Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan.
"Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya."Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri."Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apapun untuk membela dirinya."Kalau begitu biarkan Aira memilih jalannya sendiri, Alan. Biarkan Aira menemukan kebahagiaannya." Alan mendongak, mata basahnya menatap Vina dengan raut tak mengerti."A-apa maksud Ibu?" tanyanya dengan cemas.Vina terlihat menarik nafasnya dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Ceraikan Aira, lepaskan dia, biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri di luar sana."DegAira pun pun sampai terkejut mendengar ucapan Vina, sama halnya dengan Alan. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap tak percaya pada Vina."Tidak, Bu. Aku tidak akan melakukannya. Aku mencintai Aira. Dia sangat berarti untukku, Bu.""Lalu? Kau mau dia tetap bersama denganmu, sedangkan kamu sendiri malah menikahi wanita lain? Kamu jangan egois, Alan. Jangan kekang Aira dalam hidupmu. Biarkan dia pergi.""Tidak, aku tidak bisa melepaskannya, Bu. Aku sangat mencintainya." Alan memegang tangan Vina lalu menunduk menangis. Ia menyentuhkan punggung tangan wanita paruh baya itu pada keningnya, cukup lama."Ibu tidak akan membiarkanmu serakah, Alan. Jbu tifak akan membiarkanku menjadi suami yang jahat. Jika kamu tetap bersikeras akan menikahi wanita itu, maka Ibu akan membantu Aira untuk lepas dari kamu. Ingat itu!" Vina langsung bangkit dan berlalu keluar dari kamar, meninggalkan Alan yang tersungkur di lantai dengan pundak bergetar. Aira menyeka air mata yang turun sekali-sekali lalu bangkit meninggalkan Alan sendiri. Dan semenjak kejadian itu, Aira dan Alan saling diam. Tak ada lagi perbincangan hangat, tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi bergelayut manja diantara mereka. Bahkan, hingga sekarang.Ddrrrttt ddrrrttPonsel Aira bergetar dari dalam tas membuyarkan lamunannya sekaligus menarik kesadarannya ke waktu sekarang. Aira meraih ponsel dari tas pundak yang ia kenakan. Ustadzah Maulida, nama yang terpampang di layar ponsel. Segera ia menggeser tombol untuk menerima panggilan itu."Assalaamu'alaikum, Ustadzah?""Wa'alaikumsalaam, Aira, kamu di mana?""Aku di lantai dua, Ustadzah, meja yang terletak di balkon.""Oh, ya sudah. Aku ke sana. Assalaamu'alaikum.""Wa'alaikumussalaam."Tutt ... Panggilan terputus. Aira memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam tas dan segera duduk, menunggu kedatangan Ustadzah Maulida yang sudah ia tunggu dari tadi.Begitu sosoknya terlihat, Aira melambaikan tangan. Temannya itu masih sama seperti dulu, selalu mengenakan abaya lebar disertai dengan hijab lebar dan niqob berwarna senada. Kali ini, ia menggunakan niqob bandana, yang hanya memperlihatkan kedua mata tegasnya saja. Kenapa Aira bisa tahu itu orang yang ia tunggu? Ya mungkin karena Aira sudah mengenal gerak geriknya dan ciri khasnya. Sehingga kalaupun Ustadzah Maulida berada di antara wanita berniqob lain, Aira tetap bisa menebak dirinya yang mana."Assalaamu'alaikum, Aira?" sapanya sambil mengulurkan tangan yang terbalut handshock."Wa'alaikumussalaam, Ustadzah." Aira hendak mengecup punggung tangannya, tetapi ia menolak. Ia pun mengajak Aira bercipika cipiki, membuat mereka terkesan lebih akrab."Duduk, Ustadzah.""Ah, kamu, Aira. Jangan