“Jadi kalian semua meninggalkannya sendiri di mobil untuk mencari bantuan? Apa kalian tahu mobil itu ringsek dihantam pohon yang roboh! Hah!”Dzurriya mengernyitkan dahinya di antara sadar dan tidak sadar. Suara hardikan samar-samar itu mengusiknya. Ia membuka matanya pelan-pelan, mengintip keadaan sekitar. Sebentar saja ia sudah tahu jika sudah berada di kamarnya.“Enyah kalian! Jangan pernah muncul di depanku!” suara keras Eshan menggelegar, bahkan dengan pintu yang tertutup.Ini pertama kalinya Dzurriya mendengar Eshan semarah itu. Biasanya, lelaki itu hanya berkata dingin dan menusuk, kadang juga sarkas. Namun kali ini, Eshan benar-benar berteriak.Dzurriya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat suaminya itu semarah itu.Selang tak berapa lama, terdengar gagang pintu di tarik turun. Sepertinya seseorang akan masuk. Dzurriya spontan menutup matanya lagi.‘Kalau itu Eshan, aku tak mau kena marah lagi. Lebih baik aku pura-pura tidur saja’Suara langkah kaki yang sangat dikenalnya ter
Kata-kata suaminya itu terdengar seperti ribuan petir yang menyengat habis isi otaknya, hingga ia hanya mampu terpaku lemas. Kakinya pun melunglai hingga hampir jatuh kalau saja tangannya tidak berpegangan pada tembok. “Hari ini kita ada cek lab telur dan sperma, kau tak boleh stres. Sudah, jangan berpikir macam-macam lagi!” suara Eshan berubah menjadi lembut, tapi itu malah membuat Dzurriya semakin terluka.Di sana, istri pertamanya sedang di tenangkan. Di sini, ia sendiri seperti istri yang tak diinginkan tapi harus bertahan….Lantas, Dzurriya segera menyeret langkahnya beranjak dari tempat itu. Ia mengusap air matanya yang tak mau berhenti. Tidak ada orang di sana yang pantas melihatnya menangis.“Dari awal, ini bukan pernikahan baginya , tapi apa yang sedang kamu lakukan, Dzurriya….”Dzurriya terus berjalan sambil terus mengusap air mata yang tak mau berhenti mengalir.Ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras, kemudian terduduk di belakang pintu itu. Tangannya y
Dzurriya pura-pura bersikap biasa saja, dan mengabaikan keberadaan Eshan. Ia melangkahkan kakinya menuju kulkas, dan melewati Eshan tanpa berbicara sepatah kata pun pada lelaki itu yang menoleh padanya.Ia buka pintu kulkas itu kemudian mengambil sebotol air dan meminumnya. Rasa laparnya langsung lenyap begitu saja, mungkin ia akan minum air saja dan kembali tidur. Dalam kesenyapan, ia menaruh botol itu dan menutup kulkas. Kemudian berbalik dan…“Astagfirullah!”Dzurriya memekik ketika Eshan sudah tiba-tiba berada di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi tampak menjulang, menutupi bayangan Dzurriya sendiri. Matanya itu menatap Dzurriya yang lebih pendek darinya. Keduanya beradu pandang beberapa saat, bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat. Apalagi wajah lelaki itu benar-benar hanya berjarak beberapa centi dari dirinya. Dzurriya bisa merasakan hembusan napasnya yang begitu lembut menyentuh dahinya.Pada saat yang sama…“AKU TAK SUDI MENIKAHINYA.”Kalimat itu bergema
Hacih!Setelah siang itu, Dzurriya tetap berada kamar sampai waktu makan malam. Namun, karena ia basah-basahan tengah hari, dan tidak langsung mandi setelah itu, badannya mulai mengalami demam.Puncaknya adalah pagi ini. Kepala Dzurriya terasa berat dan berdenyut, seluruh tubuhnya tiba-tiba juga terasa nyeri. Ia terus bersin sejak bangun tidur, hingga membuat hidungnya itu memerah.Setelah mandi dan berganti pakaian, Dzurriya berniat untuk sarapan. Ini sudah hampir jam setengah 8, Alexa dan Eshan pasti sudah selesai sarapan. Ia tidak ingin merepotkan pelayan yang membawa makanannya ke kamarnya lagi.Dzurriya bersin sekali lagi ketika membuka pintu.Tepat saat itu, seorang lelaki tiba-tiba berhenti melangkah di depan kamarnya karena terkejut. Dzurriya ikut terkejut sampai berhenti menggosok-gosok hidung, dan mengangkat kepalanya. Suaminya ada di sana tengah menatapnya dalam-dalam. Dzurriya yang masih merasa kesal, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan atau balik menatapnya. Ia melen
