Share

Penderitaan Istri Kedua Suamiku
Penderitaan Istri Kedua Suamiku
Author: UmmiNH

1. Meminta Izin

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Dek, Mas mau minta izin. Mas ... akan menikah lagi," ucapnya dengan menunduk, kini ia sedang berlutut di hadapanku.

Awalnya aku merasa terkejut, tetapi kemudian aku terkekeh. "Apa sih, Mas, kamu ada-ada aja." Aku hendak bangkit, namun dengan cepat ia menarik tanganku hingga aku kembali duduk.

"Dek, Mas serius." Kini ia mengatakannya sambil menatapku lekat.

Berusaha aku mencari kebohongan di dalam sorot matanya, tetapi aku malah menemukan kesungguhan yang membuatku terasa tertampar.

"Dengarkan Mas, Dek. Mas sudah berjanji padanya untuk menikahinya. Mas tidak bisa mengingkarinya. Mas harap kau bisa tabah menerima kenyataan ini."

Hatiku terasa sangat hancur mendengar semua itu. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Sangat erat. Seolah ingin menunjukkan kalau dia sangat takut kehilanganku. Sungguh Na'if.

"Kau ... Bercanda, kan, Mas? Kau tidak serius, kan?" tanyaku dengan getir. Walau sudah tahu apa yang sebenarnya.

Mas Alan mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. "Mas serius, Ra."

Deg!

Runtuh sudah duniaku bersama dengan kata-kata yang terlontar dari bibirnya barusan. Darahku terasa berhenti mengalir hingga membuat sekujur tubuhku terasa membeku.

Waktu terasa berhenti berputar untuk sesaat, menenggelamkanku dalam keterkejutan luar biasa dengan skenario tuhan yang tak pernah kuduga.

"Kenapa, Mas?" tanyaku dengan lirih.

"Kenapa?!" ulangku dengan suara meninggi.

"Kau bilang sangat mencintaiku? Kau bilang selamanya hanya aku satu-satunya di hatimu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kenapa kamu jahat?" tanyaku dengan meledak-ledak.

Tetapi Mas Alan malah terus terdiam tak menjawab kemarahanku. Dan itu membuatku semakin merasa emosi dan kecewa.

Dengan cepat aku berdiri, menatapnya yang masih berlutut di lantai dengan sorot penuh amarah, seakan aku sedang menghamkiminya. "Kau tidak bisa jawab, Mas?.Ayo jawab aku! Jawab aku!"

Ku guncangkan tubuhnya yang mendadak begitu lemas bagai tak bertulang. "Jawab aku, Mas! Kenapa kamu melakukan ini padaku? Kamu jahat!"

Mas Alan yang juga menangis itu mencoba menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tetapi aku tidak bersedia, aku tidak sudi. Aku tidak ingin disentuh olehnya. Jika cintanya kini telah terbagi dengan wanita lain, maka aku tidak ingin Mas Alan menyentuhku walau seujung kukupun.

"Dek, tolong dengarkan Mas dulu. Mas juga tidak berdaya."

"Tidak berdaya? Ha ha. Tidak berdaya karena sudah tergila-gila, seperti itu?" tanyaku dengan tertawa sumbang.

"Tidak, Ra. Bukan seperti itu. Sungguh, sampai detik ini pun kamu masih menjadi satu-satunya pemilik hati Mas."

"Omong kosong!" bantahku dengan nyalang.

Hilang sudah diriku yang sesungguhnya. Yang selalu penurut, dan tak pernah meninggikan suara pada suamiku. Rasa sakit yang teramat sangat ini mampu mengubah diriku dalam waktu singkat. Aku ... Sangat kecewa dan terluka. Tentu saja.

"Ra, Mas sungguh-sungguh!"

Aku tak ingin terus mendengarkan pembelaannya yang malah semakin menyakiti hatiku. Aku segera mendekati lemari dan mengeluarkan koper besar. Ku kemasi baju-baju ke dalam koper dengan acak.

"Ra, mau ke mana? Jangan pergi, Ra." Mas Ala terus berusaha menghentikan tanganku yang sedang mengeluarkan pakaian.

"Minggir!"

Ku dorong tubuhnya hingga Mas Alan terjatuh ke lantai. Ku lanjutkan gerakan tanganku dengan lincah mengemasi semua yang akan ku bawa.

