‘Aku tahu ini rumahmu, tapi tak bisakah kau cari tempat lain di rumah sebesar ini?’Sekarang, dibanding berdebar, Dzurriya malah merasa kesal sendiri. Niatnya untuk mencari udara segar, terancam gagal. Jika bersama Eshan di sini, bisa-bisa dirinya malah semakin pusing.Dzurriya mendengus saat suaminya itu menyadari kehadirannya. Ia segera berbalik, tetapi tiba-tiba Ryan sudah berdiri di balik punggungnya.“Astaga!” pekik Dzurriya saat menabrak dada Ryan. “M-maaf!” ucap Dzurriya terbata sambil menyilangkan tangan di atas dadanya. “Kau mau cokelat?” tanya Ryan sambil menunjukkan dua batang coklat almond.Dzurriya tidak langsung mengambilnya, hanya menatap Ryan bergantian dengan cokelat itu. “Kenapa kau memberiku cokelat?”Dzurriya meraih cokelat itu perlahan, tapi tidak bisa menghilangkan perasaan herannya. “Te… rima kasih,” sahutnya canggung.“Itu cokelat favoritmu, sudah pasti kau suka—”“Apa?”Ryan langsung menggeleng. “Maksudku, cokelat itu pasti akan jadi favoritmu.”Walaupun masi
Napas wangi lelaki itu membentur pipinya dengan lembut, membuat mata Dzurriya menutup secara otomatis. Ia tidak tahu ekspresi apa yang Eshan tunjukan sekarang. Ia takut, tapi perasaan takut ini berbeda dari biasanya.Napas Eshan semakin panas, dan sekarang terasa mendekat ke arah telinga Dzurriya. Ujung bibirnya yang basah terasa menyentuh kain kerudung Dzurriya dengan lembut. Matanya terpejam semakin rapat.Lantas, suara rendah dan serak lelaki itu terdengar.“Jangan keras kepala! Kalau sakit, minumlah obat!”Lelaki itu berdesah di telinganya.Setelah itu, tekanan itu seperti hilang sepenuhnya ketika Eshan menjauhkan diri. Dzurriya membuka mata. Lelaki itu tampak memunggungi sekarang.“Ambil obatmu di Tikno.” Itu adalah kalimat terakhir Eshan sebelum meninggalkan Dzurriya yang kacau dengan wajah memerah di atas meja kerjanya.***Hari itu, setelah Dzurriya keluar dari ruang kerja Eshan, ia langsung disambut Tikno yang berdiri di sana. Awalnya, Dzurriya terkejut, takut Tikno bertanya
Sore harinya, masih tetap senyap.Dzurriya duduk di halaman belakang, sedang membaca buku yang ia temukan di ruang depan tadi. Ia tak benar-benar memahami buku yang bercerita tentang seni berbisnis itu. Ia hanya membacanya karena bosan.Dari serambi belakang, ia melihat seorang pelayan tengah membawa baki dengan sebuah cangkir dan mangkok di atasnya. Ia mendekat ke arah Dzurriya.“Nyonya, Pak Tikno meminta saya membawakan ini untuk Nyonya,” ujar pelayan itu sesampainya di depan Dzurriya sambil menyodorkan baki tersebut.Itu aroma bubur yang tidak asing.Bubur itu tampak sangat polos, hanya ada potongan ayam dan jagung yang berwarna pucat. Melihatnya saja tidak berselera. Sudah hampir 3 hari Dzurriya memakan bubur yang sama.“Terima kasih,” ucap Dzurriya, dan pelayan itu pun pergi setelah memberikan baki tersebut. Dzurriya memandang bubur yang masih panas itu, dan menaruhnya di atas meja. Perutnya bergejolak bukan karena lapar, tapi karena ia merasa mual. Selama lima belas menit, ia