memanggilku seperti itu, kita hampir seumuran. Kau membuatku merasa sangat tua dengan sebutan itu.""Tetap saja, Ustadzah putri dari Ustadzah Aluna, guru saya. Justru saya malu jika memanggil Ustadzah hanya nama saja."Mereka berbincang-bincang basa basi, membicarakan apapun yang Aira tanyakan dari pesantren tempatnya menimba ilmu dulu, sekaligus rumahnya Ustadzah Maulida ini. Aira dengannya memang cukup dekat, hingga setelah Aira menikah pun mereka masih tetap berteman."Ustadzah, ada yang ingin aku tanyakan. Aku ingin meminta pendapat Ustadzah tentang masalah yang sedang aku hadapi," ucap Aira membuka topik utama. Ustadzah Maulida pun langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. Terlihat dari sorot matanya."Mas Alan, dia meminta izin padaku untuk menikah lagi," ucap Aira. Walau ia merasa sudah berusaha tegar menerima kenyataan ini, tetapi ternyata hatinya masih rapuh saat mengakui permasalah yang sedang menimpa rumah tangganya. Memang, sangat sulit menghadapi masalah yang satu ini.Ustadzah tak langsung berkomentar, ia terlihat cukup terkejut dengan apa yang Aira katakan itu. Aira kembali menangis, dan Ustadzah Maulida mengusap-usap punggung Aira, membiarkannya menumpahkan air mata yang terus mendesak keluar."Terus, bagaimana, Ra?" tanyanya setelah Aira cukup tenang."Aku bingung, Ustadzah. Ibu mertuaku menyuruh Mas Alan menceraikanku jika ia bersikeras ingin menikah lagi. Ibu mertua sangat menyayangiku hingga tak ingin membiarkanku dimadu. Tapi, aku masih bingung dan tak bisa memutuskan apapun. Entah harus bertahan atau berpisah, aku tak bisa mengambil keputusan. Jujur, aku sudah sangat mencintai Mas Alan. Entah akan seperti apa efeknya jika saja aku harus berpisah dengannya. Tapi, aku pun merasa tak sanggup jika harus membagi hati dan raga Mas Alan dengan wanita lain. Membayangkannya saja ... hatiku sudah sangat sakit, Ustadzah," ucap Aira diiringi dengan pundak bergetar. Ustadzah memegang pundak Aira, lalu ia menarik Aira ke dalam pelukannya."Aira, seorang suami memang diperbolehkan menikah lagi jika memang secara materi dia sudah mampu. Tetapi tetap harus dengan izin istri pertamanya. Karena apa? Karena hanya istrinya lah yang mengenal pribadi si suami lebih baik dari siapapun, bahkan dibanding dirinya sendiri. Jika kamu merasa kalau suamimu akan mampu bersikap adil, atau akan berusaha belajar adil, maka kamu bisa mengizinkannya. Tapi jika menurutmu suamimu itu orang yang egois, tak mau mendengar nasihat, dan selalu mengedepankan nafsu, maka jangan izinkan."Ustadzah Maulida melepaskan pelukan, ia menangkup wajah Aira dengan kedua tangannya, lalu berkata, "Nah, untuk itu kamu sendiri sebagai istrinya pasti sangat mengenal suamimu itu orang yang seperti apa. Karena poligami itu memiliki nilai yang lebih dari pada rumah tangga biasa yang hanya mempunyai satu orang ratu di dalamnya. Poligami itu bisa menjadi lebih baik dari rumah tangga biasa, atau lebih buruk dari rumah tangga biasa. Lebih baik dari rumah tangga biasa karena adanya adil dari sang suami, yang bisa berlaku bijaksana sebagai penengah antara kedua istrinya.""Dan bisa juga lebih buruk dari rumah tangga biasa karena tidak ada sifat adil dan bijaksana dalam diri suami, yang malah akan membuat pihak manapun, atau bahkan semua pihak tersakiti dan merasa dirugikan. Ia hanya akan melakukan apa yang ia inginkan, tanpa