"Airaa ... Dengarkan Mas dulu."

Mas Alan mengikuti langkahku ke luar kamar. Namun, aku tak menghiraukannya dan terus melangkahkan kaki. Hingga kemudian saat tiba di ruang tamu, Mas Alan menghadang jalanku.

"Raa ... Tolong dengarkan Mas dulu."

"Aku gak mau!"

"Aira!"

Mas Alan membentak dengan tatapan melotot hebat. Dadanya kembang kempis menahan amarah, membuat nyaliku menciut.

Secepat kilat Mas Alan merebut koper di tanganku dan membawanya ke kamar lagi dengan langkah lebar.

"Mas! Kembalikan koperku."

"Mas!"

Mas Alan tak menggubris. Setibanya di dalam kamar, Mas Alan membanting koper itu hingga menimbulkan suara yang keras. Aku sontak menutup kedua telinga, sangat terkejut dengan apa yang suamiku lakukan.

Mas Alan berbalik menatapku dengan tajam. Lalu berkata, "Kau tidak akan ke mana-mana. Kau tidak akan pergi meninggalkan rumah ini ataupun meninggalkanku. Kau harus diam di sini, karena aku tidak mengizinkanmu pergi dari sini!"

Mas Alan langsung pergi ke luar dari kamar dan terdengar bunyi kunci di putar.

Sepeninggalnya aku langsung luruh ke lantai. Menangis sejadi-jadinya hingga merasa lelah.

Hatiku hancur dengan apa yang Mas Alan lakukan. Kenapa? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Mas Alan telah mengkhianatiku, tetapi dia juga melarangku pergi darinya. Lalu ... Apa yang harus aku lakukan? Padahal aku tidak bisa dimadu. Aku tidak mau, aku tidak siap.

Dengan hati hancur, ku seret kaki yang terasa lemas ini ke kamar mandi. Ku siram kepalaku dengan air dingin. Berharap bisa ikut mendinginkan otak dan suasana hati.

Setelah puas menumpahkan semua air mata dengan pakaian basah kuyup, aku pun melanjutkan ritual mandi ku hingga selesai. Di atas sejadah, ku tumpahkan lagi seluruh tangis yang masih tersisa.

"Ya Allah, aku bukan wanita kuat dan tegar seperti perempuan-perempuan yang kisahnya kau abadikan dengan indah. Aku belum sanggup menjalankan semua ini. Jika bisa, aku ingin meminta padamu, tolong berikan aku jalan yang terbaik. Aku sangat mencintai Mas Alan, dan karena itu pula aku tidak akan rela berbagi dia dengan wanita lain. Membayangkannya saja sudah membuatku sakit, Ya Allah. Kau lebih tahu kekuatanku, kau lebih tahu kemampuanku. Untuk itu, tolong hamba. Jangan biarkan hamba hancur dalam kesesatan. Tolong tunjukan jalan yang terbaik untuk hidup hamba. Aamiiin."

Maju mundur kena. Itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan posisiku saat ini. Kehidupan kami baik-baik saja sebelumnya. Tak ada angin, tak ada hujan, siang ini Mas Alan pulang dengan membawa berita buruk yang langsung memporak-porandakan hati ini.

Wanita mana yang rela berbagi suami yang sangat dicintainya dengan wanita lain? Apalagi aku, mendadak harus melakukannya. Syok, tentu saja.

Tapi apa yang bisa ku lakukan sekarang? Aku sudah sangat mencintai suamiku yang kukira selamanya hanya akan menjadi milikku seorang.

Berpisah sama sekali tak ada dalam rencanaku. Dan aku juga tak yakin, akan sanggup berpisah darinya. Lalu, apakah aku harus menerima semua ini? Menerima takdir yang datang dengan tiba-tiba bagaikan gelombang tsunami yang dengan kuat menerjang rumah tanggaku.

Suara kunci di putar terdengar dari balik pintu. Aku tak ingin mempedulikannya,

Mas Alan duduk di tepi ranjang, tetapi aku mengacuhkannya dan memilih merenung.

"Maafkan Mas, Dek."

Aku tak menjawab ucapannya. Terdengar suara helaan nafas darinya. Lalu tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalaku.

