"Alan, Yulia? Ada apa ini?"
Ibu mertuaku muncul di ambang pintu, membuat tatapan mata kami yang sudah siap bertarung pun teralihkan. Dengan cepat kuusap wajah yang telah basah dengan air mata ini. Walaupun tak berhasil menyingkirkan sembab dan bengkak di mataku."Ada apa Aira, kenapa kamu berteriak-teriak seperti tadi?" tanya Ibu dengan cemas.Ibu beralih ke hadapanku dan mendongakkan wajah yang berusaha ku sembunyikan."Ya ampun, kamu menangis, Ra? Alan, jawab Ibu, Aira kenapa bisa menangis sampai seperti ini?"Mas Alan bersiap menjawab. Namun ia terlihat sedikit enggan. Ya, aku mengerti karena Ibu sangat menyayangiku. Entah apalah yang akan Ibu lakukan jika sampai mengetahui yang sebenarnya."Aku ... Aku akan menikah lagi, Bu.""Apa?"Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Mas Alan. Aku sedikit merasa puas, setidaknya apa yang Ibu lakukan itu mewakili apa yang sangat ingin kulakukan."Menikah lagi? Menikah lagi, iya? Sana menikah lagi sesuka hatimu, Alan! Sana! Tapi ingat baik-baik, jika kau memutuskan untuk menikah lagi, maka ceraikan Aira sesegera mungkin."Mas Alan langsung menoleh dengan kedua mata membelalak. Tatapannya terarah padaku sekilas, lalu kembali menatap ibunya."Tidak akan pernah, Bu. Alan sangat mencintai Aira."Plak!Satu tamparan lagi mendarat di pipinya yang lain. Aku yang berdiri di belakang ibu terus memperhatikan bagaimana ibu akan mengatasi masalah ini."Malu sedikit dengan umur, Alan! Kamu bukan lagi ABG. Kamu itu sudah dewasa, sama sekali tidak pantas mempermainkan pernikahan seperti ini. Mengaku mencintai istri, tetapi malah akan menikah lagi.""Bu, aku tidak melakukannya karena keinginanku sendiri. Aku tidak berdaya. Aku sudah terikat dengan janji. Tolong, izinkan aku menjelaskan semuanya terlebih dulu."Mas Alan melirikku. Segera ku alihkan tatapanku karena engggan bersitatap dengannya.FlashbackSore itu, aku pulang dari mengunjungi tempat yang akan dibangun pabrik di wilayah pinggir kota. Hujan turun dengan begitu deras hingga membuatku memelankan laju kendaraan beroda empat yang ku kemudikan. Saat melewati daerah yang cukup sepi dan gelap, aku menghidupkan lampu untuk memperjelas pandanganku. Dan samar-samar kulihat seseorang sedang berdiri di pagar tepi jembatan yang bawahnya terdapat sungai yang cukup deras ditambah dengan bebatuan besar yang cukup banyak. Semakin dekat, aku semakin dibuat terkejut saat menyadari ternyata yang kulihat itu adalah seorang wanita. Ia berdiri sambil menatap ke bawah dengan memeluk sesuatu di depan badannya. Tanpa berfikir panjang aku segera turun, tak menghiraukan air hujan yang mengguyur tubuh ini dengan deras."Mbak! Mbak sedang apa? Ayo turun!" teriakku sambil menarik tangannya."Enggak! Aku gak mau turun! Lepaskan aku!"Aku terkejut saat mendengar suara bayi menangis. Aku celingukan ke kiri dan kanan, namun tak menemukan siapapun selain wanita itu. Mataku langsung melotot saat menyadari yang ia gendong sedari tadi adalah seorang bayi."Ya Allah, Mbak! Apa Mbak sudah gila?" gerutuku sambil terus menariknya dengan sekuat tenaga supaya segera turun. Ia yang tenaganya kalah dariku pun menurut, walau masih terus berontak. Aku menariknya ke bawah rimbunnya pohon bambu di tepi jalan untuk berteduh sejenak."Astagfirullah ... Ya Allah ...." Aku tak bisa berkata-kata. Betapa teganya wanita itu membiarkan bayinya kehujanan. Bayi tersebut sudah basah kuyup dan terus menangis. Tanganku refleks hendak meraih bayi tersebut, sekedar untuk mengganti pakaiannya yang basah dengan jasku yang di dalam mobil. Namun, wanita itu menepis tanganku dengan kasar."Apa pedulimu? Siapa kamu? Kamu tidak punya hak untuk melakukan apapun!" teriaknya dengan mata melotot. Belum sempat aku