Berbeda dengan Dzurriya yang sempat bengong beberapa saat, Tikno langsung bersikap professional. Ia menegakkan tubuhnya dan menunduk sopan kepada Eshan. “Lakukan pekerjaanmu, Tikno,” ucap Eshan kepada Tikno, yang membuat Dzurriya akhirnya kembali ke alam nyata. “Baik, Tuan,” jawab Tikno. Tikno pun meninggalkan keduanya. Dzurriya mengalihkan perhatiannya dari Tikno, dan sekarang menatap wajah Eshan dengan takut. Ia ingin segera menutup pintu dengan pelan sebelum suaminya itu sadar, tapi gagal. Eshan sudah memegang sisi pintu itu dan menahannya. Dzurriya meringis malu sambil berusaha menarik pintu itu. Namun, tenaganya terlalu kecil dibanding suaminya, apalagi tangannya terlihat begitu kekar di balik kemeja birunya. “A–apa…” Belum lagi ia selesai berucap, tangannya sudah ditarik suaminya menuju dapur. Dzurriya memandang tangan yang digandeng itu. Rasanya begitu hangat dan nyaman meski jantungnya berdetak kencang. Setelah sampai di dapur, Eshan melepaskan tangannya. Dzurriya y
“MAS?” ulang Eshan tampak heran. Dzurriya terkesiap, takut salah bicara. “A-aku tak pernah memanggilmu sejak kita menikah… j-jadi… maaf.” Eshan tidak menanggapi, hanya memalingkan wajahnya sejenak dari Dzurriya. Melihat itu, Dzurriya pun menggigit bibir bawahnya, terlebih ketika melihat telinga Eshan memerah. Sepertinya lelaki itu sangat emosi. “Kau memang tak perlu memanggilku, kita hanya menikah di atas kertas,” ucap Eshan berikutnya, sambil berjalan menuju ujung meja. Ia pun duduk di sana. “Maksudku, akan tidak sopan memanggilmu Eshan, juga akan aneh kalau aku memanggilmu Tuan, sedangkan kau tak terlihat sepert Bapak bagiku,” Dzurriya mencoba untuk menjelaskan. Eshan tetap tak menjawab, membuatnya semakin berpikir kalau dirinya memang salah ucap. Apalagi ia tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas dalam jarak sejauh itu. “Setidaknya ketika kita hanya berdua,” lanjut Dzurriya pelan. “M-maksudku seperti sekarang saat tak ada orang lain. Apakah boleh aku memanggilmu…. Mas?” Dz
“Ada apa ini?!”Kehadiran Tikno langsung membuat para pelayan menjaga sikapnya kembali. Mereka langsung mundur beberapa langkah menjauhi meja, dan menunduk dengan kedua telapak tangan saling bertumpu di atas perut.“Apa yang kalian lakukan? Kalian di sini digaji untuk melayani keluarga ini bukan dilayani,” lanjut Tikno dengan keras“Kami tidak—”“Aku yang meminta mereka, Tikno.” pembelaan salah satu pelayan langsung disela oleh Ryan.“Maaf, Tuan, saya hanya menjalankan tugas. Mohon mengerti,” tukas Tikno dengan ekspresinya yang tetap tenang.“Nanti aku yang ngomong ke tuanmu,” Ryan tetap bersikeras.“Mohon maaf, kalau memang begitu, saya akan memakluminya setelah Tuan Eshan memerintahkan sendiri kepada saya.”Dzurriya tercenung. Sepertinya Tikno bukan sekedar pelayan biasa di rumah itu karena dia terlihat tidak segan membantah perintah sepupu suaminya itu.Lalu, seolah tidak membiarkan Ryan menyahut lagi, Tikno segera berkata kepada Dzurriya. “Nyonya, mohon bersiap. Kita akan berangka
“Jalan!” Lelaki itu kembali menodongkan pistolnya di belakang Dzurriya.Dzurriya yang menegang sedari awal hanya bisa menurutinya. Ia berjalan perlahan, sambil melirik ke sana kemari. Ketika menuruni eskalator, lelaki itu berpindah ke sebelah Dzurriya dan merangkul bahunya dari samping. Sontak, wanita itu menjadi pucat, ini pertama kalinya ia bersentuhan dengan seorang lelaki selain Eshan. Belum lagi, ia bisa merasakan ujung pistol tetap mengarah di pinggangnya.Ia berharap Tikno mencarinya dan menemukannya di sini. Sayangnya hanya berpapasan dengan orang asing yang sama sekali tidak membantunya. Sepertinya, lelaki ini sangat ahli menyembunyikan pistol dan ekspresinya.Dzurriya masih tidak berani mengangkat kepala, sampai mereka sampai ke lantai tempat Dzurriya dan Tikno berpisah. Ia mencoba berhenti dan menoleh ke arah toilet tadi, sayangnya lelaki itu langsung menghardiknya, “Cepat jalan!” Akhirnya Dzurriya hanya bisa pasrah.‘Tikno, kamu di mana?’Dzurriya berjalan dengan hati ya