‘Aku tahu ini rumahmu, tapi tak bisakah kau cari tempat lain di rumah sebesar ini?’Sekarang, dibanding berdebar, Dzurriya malah merasa kesal sendiri. Niatnya untuk mencari udara segar, terancam gagal. Jika bersama Eshan di sini, bisa-bisa dirinya malah semakin pusing.Dzurriya mendengus saat suaminya itu menyadari kehadirannya. Ia segera berbalik, tetapi tiba-tiba Ryan sudah berdiri di balik punggungnya.“Astaga!” pekik Dzurriya saat menabrak dada Ryan. “M-maaf!” ucap Dzurriya terbata sambil menyilangkan tangan di atas dadanya. “Kau mau cokelat?” tanya Ryan sambil menunjukkan dua batang coklat almond.Dzurriya tidak langsung mengambilnya, hanya menatap Ryan bergantian dengan cokelat itu. “Kenapa kau memberiku cokelat?”Dzurriya meraih cokelat itu perlahan, tapi tidak bisa menghilangkan perasaan herannya. “Te… rima kasih,” sahutnya canggung.“Itu cokelat favoritmu, sudah pasti kau suka—”“Apa?”Ryan langsung menggeleng. “Maksudku, cokelat itu pasti akan jadi favoritmu.”Walaupun masi
Napas wangi lelaki itu membentur pipinya dengan lembut, membuat mata Dzurriya menutup secara otomatis. Ia tidak tahu ekspresi apa yang Eshan tunjukan sekarang. Ia takut, tapi perasaan takut ini berbeda dari biasanya.Napas Eshan semakin panas, dan sekarang terasa mendekat ke arah telinga Dzurriya. Ujung bibirnya yang basah terasa menyentuh kain kerudung Dzurriya dengan lembut. Matanya terpejam semakin rapat.Lantas, suara rendah dan serak lelaki itu terdengar.“Jangan keras kepala! Kalau sakit, minumlah obat!”Lelaki itu berdesah di telinganya.Setelah itu, tekanan itu seperti hilang sepenuhnya ketika Eshan menjauhkan diri. Dzurriya membuka mata. Lelaki itu tampak memunggungi sekarang.“Ambil obatmu di Tikno.” Itu adalah kalimat terakhir Eshan sebelum meninggalkan Dzurriya yang kacau dengan wajah memerah di atas meja kerjanya.***Hari itu, setelah Dzurriya keluar dari ruang kerja Eshan, ia langsung disambut Tikno yang berdiri di sana. Awalnya, Dzurriya terkejut, takut Tikno bertanya
Sore harinya, masih tetap senyap.Dzurriya duduk di halaman belakang, sedang membaca buku yang ia temukan di ruang depan tadi. Ia tak benar-benar memahami buku yang bercerita tentang seni berbisnis itu. Ia hanya membacanya karena bosan.Dari serambi belakang, ia melihat seorang pelayan tengah membawa baki dengan sebuah cangkir dan mangkok di atasnya. Ia mendekat ke arah Dzurriya.“Nyonya, Pak Tikno meminta saya membawakan ini untuk Nyonya,” ujar pelayan itu sesampainya di depan Dzurriya sambil menyodorkan baki tersebut.Itu aroma bubur yang tidak asing.Bubur itu tampak sangat polos, hanya ada potongan ayam dan jagung yang berwarna pucat. Melihatnya saja tidak berselera. Sudah hampir 3 hari Dzurriya memakan bubur yang sama.“Terima kasih,” ucap Dzurriya, dan pelayan itu pun pergi setelah memberikan baki tersebut. Dzurriya memandang bubur yang masih panas itu, dan menaruhnya di atas meja. Perutnya bergejolak bukan karena lapar, tapi karena ia merasa mual. Selama lima belas menit, ia
Berbeda dengan Dzurriya yang sempat bengong beberapa saat, Tikno langsung bersikap professional. Ia menegakkan tubuhnya dan menunduk sopan kepada Eshan. “Lakukan pekerjaanmu, Tikno,” ucap Eshan kepada Tikno, yang membuat Dzurriya akhirnya kembali ke alam nyata. “Baik, Tuan,” jawab Tikno. Tikno pun meninggalkan keduanya. Dzurriya mengalihkan perhatiannya dari Tikno, dan sekarang menatap wajah Eshan dengan takut. Ia ingin segera menutup pintu dengan pelan sebelum suaminya itu sadar, tapi gagal. Eshan sudah memegang sisi pintu itu dan menahannya. Dzurriya meringis malu sambil berusaha menarik pintu itu. Namun, tenaganya terlalu kecil dibanding suaminya, apalagi tangannya terlihat begitu kekar di balik kemeja birunya. “A–apa…” Belum lagi ia selesai berucap, tangannya sudah ditarik suaminya menuju dapur. Dzurriya memandang tangan yang digandeng itu. Rasanya begitu hangat dan nyaman meski jantungnya berdetak kencang. Setelah sampai di dapur, Eshan melepaskan tangannya. Dzurriya y