"Andai saja dulu aku menikah dengan Bang Fi, mungkin nasibku tidak akan seperti ini."

Mas Alan langsung menoleh dengan tatapan tajam. Wajahnya memerah menahan amarah. "Astaghfirullah, Dek! Apa yang kamu katakan? Istighfar!"

Bukannya menurut, aku malah terkekeh melihat reaksinya.

"Lihat, bahkan aku hanya berandai, tapi kamu sudah marah seperti itu. Lalu bagaimana denganku yang bahkan dalam kenyataan kamu akan menduakan aku dengan wanita lain?" tanyaku dengan emosi yang kembali memuncak.

Related chapters

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   2. Flashback

    "Alan, Yulia? Ada apa ini?"Ibu mertuaku muncul di ambang pintu, membuat tatapan mata kami yang sudah siap bertarung pun teralihkan. Dengan cepat kuusap wajah yang telah basah dengan air mata ini. Walaupun tak berhasil menyingkirkan sembab dan bengkak di mataku."Ada apa Aira, kenapa kamu berteriak-teriak seperti tadi?" tanya Ibu dengan cemas.Ibu beralih ke hadapanku dan mendongakkan wajah yang berusaha ku sembunyikan. "Ya ampun, kamu menangis, Ra? Alan, jawab Ibu, Aira kenapa bisa menangis sampai seperti ini?" Mas Alan bersiap menjawab. Namun ia terlihat sedikit enggan. Ya, aku mengerti karena Ibu sangat menyayangiku. Entah apalah yang akan Ibu lakukan jika sampai mengetahui yang sebenarnya."Aku ... Aku akan menikah lagi, Bu.""Apa?" Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Mas Alan. Aku sedikit merasa puas, setidaknya apa yang Ibu lakukan itu mewakili apa yang sangat ingin kulakukan."Menikah lagi? Menikah lagi, iya? Sana menikah lagi sesuka hatimu, Alan! Sana! Tapi ingat baik-baik,

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   3. Masih Flashback

    Alan memang tak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu. Sisi kemausiaan dan sifat penyayangnya pada anak kecil membuatnya tak bisa membiarkan bayi itu dalam bahaya walau ia tak kenal siapa ibu dan ayahnya, dan Alan pun bersedia jika harus mengurusnya. Tetapi ... untuk menikahi ibunya ... Ia rasa, Ia tak bisa. Alan menatap sejenak wanita yang sekujur badannya masih basah tersebut. Ia wanita yang cukup cantik, tetapi tidak berhijab. Rambut hitamnya tergerai bebas hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya bergetar dengan kedua tangan saling memeluk. Ah, Ia sampai melupakan keadaan wanita itu saking paniknya memikirkan bayi tadi.Perlahan Ia dekati wanita itu dan berkata, "Emm, tolong tunggu sebentar di sini, ya? Saya akan mencari baju ganti untukmu," ucapnya.Wanita itu menatap Alan dengan wajah yang pucat pasi, tetapi tak mengatakan sepatah katapun. "Jangan ke mana-mana!" Setelah mengatakan itu, Alan pun berlalu untuk mencari baju ganti untuk wanita itu. Hujan sudah mereda,

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   4. Terima Kasih, Ustadzah!

    Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan. "Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya. "Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri. "Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apap

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   5. Pasrah

    Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi. "Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut."Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. "Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan. "Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   6. Kau Yakin, Ra?

    Pagi ini, Aira melakukan kegiatannya seperti sebelum-sebelumnya. Menyiapkan sarapan, nasi goreng, telur mata sapi, serta teh hangat. Sang surya sudah mulai menyinari hamparan bumi menggantikan tugas rembulan. Aira melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.27. Tetapi Alan belum juga kelihatan. Segera ia naik ke lantai dua di mana kamar mereka berada. KleekPintu terbuka sedikit, Aira sedikit mengintip lebih dulu ke dalam kamar yang gelap itu, membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Tirai tinggi ia buka hingga membuat sinar hangat mentari pagi menyinari kamar. Alan masih belum bergerak, ia masih bergelung nyaman di dalam selimut tebalnya. "Mas ... Mas bangun! Ini sudah siang, loh," ucap Aira sambil mengguncang lengan suaminya."Emmmmh ... Jam berapa?" tanyanya setelah menggeram dan menggeliat."Jam setengah tujuh." "Astaghfirullah! Mas kesiangan, Dek." Alan langsung melompat ke lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Aira terse