Ciiit!Suara ban yang bergesek dengan lantai basement itu berdecit dengan sangat keras. Lampu depan sebuah mobil hitam menyorot kuat ke arah Dzurriya dan lelaki di sebelahnya.Kemudian, seorang lelaki berkemeja putih dan bercelana hitam keluar dari mobil itu. Lelaki itu memakai masker, tetapi karena cahaya silau dari lampu mobil, ia jadi tidak bisa melihat jelas wajahnya. Ia berjalan mendekat dengan pelan. Sekarang, lelaki di belakangnya itu mendorong Dzurriya sampai jatuh.Lelaki bermasker itu tampak sangat terkejut, matanya membelalak marah. Namun, belum sempat dia menghampiri Dzurriya, lelaki yang memiliki pistol itu langsung mengarahkan pistolnya ke depan, seolah hendak menantang lelaki tadi.Dalam sekejap, lelaki itu menendang pistol itu dengan mudah, hingga benda itu jatuh beberapa meter darinya. Perkelahian pun tak terhindarkan. Mereka sama-sama kuat, sampai lelaki bermasker itu menendang perut lelaki jahat itu, dan membuatnya muntah darah.Melihat musuhnya jatuh, lelaki berma
“Jadi ini rumahnya?” ujar Eshan sembari menilik keluar jendela, menatap rumah bercat hijau tanpa pagar dengan halaman yang tidak cukup lebar. Tampak sebuah pohon mangga besar dan rindang yang tengah berbuah banyak berada di tepi samping halamannya, dengan beberapa macam bunga di tepi depannya, rumah milik orang tua Dzurriya itu sungguh terlihat sederhana, tapi menyejukkan mata yang memandang.Terlihat kemudian pintu mobilnya dibuka oleh pengawalnya, ia segera keluar dari mobilnya dan masih menatap rumah itu dalam-dalam.Rumah itu kelihatan sepi seperti rumahnya, tapi kenapa hatinya merasa adem, seperti ada aura yang berbeda di rumah itu.“Apa Saya mau ketukan pintu, Tuan?” tanya salah seorang pengawalnya.Eshan hanya menggelengkan kepala, aku akan melakukannya sendiri.Ia kemudian mulai berjalan ke arah teras rumah itu, saat tiba-tiba seorang anak perempuan berlari ke arahnya sambil memegang-megang jasnya seperti hendak bersembunyi “Jangan lari kau! Dasar anak nakal!”Eshan langsun
“Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian akan baik-baik saja, jika tidak bersamaku?”Dzurriya terdiam mendengar ucapan suaminya tersebut.“Setidaknya mereka tidak akan tahu bahwa aku dan Angel adalah keluargamu?”“Sampai kapan?” tanya lelaki itu balik.Sekali lagi Dzurriya hanya terdiam. “Apa kamu bisa menjamin tidak akan ada yang mengejar kalian?” lanjutnya membuat Dzurriya semakin tercenung diam.“Jika kalian ada di sini, justru tempat yang menurutmu paling aman, bisa menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia ini, apa kau sadar itu Dek?” Ucap lelaki itu terdengar masuk akal.“Aku ingin memberi kalian status, supaya tidak ada lagi orang yang berani menyentuh kalian Aku hanya ingin kebaikan itu untuk kalian, setidaknya dengan bersamaku, aku bisa memastikan bahwa kalian aman dan baik-baik saja,” jelas suaminya itu.Dzurriya menelan ludahnya mendengar ucapan suaminya tersebut.“Aku mencintaimu Dzurriya,” ucap lelaki itu sambil menatapnya dengan lembut.Dzurriya terkesiap diam dan mena
