cepat wajahnya mencerminkan rasa khawatir dan kecemasan. Hujan deras menghantam atap mobil, menambah kesan darurat. Suara air hujan memenuhi udara, membuat suara lain terdengar begitu jauh.Luna berbaring di atas pangkuan Liam, matanya terpejam erat. Liam memanggil nama Luna berulang kali agar Luna tetap sadar. Sesampainya di rumah sakit, petugas medis siap menyambut di pintu rumah sakit, siap membantu untuk menyelamatkan nyawa Luna. Setelah Luna mendapat perawatan, Liam berinisiatif untuk menghubungi Viktor untuk mengetahui kabar tentang Saras. ***Saras mulai mengetikkan hari ulang tahunnya pada ponsel Ricard dan benar saja, ponsel yang tadinya terkunci kini bisa terbuka dan menampilkan sebuah video yang sepertinya sudah disengaja untuk diperlihatkan padanya. S
Pagi hari tiba dengan hujan yang membalut kota dengan kesegaran. Langit abu-abu pekat menjatuhkan air bagaikan tirai yang tak berhenti. tetesan hujan jatuh ke bumi, menciptakan melodi alam yang begitu indah. Jalan-jalan sepi, hanya ada suara hujan dan kabut pagi yang menghantui udara seperti sebuah bisikan rahasia hati. Saras yang masih berdiam diri di kamar hanya memperhatikan rintikan hujan Lewat kaca jendela kamarnya. Beberapa saat kemudian, cahaya matahari mulai memancarkan cahayanya menembus awan gelap dan mulai menerangi kota. melihat hal itu, membuat Saras memutuskan untuk pergi ke Kantor dan tidak ingin menjadikan hujan ini sebagai alasan liburnya. lagi pula, hujan sudah mereda dan ia berharap Liam belum berangkat. saat sudah sampai di ruang tengah, Saras mendapati bahwa Liam sudah berangkat terlebih dahulu tanpa berpamitan padanya. tidak hanya itu, semalam juga Liam tidak memberikan alasan mengapa Luna berada di dalam kamarnya dan pria itu tidak menjemput dirinya di rumah Ric
Bab 50“Apa katamu?” Liam yang tengah memimpin rapat kerja gegas meninggalkan ruangan tanpa memperdulikan tatapan mata yang kebingungan melihat dirinya yang pergi tanpa mengatakan apa-apa. Viktor yang mengabari insiden yang menimpa Saras hanya dapat menggeleng pelan melihat ekspresi khawatir yang terpancar jelas dari wajah Liam.“Dimana dia sekarang?” Liam sedikit lega karena hari ini dirinya tengah memimpin rapat di Perusahaan Danuarta. Jika tidak, pasti butuh waktu cukup lama agar bisa sampai ke tempat ini.“Saat ini Nyonya sudah diperiksa di ruang perawatan unit kesehatan kerja. ada luka lecet di bagian dahinya,” jawab Viktor yang berusaha untuk menyamakan langkahnya dengan Liam. Sesampainya di ruang kesehatan, Liam dapat melihat dengan jelas bagaimana dokter, dengan tangan yang terampil dan gerakan yang lembut tengah membersihkan luka Saras dengan cairan antiseptik. Saras menahan napas, mencoba mengendalikan rasa sakit yang tajam. Setelah luka bersih, dokter mengambil perban putih
Saras terbangun perlahan-lahan, menemukan dirinya berbaring di atas tempat tidur yang familiar. Dia memandang sekeliling, mencoba mengingat apa yang terjadi. Cahaya lembut lampu kamar menerangi wajahnya yang pucat. Ia merasakan kepala berputar dan badan terasa lelah.Tiba-tiba, kenangan samar muncul. Ia teringat tertidur di ruang perawatan, tetapi tidak ingat bagaimana cara dirinya bisa pulang. Matanya menemukan bantal yang tergeletak di sampingnya, dengan aroma yang ia kenali - aroma Liam.Saras mengangkat tubuhnya, menatap sekeliling kamar yang sunyi. Ia merasa sedikit grogi dan lelah. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi ingatannya kabur.Saras menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan. Matanya terpaku pada pintu kamar yang tertutup rapat. Ia bertanya-tanya apakah ada orang di luar. Tiba-tiba, Ia mendengar suara lembut dari luar kamar."Liam?" panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Saras menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan kebingungan. Ia
