Setelah beberapa hari berlalu, Surya Yudha sudah bisa keluar dari Pondok Tamu. Wajahnya yang beberapa hari lalu tampak pucat, kini jauh lebih segar. Ningrum menyambutnya di taman yang memisahkan antara pondok tamu dan pondok utama.Senyum gadis itu begitu hangat, membuat Surya Yudha secara tak sadar berjalan ke depan gadis tersebut dan meraih dagunya.Wajah Ningrum memerah, dia meraih tangan kekar Surya Yudha dan menariknya. "Rama ingin kau menemuinya."Surya Yudha tersadar, pemuda itu tersenyum tipis dan mengangguk. Ningrum berjalan menuju ruangan Tumenggung Adhyaksa, di belakangnya ada Surya Yudha yang terus mengekorinya hingga sampai di ruangan tersebut.Ketika masuk, Surya Yudha cukup terkejut karena ada Ki Antasena dan juga Ki Arya Saloka di ruangan tersebut yang sedang berbicara dengan Tumenggung Adhyaksa. Menyadari kehadiran putri dan calon menantunya, Tumenggung Adhyaksa meminta mereka untuk bergabung dalam pembicaraan.Surya Yudha duduk di samping Ki Arya Saloka sedangk
Di halaman belakang pondok utama, terdapat pondok kecil yang menghadap kolam ikan. Di dalam pondok tersebut, terdapat beberapa kursi dan dan sebuah meja yang kayu dengan ukiran kepala harimau.Ningrum mempersilakan Surya Yudha duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela, sementara dirinya menempati kursi yang terletak tepat di samping kursi Surya Yudha. Surya Yudha memperhatikan riak-riak kecik yang timbul akibat gerakan-gerakan ikan yang berenang di dalamnya. Senyum pemuda itu kembali terulas, menyebabkan wajah Ningrum merah merona. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kipas yang ia selipkan di pinggang. "Apa ada yang salah?" tanya Surya Yudha saat melihat Ningrum menutupi wajah dengan kipas.Ningrum tak menjawab, hanya menggeleng ringam."Ningrum, aku adalah seorang prajurit, kehidupanku akan dihabiskan untuk mengabdi pada kerajaan. Apa kau masih mau menerimaku?" tanya Surya Yudha tiba-tiba.Ningrum berkerut kening, "bukankah kau sudah dicopot? Bagaimana kau bisa kembali menja
Tiga hari setelah pertemuan antara Ki Antasena, Tumenggung Adhyaksa, Ki Arya Saloka dan Surya Yudha. Mereka saat ini kembali berkumpul di gerbang kota batu ceper.Surya Yudha dan Ki Arya Saloka kembali melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Raga Geni yang terletak di kerajaan Jaluh Pangguruh.Ningrum memberikan sehelai kain berwarna coklat dengan sulaman motif bunga dan lidah api di bagian ujung kain tersebut. "Aku menyulam sendiri sapu tangan ini. Harap Kangmas menyimpannya untukku."Surya Yudha mengangguk pelan sebelum meraih sapu tangan itu dan memandanginya saksama. "Sangat indah. Aku akan menjaganya."Surya Yudha melipat sapu tangan tersebut dan menyimpannya di balik ikat pinggangnya. Perlahan Surya Yudha meraih kedua tangan Ningrum dan menggenggamnya erat. "Tiga tahun, dalam tiga tahun pasti aku akan kembali.""Tentu saja. Jika kau tidak kembali, maka hingga ujung dunia pun aku akan mencarimu, Kangmas."Sepasang muda-mudi yang belum terikat dalam benang pernikahan itu tertawa.