Dzurriya menatap keluar jendela mobil tersebut, kampungnya tampak tak berbeda jauh dengan setahun setengah yang lalu.Terlihat beberapa orang yang tengah bersantai di depan rumah tetangganya, memandang mobil yang dinaikinya itu dengan heran.Dzurriya tersenyum dalam-dalam menatap mereka, matanya tampak berkaca-kaca.“Akhirnya aku kembali Aba, Ummi,” gumam Dzurriya dalam hati setelah menghela nafas panjang, kemudian berbalik menatap Putri kecilnya lagi.“Sayang! akhirnya Bunda bisa membawamu pulang,” seru Dzurriya dengan senang, kemudian mengecup pipi mungil putrinya dengan gemas.Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar mobil tersebut.Ia segera menoleh ke arah jendela kembali tampak beberapa mobil mewah terparkir di depan rumah budenya yang terbilang sangat luas itu, yang tepat bersebelahan dengan rumahnya.‘Ada apa, kok banyak mobil? apa Mas Erwin sedang lamaran?” pikirnya bertanya-tanya, sampai lehernya menoleh mengikuti gerak mobil itu yang semakin menjauh dari pekarangan r
Dzurriya menatap jauh ke arah suaminya yang tengah duduk di taman rumah sakit itu dengan pandangannya yang kosong.Sudah sejam lelaki itu berada di sana dengan matanya yang sesekali berkaca-kaca.Lelaki itu tadi terlihat sangat bahagia mendapati Dzurriya berada di sampingnya tadi, namun tiba-tiba berubah murung saat mengetahui bahwa istri pertamanya telah tiada.‘Secinta itu kau padanya Mas,” pikir Dzurriya sembari menelan ludahnya.“Apa yang kau pikirkan?”Dzurriya tersentak kaget mendengar pertanyaan Ryan barusan, ia kemudian menoleh ke arah sepupu iparnya tersebut.“Kenapa kau tak menghampirinya saja? Sepertinya dia butuh teman bicara,” tanya lelaki itu lebih jauh.Dzurriya tersenyum ringan, kemudian berbalik menatap jauh ke arah suaminya.“Apa kau tahu apa yang ditanyakannya tadi padaku saat dia baru siuman?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Ryan sedikitpun.“Apa dia bertanya kalau kau baik-baik saja?”Dzurriya tersenyum sambil menunduk ke bawah, mendengar jawaban Ryan tersebut, kem
“Mas!” teriak Dzurriya panik dengan mata yang nanar dan berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya dalam perempuannya tersebut.Lelaki itu tampak berusaha tersenyum padanya, sambil berbicara dengan nada terbata-bata, “ S–sekarang kita sudah impas… A—aku sudah ti—dak berhutang lagi padamu.”“Tidak! ini belum cukup! kau harus membayarnya seumur hidupmu! kau dengar itu?” ujar Dzurriya di antara air matanya yang terus-menerus mengalir ketakutan.Eshan kembali terlihat tersenyum, sebelum akhirnya tubuhnya tiba-tiba tersentak hebat, dan dari dalam mulutnya memancar darah yang begitu banyak, hingga menciprat ke sebagian pakaian Dzurriya dan mukanya.Lelaki itu pingsan dan langsung menutup mata setelahnya, membuat Dzurriya menangis histeris dengan begitu panik. Ia berusaha menggoyang-goyang tubuh suaminya itu, namun tidak ada respon sekali.Dengan ketakutan ia mulai berteriak minta tolong.Tiba-tiba beberapa orang datang bersama dengan Alexa yang tadi lari begitu saja setelah menikam suaminya.Di
“Lepaskan dia!” Sayup-sayup terdengar teriakan begitu kera, setelah suara pintu yang terdengar digebrak dan dibanting tiba-tiba. Diikuti kemudian oleh suara langkah kaki yang berlari dan berderap begitu berat, tampak tubuh Alexa tertarik ke belakang. Dzurriya langsung terbatuk-batuk, nafasnya yang tertahan begitu lama langsung tersengal-sengal keluar. ‘Apa dia benar-benar sudah gila?’ pikir Dzurriya sembari memegang lehernya dan melirik ke arah istri pertama suaminya itu. “Kamu nggak pa-pa?” tanya suaminya yang tengah berdiri di hadapannya dengan wajah begitu khawatir, sambil memegang kedua lengan atasnya. “Sayang, aku bisa jelaskan,” sela Alexa yang baru saja bangkit dan menghampiri suaminya itu, terdengar begitu gupuh. Jakun Ehsan tampak naik turun mendengar ucapan wanita itu yang kelihatan terus berusaha berkilah, sedang giginya tampak mencengkeram dengan kuat sambil membuang muka ke atas. Lelaki itu tampak begitu kesal, namun sepertinya masih berusaha untuk menahannya. “T