Bab 52Setelah beberapa hari tidak masuk kerja, karena luka yang ia derita akhirnya Saras memutuskan untuk kembali masuk ke kantor tepat di hari kepulangan ibu Mertuanya. Saras tidak meminta izin terlebih dahulu pada Liam, namun dengan meminta bantuan Viktor untuk ke kantor, hal itu sama saja dengan memberitahu Liam secara tidak langsung.Liam berdiri di sudut gudang, memperhatikan Saras yang sibuk mengangkat kotak-kotak. Ia baru selesai memimpin rapat kerja, setelah mendapat kabar dari Viktor, Liam bergegas untuk ke bagian gudang. Matanya tajam memantau setiap gerakan Saras, seolah mengawasi agar tidak terjadi kesalahan lagi.Saras, tidak menyadari perhatian Liam, terus bekerja dengan giat. Ia mengangkat kotak berat, napasnya terengah-engah.Liam melangkah mendekat, masih diam. "Saras, biar aku bantu," katanya, suaranya dingin namun lembut. Beberapa karyawan yang ada di gudang terlihat memperhatikan gerak gerik keduanya.Saras terkejut, menoleh ke Liam. "Tidak perlu, aku bisa."Liam
Di restoran mewah yang diterangi cahaya matahari, Liam dan Luna duduk di meja elegan dengan pemandangan kota. Luna mengenakan gaun biru cerah. Ia menyentuh lengan Liam dengan lembut. "Liam, aku merindukan waktu seperti ini," kata Luna, suaranya manis. "Kita harus lebih sering keluar bersama." Liam tidak bereaksi, memandang ke luar jendela dengan ekspresi datar. Pikirannya terpaut pada Saras. Di meja sebelahnya, Vinso, pria berwajah dingin dan mata tajam, memperhatikan adegan tersebut. Ia menikmati makan siangnya dengan tenang, tapi matanya terus memantau Liam. Vinso adalah tangan kanan Bagas, orang kepercayaan ayah Saras. Ketika Vinso menangkap pandangan Liam, terjadi kontak mata singkat yang tegang. Vinso tidak menunjukkan ekspresi, melanjutkan makan siangnya dengan sikap yang tenang. *** Saras keluar dari kantor, memanggul tas dan berjalan menuju tepi jalan untuk menunggu taksi. Cahaya matahari sore memancar, membiaskan bayangan gedung-gedung tinggi. Ia merasa sedikit lelah set
Di dalam mobil mewah Ricard, cahaya sore memancar melalui kaca, membiaskan bayangan Saras dan Ricard. Suasana tenang dan nyaman, dipenuhi aroma kulit dan kayu mahoni. Ricard menatap jalan seolah tidak ada beban di hatinya. sopir yang membawa Mobil terlihat begitu santai menjalankan mobil agar mereka dapat menikmati suasana sore ini dengan tenang. Saras duduk di sebelah Ricard, memandangnya dengan rasa penasaran dan waspada. "Vison sangat penting bagi ayahmu, bukan?" kata Ricard, suaranya tenang dan percaya diri. "Dia adalah orang kepercayaan yang sangat dipercaya." Saras mengangguk, kenangan pahit muncul. "Ya, tapi setelah kematian ayah, Vison menghilang. akuu sangat kehilangan. Apakah kau tahu apa yang terjadi padanya?" Ricard menatap Saras dengan mata bijak. "Mungkin Vison memiliki alasan untuk menghilang. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau mungkin... dia tidak ingin terlibat dalam konflik keluarga." Saras merasa tidak nyaman, merasakan ada sesuatu yang tersembunyi
Liam memandang wajah Saras yang basah oleh air mata, hatinya teriris oleh penyesalan yang mendalam. Ia menyadari kesalahannya, memahami bahwa istrinya tidak mungkin melakukan hal terlarang dengan Ricard. Rasa bersalah dan penyesalan menghantui hatinya, membuatnya terasa tercekik. Saras berusaha melepaskan diri, berlari menjauhkan diri dari Liam dengan langkah yang terhambat. Namun, Liam cepat-cepat memeluknya dari belakang, menahan tubuhnya yang bergetar. "Jangan pergi, Saras," katanya, suaranya penuh penyesalan dan kesedihan. "Aku tidak bisa kehilanganmu lagi." Mungkin ini terdengar gila, tapi baru ditinggal selama satu malam rasanya sungguh sulit bagi Liam untuk menerima kenyataan bahwa Saras telah meninggalkan dirinya.Saras menangis keras, tubuhnya bergetar dalam pelukan Liam. "Aku tidak bisa lagi, Liam. Aku tidak bisa hidup dengan pria yang tidak percaya padaku. Aku merasa hina dan sakit. aku bersumpah, akan membayar uang pengganti kontrak pernikahan kita..."Liam memeluknya lebi
