"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Dek, Mas mau minta izin. Mas ... akan menikah lagi," ucapnya dengan menunduk, kini ia sedang berlutut di hadapanku. Awalnya aku merasa terkejut, tetapi kemudian aku terkekeh. "Apa sih, Mas, kamu ada-ada aja." Aku hendak bangkit, namun dengan cepat ia menarik tanganku hingga aku kembali duduk. "Dek, Mas serius." Kini ia mengatakannya sambil menatapku lekat. Berusaha aku mencari kebohongan di dalam sorot matanya, tetapi aku malah menemukan kesungguhan yang membuatku terasa tertampar."Dengarkan Mas, Dek. Mas sudah berjanji padanya untuk menikahinya. Mas tidak bisa mengingkarinya. Mas harap kau bisa tabah menerima kenyataan ini."Hatiku terasa sangat hancur mendengar semua itu. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Sangat erat. Seolah ingin menunjukkan kalau dia sangat takut kehilanganku. Sungguh Na'if."Kau ... Bercanda, kan, Mas? Kau tidak serius, kan?" tanyaku dengan getir. Walau sudah tahu apa yang sebenarnya.Mas Alan mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. "Mas ser
"Alan, Yulia? Ada apa ini?"Ibu mertuaku muncul di ambang pintu, membuat tatapan mata kami yang sudah siap bertarung pun teralihkan. Dengan cepat kuusap wajah yang telah basah dengan air mata ini. Walaupun tak berhasil menyingkirkan sembab dan bengkak di mataku."Ada apa Aira, kenapa kamu berteriak-teriak seperti tadi?" tanya Ibu dengan cemas.Ibu beralih ke hadapanku dan mendongakkan wajah yang berusaha ku sembunyikan. "Ya ampun, kamu menangis, Ra? Alan, jawab Ibu, Aira kenapa bisa menangis sampai seperti ini?" Mas Alan bersiap menjawab. Namun ia terlihat sedikit enggan. Ya, aku mengerti karena Ibu sangat menyayangiku. Entah apalah yang akan Ibu lakukan jika sampai mengetahui yang sebenarnya."Aku ... Aku akan menikah lagi, Bu.""Apa?" Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Mas Alan. Aku sedikit merasa puas, setidaknya apa yang Ibu lakukan itu mewakili apa yang sangat ingin kulakukan."Menikah lagi? Menikah lagi, iya? Sana menikah lagi sesuka hatimu, Alan! Sana! Tapi ingat baik-baik,
Alan memang tak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu. Sisi kemausiaan dan sifat penyayangnya pada anak kecil membuatnya tak bisa membiarkan bayi itu dalam bahaya walau ia tak kenal siapa ibu dan ayahnya, dan Alan pun bersedia jika harus mengurusnya. Tetapi ... untuk menikahi ibunya ... Ia rasa, Ia tak bisa. Alan menatap sejenak wanita yang sekujur badannya masih basah tersebut. Ia wanita yang cukup cantik, tetapi tidak berhijab. Rambut hitamnya tergerai bebas hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya bergetar dengan kedua tangan saling memeluk. Ah, Ia sampai melupakan keadaan wanita itu saking paniknya memikirkan bayi tadi.Perlahan Ia dekati wanita itu dan berkata, "Emm, tolong tunggu sebentar di sini, ya? Saya akan mencari baju ganti untukmu," ucapnya.Wanita itu menatap Alan dengan wajah yang pucat pasi, tetapi tak mengatakan sepatah katapun. "Jangan ke mana-mana!" Setelah mengatakan itu, Alan pun berlalu untuk mencari baju ganti untuk wanita itu. Hujan sudah mereda,
Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan. "Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya. "Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri. "Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apap
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A