memikirkan perasaan istri-istrinya. Dan jika itu terjadi, maka suami menjadi pihak yang menanggung dosa sangat besar karena sudah dzalim kepada istri-istrinya. Aira, poligami itu memang susah dan berat, bahkan menyakitkan, tapi semua itulah yang menjadi ladang pahala untuk kita jika kita bisa sabar dan tabah menjalaninya. Tapi bukan berarti suami bisa bebas berlaku sesuka hati. Justru suami harus bersikap adil dan bijak untuk mengobati luka hati istri-istrinya."Kata demi kata yang diucapkan Ustadzah Maulida seolah mampu menyihir jiwa yang sedang luluh lantak itu hingga membuat Aira langsung terbawa arus hidayah yang ia sampaikan. Hati dan jiwa Aira terasa begitu teduh mendengarkan untaian kata indahnya yang seakan dengan ajaib menyembuhkan luka di hati nya."Ra, dalam Islam ada yang disebut dengan Muhasabah Cinta. Kau tahu artinya apa? Yaitu merenungkan cinta. Cinta itu adalah nama sebuah perasaan, yang di mana kita tidak mampu menjelaskan dengan kata-kata, tetapi hatilah yang merasakannya. Yang kita akan merasa bahagia saat mendengarkan segala hal baik tentangnya, dan akan marah saat mendengar orang membicarakan hal buruk tentangnya. Cinta itu pemberian Allah, dan kita harus bisa mengarahkan cinta itu pada hal yang tepat. Dan jangan pernah mencintai sesuatu apapun lebih dari kamu mencintai-NYA. Karena hanya akan mendapatkan patah hati. Tetapi sebaliknya, saat kamu bisa mengatur hati dan lebih mencintai Tuhanmu lebih dari apapun, bahkan suamimu sendiri, maka hatimu akan terasa ringan dan bahagia. Apapun yang terjadi. Percaya deh padaku.""Jika kamu masih bingung, kamu bisa beristikharah, meminta petunjuk Allah menjadi langkah terakhir penunjuk jalan untuk kita. Allah pasti menunjukan jalan yang terbaik untukmu, entah itu bertahan, atau melepaskan."Aira mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali. Ia mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. Ditatapnya Ustadzah Maulida dengan mata berkaca-kaca, senyum haru Aira tampilkan padanya sebagai rasa puas atas nasihatnya."Terima kasih, terima kasih, Ustadzah." Aira memegang erat kedua tangan temannya itu, ia cium takdzim berkali-kali. Membuat Maulida meringis karena enggan."Aduh, kamu jangan seperti itu, Aira. Aku jadi malu," ucapnya sambil melirik ke tamu-tamu lain."Hihi, maaf Ustadzah. Tapi aku sungguh bersyukur sudah meminta nasihat pada orang yang tepat. Ustadzah sudah membuka fikiranku yang awalnya begitu sempit dan rumit. I love you Ustadzah ..." ucap Aira sambil merentangkan kedua tangan hendak memeluk."Ih, apaan sih, Aira. Ya Allah, istighfar, Aira!" Tegurnya dengan panik. Mereka pun tertawa bersama, lalu kembali hanyut dalam kebersamaan setelah sekian bulan tak bertemu.Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi. "Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut."Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. "Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan. "Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi
Pagi ini, Aira melakukan kegiatannya seperti sebelum-sebelumnya. Menyiapkan sarapan, nasi goreng, telur mata sapi, serta teh hangat. Sang surya sudah mulai menyinari hamparan bumi menggantikan tugas rembulan. Aira melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.27. Tetapi Alan belum juga kelihatan. Segera ia naik ke lantai dua di mana kamar mereka berada. KleekPintu terbuka sedikit, Aira sedikit mengintip lebih dulu ke dalam kamar yang gelap itu, membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Tirai tinggi ia buka hingga membuat sinar hangat mentari pagi menyinari kamar. Alan masih belum bergerak, ia masih bergelung nyaman di dalam selimut tebalnya. "Mas ... Mas bangun! Ini sudah siang, loh," ucap Aira sambil mengguncang lengan suaminya."Emmmmh ... Jam berapa?" tanyanya setelah menggeram dan menggeliat."Jam setengah tujuh." "Astaghfirullah! Mas kesiangan, Dek." Alan langsung melompat ke lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Aira terse
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas." Alan masih tak bergeming, ia masih terus menatap Aira dengan tatapan sendu. "Aku akan tetap bersama Mas, apapun yang terjadi." Kedua matanya mulai mengkristal, tatapannya terhalang oleh genangan air mata yang sudah membuncah hingga akhirnya tumpah, luruh membasahi pipi. Dengan cepat Aira mengusap jejak air mata itu dengan jari-jari tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat bahwa suaminya itu tidak boleh menangis. Secepat kilat Alan menarik Aira ke dalam pelukannya, ia tetap melakukannya walau diantara mereka ada meja yang lumayan memisahkan jarak antara keduanya. "Mas ..." ucap Aira berusaha melepaskan pelukannya. Ia merasa cukup malu menyadari dirinya dan Alan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran itu. Namun, Alan seolah tak peduli di mana kini mereka berada. "Aira ... Mas benar-benar berterima kasih. Terima kasih, Aira Sayang, terima kasih." Hanya itu kata-kata yang keluar berkali-kali dari bibir pria berj
"Assalaamu'alaikum." Suara dari luar membuyarkan lamunan masa lalu Yulia yang kelam. Wanita itu segera mengusap air mata, dan berusaha terlihat baik-baik saja. Cilla masih tidur dengan nyenyak, Yulia segera melangkahkan kakinya mendekati pintu depan, melihat siapa yang datang pagi-pagi begini."Wa'alaikumussalaam ..." ucapnya sambil membuka pintu. Ternyata Alan yang datang, ia sudah berdiri di depan menunggu."Tuan? Ayo masuk. Maaf, aku terlalu lama membuka pintu." "Tidak apa-apa." Yulia menutup pintu kembali setelah Alan masuk. Pria itu langsung duduk di kursi. "Mau minum apa?" "Air putih saja." Yulia segera membawakan air putih untuknya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. "Emm, maaf, saya belum tau siapa namamu," ucapnya membuat Yulia teringat kalau mereka memang belum berkenalan. Yulia tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala samar menyadari kekonyolannya. Yulia bahkan sudah berani meminta Alan menikahinya, tapi malah berkenalanpun belum. "Aku Yulia, biasa dip
"Aira, kamu apa-apaan, sih?" tanya Vina setelah tiba di dapur."Apa-apaan, apa, Bu?" tanya Aira tak mengerti. Vina menghela nafas dalam, lalu menatap Aira dengan gemas."Kamu kenapa, Aira? Kamu tidak perlu memperlakukan wanita itu sebagai tamu. Kenapa kamu ini? Ibu sangat tidak mengerti sama kamu. Kamu terlihat bahagia sekali," gerutunya membuat Aira terkekeh."Ya ampun, Ibu. Kok jadi Ibu yang gemas, sih?" tanya Aira dengan masih tertawa kecil. "Ya, bagaimana Ibu tidak gemas melihat kamu terlalu menyambut wanita itu dengan baik? Jangan rendahkan harga dirimu di depannya, Aira. Ibu tidak suka." Vina melipat kedua tangannya di dada, lalu memalingkan muka. Aira mengerti isi hati Ibu mertuanya itu yang terlalu menyayanginya, Vina terlalu mengkhawatirkan kebahagiaannya. "Sudahlah, Ibu. Jangan terlalu cemas seperti itu. Apa Ibu tidak lihat, Yulia masih sangat muda dan ia terlihat polos? Aku rasanya langsung menerimanya," ucap Aira membuat Bu Vina menganga."Ya ampun, Aira, apa yang meras