“Ap-apa?” Rosa menahan senyumnya, dalam hati ia bersorak gembira karena Ricard berada di pihaknya untuk memuluskan rencananya. Melihat respon yang diberikan ibunya, Ricard sudah tidak terkejut lagi. Rosa adalah wanita paling licik yang pernah ia temui, terkadang Ricard juga heran bagaimana Tuhan bisa memberikan amanah anak pada wanita yang ada di hadapannya itu. “Aku jatuh cinta pada Sarastika saat pertama kali melihatnya. jadi, tidak ada alasan tertentu.” “Ricard, jujurlah pada ibu,” potong Rosa yang terdengar tidak sabar. Ricard sedikit memiringkan kepalanya, sebuah respon alami dalam dirinya. sepertinya ibunya ingin mengatakan sesuatu yang begitu penting. “Apa benar kau sudah tidur dengan Saras, dimalam kau menculiknya?” Ricard tidak menjawab, kepalanya ditegakkan dan berusaha untuk mencerna perkataan Rosa. “Saat ini, Sarastika hamil dan Liam tidak percaya jika janin yang dikandungnya adalah darah dagingnya. Ia percaya, bahwa itu adalah darah dagingmu.” Rosa melanjutkan, kali
Saras berjalan pelan melintasi lobi Hotel, matahari sore memancarkan cahaya hangat melalui kaca besar. Ia tidak memperhatikan sekitarnya, pikirannya terpaut pada masalah keuangan dan kehamilannya. Langkahnya terhenti sejenak di depan lift, menunggu pintu terbuka.Saat itu, seorang pria tampan berusia tiga puluhan keluar dari ruang konferensi. Matanya cokelat, rambutnya hitam dan terurus rapi. Ia mengenakan setelan bisnis yang elegan. Pria itu tidak sengaja menabrak Saras, membuatnya terkejut."Maaf, Nyonya," katanya dengan sopan, memegang lengan Saras untuk menyeimbangkannya.Saras menatap wajahnya, terkejut. "Ricard! Apa yang kau lakukan?"Ricard tersenyum, menunjukkan kesenangan. "Saras! Lama tidak bertemu.bagaimana kabarmu?"Saras merasa tidak nyaman, mengingat keadaannya saat ini. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya singkat.Ricard memperhatikan ekspresi Saras. "Ada yang salah? kenapa kau ada di hotel?”Saras menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Tidak,saat
Liam berangkat pagi-pagi sekali dari rumahnya, meninggalkan kesunyian rumah yang masih terasa hangat. Ia memandang ke luar jendela, melihat cahaya matahari yang mulai menyinari kota. Dengan napas dalam, ia meninggalkan rumah dan menuju ke kantor.Saat tiba di kantor, Liam langsung menuju ruang rapat yang disambut oleh Viktor. para pemegang saham sudah menunggu, berbincang-bincang dengan serius. Ia menyapa mereka dengan senyum tipis, tapi matahari pagi tidak bisa menghilangkan bayangan kelelahan di wajahnya.Rapat mingguan dimulai, dan Liam duduk di kursinya, memandang materi presentasi di layar. Namun, pikirannya melayang jauh, terpaut pada Saras dan kehamilannya yang tidak diakui. Perasaan bersalah dan kekecewaan menghantui hatinya.Suara orang-orang yang mengikuti rapat terdengar seperti kabur, tidak terlalu jelas. Liam berusaha fokus, tapi matanya terus berkelap-kelip, mengingat kata-kata Saras yang terus menggema di pikirannya.“Hiduplah dengan isi Kepalamu…”Liam menarik napas d
“Saras, masuk ke kamar.” Ucap Liam yang sudah berada di ruang tamu.Ruang tamu yang sebelumnya penuh kehangatan karena tangisan Saras,kini terasa dingin dan tegang. Saras masih berdiri di samping Vinso,matanya terlihat kosong dan dingin, menatap Liam dengan tatapan tajam. Wajahnya pucat, dan tubuhnya terlihat lemah. Ia memegang tas kecil di tangan kanannya.Liam berdiri di seberangnya, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa pergi!" katanya dengan suara keras. "Kita masih terikat kontrak pernikahan. Kau tidak bisa meninggalkan aku begitu saja!"Saras tidak terpengaruh. Ia mempertahankan tatapannya, suaranya datar. "Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Aku tidak ingin hidup dengan pria yang tidak mengakui anakku."Vinso, pria paruh baya yang berdiri di samping Saras, menatap Liam dengan kekecewaan. "Liam, kau harus memahami. Saras sudah tidak tahan lagi."Liam mengambil langkah maju, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa membawanya pergi! Aku tidak akan membiarkannya!