menjawab, wanita itu kembali berjalan menerobos hujan, hendak menuju jembatan lagi."Mbak! Berhenti! Apapun masalahmu, jangan seret bayimu juga untuk menerima kebodohanmu, dia masih bayi, dia tidak salah apapun. Apa kamu tidak kasihan padanya?""Kasihan? Setelah kami lompat ia akan lebih damai. Bahkan aku kasihan padanya jika harus terus hidup di dunia yang kejam ini. Dan lagipula, dia yang salah! Karena kehadirannya aku diusir dan dihina. Aku dicampakkan dan keluargaku tak mau lagi menganggapku. Bayi ini yang salah, dia yang salah! Dia sumber bencana untukku! Dia pembawa sial! Dia harus mati bersama ku! Hidupku sudah hancur karena dia!" Aku yang tertegun mendengar penuturannya masih terpaku, tak sadar kalau wanita itu sudah kembali memanjat pagar yang tak terlalu tinggi itu."Tidak!" Aku segera berlari dan menahannya. Ku pegang punggungnya dengan tangan kanan dan tangan kiri menahan bayi tersebut supaya tidak jatuh."Jangan lompat! Pasti ada solusinya. Jangan lakukan ini!""Aku tidak punya apapun lagi. Hidupku sudah hancur, hidupku sudah berakhir. Aku benci diriku dan bayi ini. Ayahnya pun tak mempedulikannya dan malah bermain dengan wanita lain. Lalu siapa kamu yang berani menghalangiku? Minggir!""Tidaak, jangan lakukan ini." Aku sungguh panik, apalagi menyadari bayi itu kini masih terus disiram air hujan. Aku yang sudah lama mendambakan seorang anak merasa tak tega membiarkannya seperti itu. Atau, siapapun yang berada di posisiku sata ini pun pasti merasakan hal yang sama. Aku ketar ketir, wanita ini malah terus mengoceh, membuat bayi tak berdosa itu semakin lama kehujanan."Oke, aku akan menjadi ayahnya! Aku akan mengurusnya! Sekarang turun!" Wanita itu menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku yang sudah tak tahan melihat bayi itu terus kehujanan tak bisa berfikir panjang dan berkata, "Aku akan menikahimu. Aku akan menjadi ayah dari anakmu." teriakku tegas dan penuh kesungguhan. Seketika gelegar guntur menggema, seolah menyambut ucapanku barusan.Wanita itu masih tak bergerak dan menatapku dengan wajah sedih, lalu kemudian ia menangis terisak dan tubuhnya melemah. Aku segera membantunya untuk turun dari pagar tersebut dan segera membawanya ke dalam mobil. Dengan perasaan tak menentu aku melajukan mobil dengan kecepatan penuh, menembus jalan gelap dan derasnya hujan. Nyawa bayi itu sedang dalam bahaya, itulah yang saat ini terus memenuhi isi kepalaku. Tentu aku tak bisa membiarkannya. Aku langsung menuju ke rumah sakit terdekat. Di sana aku segera mencari dokter untuk segera menangani bayi malang itu. Bayi tersebut sudah tak mengeluarkan suara, matanya pun terpejam, namun sesekali bibirnya bergerak seperti merengek. Aku menunggu pemeriksaan dengan hati penuh rasa khawatir, berkali-kali aku mondar mandir di hadapan Ibu dari sang bayi yang malah melamun dengan tatapan kosong. Tetapi air mata terus turun dari kedua matanya.Jedaaarr!!Bagai disambar petir, tubuhku langsung terdiam kaku saat tiba-tiba saja kata-kataku pada wanita itu kembali terngiang-ngiang di telinga. Aku ... Akan menikahinya? Akan menikahinya? Mana mungkin?Panik, syok, dan serba salah bercampur aduk dalam dada ini menjadi satu. Aaarrggghh!! Ingin sekali aku berteriak dengan kencang sambil menonjok-nonjok dinding. Tapi dengan sekuat tenaga aku tahan. Aku begitu syok menyadari apa yang telah keluar dari mulutku sendiri. Aku baru menyadarinya sekarang. Kenapa? Aku? Bagaimana aku telah mengatakan hal sesakral itu dengan begitu enteng? Sedangkan aku, sudah ada wanita lain yang mungkin sekarang sedang menungguku yang tak kunjung pulang. Perlahan kaki ini melangkah ke belakang hingga membentur dinding, ku tangkup wajah dengan kedua tangan sambil mendongak. Kenapa aku bisa seceroboh ini hingga bisa berada di titik yang super membingungkan seperti ini? Kenapa ya Allah ...?Bayang-bayang wajah Aira terus lalu lalang di dalam ingatanku. Aku merasa berdosa padanya. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang? Tak mungkin aku mengkhianati Airaku yang sangat kucintai. Ah, padahal ada cara lain selain menikahinya. Aku bisa saja menawarkan diri merawat anaknya, dan dia tak perlu lagi memikirkannya, dia bisa menjalani hidupnya dengan cukup enteng karena bebannya sudah aku ambil alih. Kenapa aku tidak kefikiran ke sana tadi? Aku menjadi sangat kesal pada diriku sendiri. Dan sekarang, semuanya sudah terlanjur.Eh, tapi mungkin saja masih bisa diperbaiki. Ya, aku harus berbicara terlebih dulu padanya.Alan memang tak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu. Sisi kemausiaan dan sifat penyayangnya pada anak kecil membuatnya tak bisa membiarkan bayi itu dalam bahaya walau ia tak kenal siapa ibu dan ayahnya, dan Alan pun bersedia jika harus mengurusnya. Tetapi ... untuk menikahi ibunya ... Ia rasa, Ia tak bisa. Alan menatap sejenak wanita yang sekujur badannya masih basah tersebut. Ia wanita yang cukup cantik, tetapi tidak berhijab. Rambut hitamnya tergerai bebas hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya bergetar dengan kedua tangan saling memeluk. Ah, Ia sampai melupakan keadaan wanita itu saking paniknya memikirkan bayi tadi.Perlahan Ia dekati wanita itu dan berkata, "Emm, tolong tunggu sebentar di sini, ya? Saya akan mencari baju ganti untukmu," ucapnya.Wanita itu menatap Alan dengan wajah yang pucat pasi, tetapi tak mengatakan sepatah katapun. "Jangan ke mana-mana!" Setelah mengatakan itu, Alan pun berlalu untuk mencari baju ganti untuk wanita itu. Hujan sudah mereda,
Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan. "Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya. "Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri. "Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apap
Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi. "Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut."Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. "Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan. "Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi
Pagi ini, Aira melakukan kegiatannya seperti sebelum-sebelumnya. Menyiapkan sarapan, nasi goreng, telur mata sapi, serta teh hangat. Sang surya sudah mulai menyinari hamparan bumi menggantikan tugas rembulan. Aira melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.27. Tetapi Alan belum juga kelihatan. Segera ia naik ke lantai dua di mana kamar mereka berada. KleekPintu terbuka sedikit, Aira sedikit mengintip lebih dulu ke dalam kamar yang gelap itu, membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Tirai tinggi ia buka hingga membuat sinar hangat mentari pagi menyinari kamar. Alan masih belum bergerak, ia masih bergelung nyaman di dalam selimut tebalnya. "Mas ... Mas bangun! Ini sudah siang, loh," ucap Aira sambil mengguncang lengan suaminya."Emmmmh ... Jam berapa?" tanyanya setelah menggeram dan menggeliat."Jam setengah tujuh." "Astaghfirullah! Mas kesiangan, Dek." Alan langsung melompat ke lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Aira terse