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   7. Dia Yulia

    "Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas." Alan masih tak bergeming, ia masih terus menatap Aira dengan tatapan sendu. "Aku akan tetap bersama Mas, apapun yang terjadi." Kedua matanya mulai mengkristal, tatapannya terhalang oleh genangan air mata yang sudah membuncah hingga akhirnya tumpah, luruh membasahi pipi. Dengan cepat Aira mengusap jejak air mata itu dengan jari-jari tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat bahwa suaminya itu tidak boleh menangis. Secepat kilat Alan menarik Aira ke dalam pelukannya, ia tetap melakukannya walau diantara mereka ada meja yang lumayan memisahkan jarak antara keduanya. "Mas ..." ucap Aira berusaha melepaskan pelukannya. Ia merasa cukup malu menyadari dirinya dan Alan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran itu. Namun, Alan seolah tak peduli di mana kini mereka berada. "Aira ... Mas benar-benar berterima kasih. Terima kasih, Aira Sayang, terima kasih." Hanya itu kata-kata yang keluar berkali-kali dari bibir pria berj

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   8. Bertemu Aira

    "Assalaamu'alaikum." Suara dari luar membuyarkan lamunan masa lalu Yulia yang kelam. Wanita itu segera mengusap air mata, dan berusaha terlihat baik-baik saja. Cilla masih tidur dengan nyenyak, Yulia segera melangkahkan kakinya mendekati pintu depan, melihat siapa yang datang pagi-pagi begini."Wa'alaikumussalaam ..." ucapnya sambil membuka pintu. Ternyata Alan yang datang, ia sudah berdiri di depan menunggu."Tuan? Ayo masuk. Maaf, aku terlalu lama membuka pintu." "Tidak apa-apa." Yulia menutup pintu kembali setelah Alan masuk. Pria itu langsung duduk di kursi. "Mau minum apa?" "Air putih saja." Yulia segera membawakan air putih untuknya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. "Emm, maaf, saya belum tau siapa namamu," ucapnya membuat Yulia teringat kalau mereka memang belum berkenalan. Yulia tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala samar menyadari kekonyolannya. Yulia bahkan sudah berani meminta Alan menikahinya, tapi malah berkenalanpun belum. "Aku Yulia, biasa dip

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   9. Kemarahan Vina

    "Aira, kamu apa-apaan, sih?" tanya Vina setelah tiba di dapur."Apa-apaan, apa, Bu?" tanya Aira tak mengerti. Vina menghela nafas dalam, lalu menatap Aira dengan gemas."Kamu kenapa, Aira? Kamu tidak perlu memperlakukan wanita itu sebagai tamu. Kenapa kamu ini? Ibu sangat tidak mengerti sama kamu. Kamu terlihat bahagia sekali," gerutunya membuat Aira terkekeh."Ya ampun, Ibu. Kok jadi Ibu yang gemas, sih?" tanya Aira dengan masih tertawa kecil. "Ya, bagaimana Ibu tidak gemas melihat kamu terlalu menyambut wanita itu dengan baik? Jangan rendahkan harga dirimu di depannya, Aira. Ibu tidak suka." Vina melipat kedua tangannya di dada, lalu memalingkan muka. Aira mengerti isi hati Ibu mertuanya itu yang terlalu menyayanginya, Vina terlalu mengkhawatirkan kebahagiaannya. "Sudahlah, Ibu. Jangan terlalu cemas seperti itu. Apa Ibu tidak lihat, Yulia masih sangat muda dan ia terlihat polos? Aku rasanya langsung menerimanya," ucap Aira membuat Bu Vina menganga."Ya ampun, Aira, apa yang meras

Latest chapter

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   66. Ending

    "Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   65. Maafkan Ibu

    "Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   64. Jangan Usir Menantuku!

    Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   63. Bisa Diandalkan

    "Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   62. Ibu Kecelakaan

    Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   61. Sebaiknya Kita Bercerai.

    "Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   60. Keguguran

    "Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   59. Ketika Kesabaran Mulai Habis

    "Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   58. Tetangga Julid

    "Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A

DMCA.com Protection Status