Saras membuka pintu kamar mandi dengan lembut, kabut hangat mengikutinya seperti selubung misterius. Rambut hitamnya tergerai basah di bahu, memperlihatkan lekuk-lekuk wajah yang masih merona setelah mandi. Mata coklatnya berkilauan dengan senyum lembut. Handuk putih yang terlipat rapi menutupi tubuhnya, membuatnya terlihat seperti patung dewi yang elegan. Aroma sabun yang lembut dan harum mengisi ruangan, membangkitkan kesan kesegaran dan keanggunan.Liam menatap wajah Saras yang terlihat lelah, namun tetap terlihat begitu cantik. Gadis itu terlihat membuka pintu lemari, memiliki baju yang akan ia pakai. Liam pikir Saras akan kembali ke kamar mandi untuk memakai bajunya, nyatanya pikirannya salah besar. biasanya Saras akan bersikap malu-malu dan tidak berani ganti baju di hadapannya. tapi kini, yang Liam lihat adalah kebalikannya.Tanpa ada rasa malu, Saras membuka handuknya membuat tubuh polosnya terlihat jelas membelakangi Liam. Pria itu lantas mengalihkan pandangannya, jakunnya na
Setelah pergumulan panasnya dengan Saras, Liam masih betah berada di dalam kamar bersama dengan Saras yang kini nampak masih tertidur pulas. Liam berjalan menuju ke arah jendela kamar, ia nyalakan rokok. lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, sebelum meniupkan asapnya ke udara. Pikirannya kembali pada kata dokter yang menyatakan bahwa saat ini Saras telah mengandung anaknya. namun, disisi lain ia masih belum bisa mengenyahkan pikirannya dari perkataan yang terlontar dari mulut ibunya. ya, bisa saja janin yang dikandung oleh Saras adalah milik Ricard, karena malam itu kakaknya telah menculik istrinya.“Li-liam…” Saras terlihat sudah bangun. gadis itu nampak malu dan berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke leher.“Kau hamil.” Ucap Liam berterus terang.“Si-siapa yang hamil?” Saras masih berharap jika isi kepalanya tidak sama dengan ucapan yang nantinya Liam katakan.“Kau Saras, kau hamil.” Liam memandangnya dengan tatapan mata yang begitu dingin. Diam-diam, dari balik
“Jaga mulut anda, Saras adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!” Vinso yang mendengar tuduhan Rosa langsung membela anak bosnya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.“Aku percaya pada Saras, tapi bagaimana dengan Ricard? bisa saja, ia melakukannya tanpa sepengetahuan Saras. dan benih Ricard terta-”“Keluar!” nada dingin itu terdengar begitu menyeramkan di telinga setiap orang yang berada di dalam ruangan. mendengar hal itu, Viktor bergegas untuk mendampingi sang dokter agar keluar terlebih dahulu, disusul Vinso yang terlihat diberi isyarat agar mengikuti Viktor.“Apa kalian tuli?” Liam sudah tidak sabar saat melihat Luna dan Rosa yang masih berada didalam kamarnya. Tidak ingin mencari masalah dengan Liam, akhirnya Luna keluar disusul oleh Rosa. setelah semua orang pergi, Liam mengunci kamarnya.“Saras bangun!” katanya sambil terus menggoyangkan tubuh Saras berharap agar gadis cantik yang masih memejamkan matanya itu membuka mata. Karena tida
Rumah Liam terasa seperti peti mati yang terbuka, mengeluarkan aroma kebusukan dan kebohongan. Suasana tegang menggantung di udara, seperti pedang yang siap menembus hati. Cahaya lampu yang lembut tidak bisa menghilangkan bayangan gelap yang menyelimuti ruangan. Liam berdiri di tengah ruangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Rosa dan Luna berdiri di belakangnya, mata mereka terpaku pada Vinso yang terlihat duduk tenang namun ketenangan itu seperti sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Vinso, dengan wajah serius, kembali melanjutkan percakapan yang akan mengubah segalanya. "Anjaswara datang untuk memohon agar Perusahaannya diselamatkan." Suara Vinso memecah kesunyian, seperti guntur yang menghantam bumi. Liam dan Rosa saling menatap, kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Luna menggigit bibirnya, mata penuh kebencian menatap Sarastika. Sarastika berdiri tegak, hatinya berdebar. Ia siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Viktor berdiri d