BrakTerdengar suara benturan dari bagian belakang kursi roda yang dinaiki Dzurriya karena menabrak dinding. Kursi roda itu tiba-tiba saja ditarik ke dalam sebuah ruangan oleh seseorang, kemudian kerangka sandarannya didorong ke belakang dengan cepat.Kejadian yang begitu cepat itu spontan membuat Dzurriya tersentak dengan tarikan nafasnya yang terjeda yang kemudian terengah-engah.Pria segera berusaha menguasai dirinya yang berdebar hebat dengan menelan ludahnya, kemudian perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap siapa yang sudah menariknya ke dalam ruangan tersebut.‘Mas!’Tampak wajah sang suami terlihat merah padam, sepertinya laki-laki itu sedang kesal.“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” ucap suaminya itu terdengar begitu sinis dan dingin.“Yang kuinginkan? Apa maksudmu?” tanya Dzurriya tak mengerti dengan apa yang diucapkan lelaki itu padanya.“Jangan pura-pura lugu kau sedang memanfaatkan kami berdua, kan?” tuduh Eshan tampak menatapnya semakin dekat dan semakin dingin.
“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanya Ryan tampak menatap Dzurriya dengan heran, setelah kepergian Eshan yang terlihat kesal, saat mendapati dirinya dan Ryan bersama.“Bukankah kau juga menginginkannya?” ucap Dzurriya bertanya balik padanyaLelaki itu tampak memicingkan matanya sembari melirik ke arahnya, “jangan berbohong padaku! bahkan kau melakukannya bukan untukku, apa kau cemburu karena Alexa tadi tiba-tiba datang dan menciumnya?”“Jangan bicara omong kosong! untuk apa aku cemburu pada wanita murahan seperti dia? cepat dorong aku!” ujar Dzurriya berusaha mengalihkan pembicaraan.Ryan tampak terkesiap mendengar penuturannya tersebut.“A–apa maksudmu? Kenapa kau menyebutnya murahan?” tanya lelaki itu terdengar terbata-bata dan berhati-hati.Dzurriya kembali menoleh ke belakang dan menatap lelaki itu dalam-dalam.‘Apa kau benar-benar yakin mau mendengarnya dariku?’ pikir Dzurriya kemudian menelan ludahnya.“Apa kau benar-benar tidak ingin membawaku untuk keluar? aku begitu penat b
“Apa?” Tampak Eshan berusaha memastikan apa yang barusan ia dengar tersebut, dengan alisnya yang tampak saling mendekat dan hampir menyatu.“Jadi jangan sia-siakan dia! atau aku akan segera merebutnya darimu,” ujar Ryan tiba-tiba menarik kerah Eshan, sambil menatap begitu tajam ke arah kakak sepupunya tersebut.‘Hah!” desah Dzurriya penuh sesal, Iya begitu terkesiap sekaligus tak menyangka kalau mantan kekasihnya itu bakal bicara sembarangan seperti itu.Sementara Alexa terlihat nyengir kegirangan, Ia bahkan terlihat sangat menikmati pemandangan itu.Berbeda dengan dirinya yang mulai was-was, apalagi melihat suaminya itu memegang tangan Ryan yang tengah mencengkeram kuat kerah bajunya, kemudian perlahan menurunkan tangan adik sepupunya itu, dan mulai menatapnya dengan tajam.‘Jangan-jangan mereka akan berkelahi!’ pikir Dzurriya.Tapi apa yang akan terjadi melampaui perkiraannya.“Kalau kau sangat menyukainya…”‘Apa yang mau kau katakan, Mas?’ pikir Dzurriya sambil menatap mata suamin