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas." Alan masih tak bergeming, ia masih terus menatap Aira dengan tatapan sendu. "Aku akan tetap bersama Mas, apapun yang terjadi." Kedua matanya mulai mengkristal, tatapannya terhalang oleh genangan air mata yang sudah membuncah hingga akhirnya tumpah, luruh membasahi pipi. Dengan cepat Aira mengusap jejak air mata itu dengan jari-jari tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat bahwa suaminya itu tidak boleh menangis. Secepat kilat Alan menarik Aira ke dalam pelukannya, ia tetap melakukannya walau diantara mereka ada meja yang lumayan memisahkan jarak antara keduanya. "Mas ..." ucap Aira berusaha melepaskan pelukannya. Ia merasa cukup malu menyadari dirinya dan Alan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran itu. Namun, Alan seolah tak peduli di mana kini mereka berada. "Aira ... Mas benar-benar berterima kasih. Terima kasih, Aira Sayang, terima kasih." Hanya itu kata-kata yang keluar berkali-kali dari bibir pria berj
"Assalaamu'alaikum." Suara dari luar membuyarkan lamunan masa lalu Yulia yang kelam. Wanita itu segera mengusap air mata, dan berusaha terlihat baik-baik saja. Cilla masih tidur dengan nyenyak, Yulia segera melangkahkan kakinya mendekati pintu depan, melihat siapa yang datang pagi-pagi begini."Wa'alaikumussalaam ..." ucapnya sambil membuka pintu. Ternyata Alan yang datang, ia sudah berdiri di depan menunggu."Tuan? Ayo masuk. Maaf, aku terlalu lama membuka pintu." "Tidak apa-apa." Yulia menutup pintu kembali setelah Alan masuk. Pria itu langsung duduk di kursi. "Mau minum apa?" "Air putih saja." Yulia segera membawakan air putih untuknya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. "Emm, maaf, saya belum tau siapa namamu," ucapnya membuat Yulia teringat kalau mereka memang belum berkenalan. Yulia tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala samar menyadari kekonyolannya. Yulia bahkan sudah berani meminta Alan menikahinya, tapi malah berkenalanpun belum. "Aku Yulia, biasa dip
"Aira, kamu apa-apaan, sih?" tanya Vina setelah tiba di dapur."Apa-apaan, apa, Bu?" tanya Aira tak mengerti. Vina menghela nafas dalam, lalu menatap Aira dengan gemas."Kamu kenapa, Aira? Kamu tidak perlu memperlakukan wanita itu sebagai tamu. Kenapa kamu ini? Ibu sangat tidak mengerti sama kamu. Kamu terlihat bahagia sekali," gerutunya membuat Aira terkekeh."Ya ampun, Ibu. Kok jadi Ibu yang gemas, sih?" tanya Aira dengan masih tertawa kecil. "Ya, bagaimana Ibu tidak gemas melihat kamu terlalu menyambut wanita itu dengan baik? Jangan rendahkan harga dirimu di depannya, Aira. Ibu tidak suka." Vina melipat kedua tangannya di dada, lalu memalingkan muka. Aira mengerti isi hati Ibu mertuanya itu yang terlalu menyayanginya, Vina terlalu mengkhawatirkan kebahagiaannya. "Sudahlah, Ibu. Jangan terlalu cemas seperti itu. Apa Ibu tidak lihat, Yulia masih sangat muda dan ia terlihat polos? Aku rasanya langsung menerimanya," ucap Aira membuat Bu Vina menganga."Ya ampun, Aira, apa yang meras
"Yulia sudah tidak ada," ucap Alan saat menemui istri dan ibunya di kamar. "Ya bagus kalau begitu. Berarti dia itu sadar diri," ucap Vina ketus."Tapi, Bu, Yulia tidak salah apapun. Jangan terlalu kasar padanya." "Alan! Kamu ini apa-apaan sih?" Alan hendak menjawab, namun Aira lebih dulu menimpali."Ya, Bu, Mas Alan benar. Aira yang sudah mengundangnya. Tapi ... Aira malah meninggalkannya." "Ya kenapa kamu mengundangnya segala? Kamu seakan mengundang penyakitmu sendiri." Aira terdiam, merasa tertampar dengan apa yang Vina katakan. Awalnya, ia merasa sudah bisa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Yulia. Dia ingin mengenal wanita itu lebih dulu sebelum menikahkannya dengan Alan. Tetapi, ternyata sesuatu yang tak ia sangka malah melukai hatinya. Sore tiba, Vina sudah pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah mereka. Sedangkan Aira, di saat fikiran kacau seperti ini ia membutuhkan Maulida untuk mencerahkan fikirannya. Ia berpamitan pada Alan, tetapi Alan mencegah dan meminta A
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A