Di bawah derasnya guyuran hujan, Surya Yudha mengibaskan pedangnya ke sana kemari, membuat para bandit yang kini sudah mengepungnya tak bisa mendekat lebih jauh. Bintang, kuda hitam yang ditunggangi Surya Yudha seperti sudah mengerti jalan pikiran majikannya. Dengan ganas kuda tersebut berputar untuk mencari celah agar bisa keluar.Seorang bandit melompat dari kudanya, bersiap membelah Surya Yudha dengan golok jagalnya. Melihat hal itu, Surya Yudha berbalik dan menangkis serangan sang bandit menggunakan pedangnya.Tang!Sial!Surya Yudha mengumpat dalam hati karena serangan tersebut memang berhasil dia tangkis tapi tangannya bergetar hebat setelahnya. Bandit-bandit tersebut tertawa ketika melihat Surya Yudha mengerutkan kening setelah menangkis serangan kawannya.Bertempur di atas kuda apalagi ketika kondisi hujan deras memang menyulitkan siapa saja. Kedua belah pihak sepakat untuk bertarung di atas tanah. Surya Yudha melompat dari kudanya dan dengan gagah berjalan ke tengah jala
Sarwo berusaha bangkit walau kakinya masih gemetaran. Dengan segala pertimbangan, Sarwo menjatuhkan harga dirinya dan memohon pada Surya Yudha untuk melepaskannya."Aku mohon, Tuan. Ampuni nyawa saya dan kawan-kawan saya, kami berjanji tidak akan menjadi bandit lagi!" Surya Yudha tersenyum mengejek ketika mendengar ucapan Sarwo. "Apa kalian tidak malu?"Surya Yudha yang awalnya tersenyum kini mengubah senyumannya menjadi sebuah tawa yang terdengar aneh. Jika diperhatikan lebih dekat, dari manik hitam Surya Yudha terlihat kilatan-kilatan listrik setiap beberapa saat."Bagaimana mungkin aku bisa melepaskan kalian begitu saja?" ucap Surya Yudha."Kami bersumpah, tidak akan membunuh orang lagi. Jika kami melanggar sumpah, maka dewa bisa menghukum kami," ucap Sarwo yang terlihat ketakutan.Lagi-lagi tawa Surya Yudha meledak ketika mendengar ucapan Sarwo. Baginya, hal ini begitu menggelikan karena sudah berulangkali dia mendengar sumpah seperti itu dari penjahat-penjahat yang dia tangkap se
Terdengar suara lenguhan yang keluar dari mulut Sarwo ketika pedang di tangan Surya Yudha menembus perut hingga punggungnya. Surya Yudha menendang perut Sarwo hingga tersungkur di tanah. Tanah yang semula berwarna coklat itu mulai tergenang oleh darah yang keluar dari tubuh Sarwo. Sarwo mengerang kesakitan, tangan kirinya menyentuh bagian yang terluka dan menekannya seraya menyalurkan tenaga dalam untuk menghentikan pendarahan. Di sisi lain, Surya Yudha terus mengayunkan pedangnya ke arah para bandit. Satu persatu bandit-bandit tersebut mulai berjatuhan. Ada yang kehilangan tangan, kaki bahkan kepala mereka.Sarwo melihat bagaimana kejamnya Surya Yudha membantai kawan-kawannya. Dalam hati kecilnya, ada sedikit penyesalan dan rasa bersalah mengingat kelakuannya selama ini.Jadi begini rasanya ketika melihat keluargamu dihabisi.Sarwo yang sadar jika hidupnya akan segera berakhir, tak lagi merasa takut karena kepergiannya ke alam baka tidak sendirian."Kau tidak berusaha untuk memo
Ketika semburat jingga keluar dari langit timur, Surya Yudha sudah membuka matanya dan pergi ke sumur untuk mandi. Dinginnya air menghilangkan sisa-sisa kantuk dalam matanya, tubuhnya terasa begitu segar, rambutnya yang panjang sebahu juga tak lupa dia cuci.Ketika Surya Yudha baru kembali ke kamarnya, Gendon menemuinya dan mengatakan jika Ki Arya Saloka sudah menunggunya di ruang makan. Surya Yudha mengangguk pelan dan merapikan penampilannya sebelum keluar menemui Ki Arya Saloka. Di sisi lain, Ki Arya Saloka duduk sembari memegang lintingan (rokok) di tangan kanannya. Sesekali Ki Arya Saloka menghisap lintingan tersebut dan mengembuskan napas yang bercampur asap putih. Ruangan tersebut lama kelamaan beraroma khas tembakau seperti lintingan yang dihisap Ki Arya Saloka. Surya Yudha muncul dengan pakaian serba hitam serta sendal pelat yang juga berwarna hitam."Eyang ..." ucap Surya Yudha seraya duduk tak jauh dari Ki Arya Saloka."Kita sarapan dulu. Setelah ini perjalanan kita jauh
Surya Yudha memulai perjalanannya hari itu ditemani oleh Gendon, orang kepercayaan Ki Arya Saloka. Setelah memberikan sejumlah kekayaan pada cucunya, Ki Arya Saloka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dan memerintahkan Gendon untuk menemani Surya Yudha hingga perguruan Raga Geni.Dengan bekal sebuah surat yang ditulis oleh Ki Arya Saloka, Surya Yudha meninggalkan desa Pengadegan menuju ke timur, tempat kerajaan Jalu pangguruh berada. Hari-hari yang harus dilewati oleh Surya Yudha cukup berat karena Ki Arya Saloka tidak memberinya bekal makanan dan menyarankan untuk berburu hewan sembari melatih ketrampilan mereka berdua. Dengan berat hati Surya Yudha menjalankan saran dari eyangnya tersebut.Ketika malam mulai menjelang, Surya Yudha beristirahat di bawah pohon rindang yang terletak di tepi sungai. Gendon membuat api unggun sementara Surya Yudha mencoba menangkap ikan.Dengan kemampuan berenangnya yang mengagumkan, Surya Yudha berhasil menangkap lima ekor ikan mas yang berukuran
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si