"Yulia sudah tidak ada," ucap Alan saat menemui istri dan ibunya di kamar. "Ya bagus kalau begitu. Berarti dia itu sadar diri," ucap Vina ketus."Tapi, Bu, Yulia tidak salah apapun. Jangan terlalu kasar padanya." "Alan! Kamu ini apa-apaan sih?" Alan hendak menjawab, namun Aira lebih dulu menimpali."Ya, Bu, Mas Alan benar. Aira yang sudah mengundangnya. Tapi ... Aira malah meninggalkannya." "Ya kenapa kamu mengundangnya segala? Kamu seakan mengundang penyakitmu sendiri." Aira terdiam, merasa tertampar dengan apa yang Vina katakan. Awalnya, ia merasa sudah bisa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Yulia. Dia ingin mengenal wanita itu lebih dulu sebelum menikahkannya dengan Alan. Tetapi, ternyata sesuatu yang tak ia sangka malah melukai hatinya. Sore tiba, Vina sudah pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah mereka. Sedangkan Aira, di saat fikiran kacau seperti ini ia membutuhkan Maulida untuk mencerahkan fikirannya. Ia berpamitan pada Alan, tetapi Alan mencegah dan meminta A
Yulia membulatkan matanya saat melihat istri Alan sudah berdiri di depan rumahnya dengan tersenyum lembut. "Hay, aku tidak mengganggu, kan?" tanyanya pada Yulia yang masih diam mematung. "Eh, i-iya. Tidak, kok, Mbak." "Aku boleh masuk?" tanyanya menunjuk ke dalam."I-iya, boleh. Silahkan," ucap Yulia dengan keterkejutan yang masih belum hilang.Aira mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, ia duduk di kursi dengan anggun. "Mbak sendirian ke sini?" tanya Yulia membuat Aira mengerutkan dahi. "Eh, m-maksud saya ... Mbak tau dari mana saya tinggal di sini?" tanyanya meralat pertanyaan pertama. Yulia tak sadar kalau pertanyaannya itu dapat menimbulkan Aira salah faham mengira Yulia mengharapkan kedatangan Alan."Oh, itu masalah yang mudah. Aku tanya Mas Alan dan minta datang ke sini sendiri," jelasnya membuat Yulia semakin merasa tak enak."Memangnya ada apa?" tanyanya dengan takut. Ia takut, kalau kedatangan Aira ke sini untuk melabraknya. Tak jauh dari sikap Vina padanya beberapa hari
"Nanti kita tinggal satu rumah, mau kan?" tanya Aira dengan penuh harap. Yulia tak menjawab, ia bahkan terlihat sangat terkejut mendengar permintaan gila Aira. Kecemasan seketika menyeruak menguasai dirinya. Sosok Vina yang ia sangka ibunya Aira sudah pasti terus menindasnya kalau sampai tinggal satu rumah. "Ya? Mau ya?" tanya Aira lagi. "Em, Mbak, aku tidak enak," jawabnya sambil meringis. "Kenapa tidak enak?" "Memangnya Mbak mau tinggal satu atap denganku? Dengan wanita yang sudah berani meminta suami Mbak?" tanyanya dengan ekspresi polos. Aira terkekeh, Yulia ini memang kadang perkataannya tajam, tetapi justru Yulia sendiri pun tak sengaja dan tak bermaksud menyinggung siapapun. Itu semua karena sifatnya yang terlalu polos. "Gak apa-apa. Mbak juga ingin ikut mengurus Cilla. Boleh, kan?" "Oh, i-iya." Yulia terpaksa mengangguk, ia dapat melihat raut wajah Aira yang langsung berubah ceria saat melihat Cilla. Bahkan Aira pun terus saja berceloteh bahasa anak kecil sambil mengusap
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A