Ada tiga anak remaja lelaki yang usianya antara 15 hingga 17 tahun. Mereka berpakaian bagus, sangat tidak seperti anak-anak rakyat biasa yang bajunya terlihat lusuh dan bahkan suka tidak berbaju. Anak yang badannya paling kecil bahkan memakai blangkon. Gaya jalannya pun jumawa, menunjukkan bahwa dia bukan anak sembarangan, ya setidaknya memiliki orangtua yang punya jabatan tinggi.
Sebut saja mereka bernama Anoman bagi yang berblangkon, Gugusan yang berbadan paling besar, dan Kuncung yang badannya agak gemuk.
Ketiganya berjalan di dekat Tugu Setia yang jika dilihat dari jauh mirip pusaka kaum batangan.
“Anoman, lihat. Itu Ardo Cadel sedang menyisir kuda!” kata Gugusan sambil menunjuk ke arah depan kedai makan.
Anoman dan Kuncung segera memandang ke arah depan kedai makan.
“Hahaha! Ayo kita ejek!” kata Anoman bersemangat. Sepertinya dialah pemimpin di antara mereka.
“Ayo. Kita buat dia menangis!” kata Kuncung pula.
Bak tiga orang jagoan tukang onar, mereka berjalan menghampiri Ardo yang sedang menyisiri surai kuda milik Iblis Jelita.
Ardo yang sedang bekerja tidak melihat kedatangan Anoman, Gugusan dan Kuncung karena posisinya membelakangi mereka.
Gugusan tiba-tiba merampas sisir kuda yang sedang dipegang oleh Ardo.
“Eh!” pekik Ardo terkejut dan dia cepat berbalik melihat siapa yang merebut sisir kudanya. “Sisil kudaku!”
“Hahaha!” tawa Anoman dan dua rekannya ketika mendengar kecadelan Ardo.
“Belikan sisil kudaku, Gugusan!” teriak Ardo dengan wajah marah.
“Hahaha! Beli saja sendili!” kata Anoman tertawa dan mengejek dengan cara mengikuti cara omong Ardo.
“Belikan!” teriak Ardo sambil bergerak cepat hendak merebut kembali sisir kudanya.
“Eit!” pekik Gugusan sambil cepat melompat mundur menjauhi Ardo. Demikian pula Anoman dan Kuncung.
Sementara Iblis Jelita hanya memerhatikan dari dalam kedai makan sambil sesekali meminum minumannya, bukan makanannya karena dia tidak memesan makanan.
“Ardo cadeeel! Ardo cadeeel!” ledek Anoman.
“Ardo cadeeel! Ardo cadeeel!” ledek Gugusan dan Kuncung pula sambil menunjukkan wajah yang mengejek.
“Aldo cadeeel! Aldo cadeeel!” Ardo justru mengikuti ledekan mereka dengan maksud mengejek balik.
Miriplah mereka seperti anak kecil yang saling ejek-ejekan. Hal itu membuat Iblis Jelita tersenyum.
Dibalas dengan ledekan serupa, justru membuat marah Anoman dan kedua rekannya. Mereka hanya ingin mengejek, tapi tidak mau diejek pula.
Gugusan yang memegang sisir kuda, melempar sisir kuda di tangannya kepada Ardo. Namun, dengan gesit anak cadel itu mengelak.
“Weeek! Enggak kenaaa! Enggak kenaaa!” teriak Ardo mengejek Gugusan semakin menjadi.
Semakin terbakarlah amarah Anoman dan kedua rekannya.
Gugusan dan Kuncung yang memiliki badan lebih besar segera maju dan mencekal kedua lengan Ardo.
“Lepaskan aku! Atau aku hajal kalian!” teriak Ardo sambil meronta.
“Rasakan!” kata Kuncung saat dia dan Gugusan mencelupkan paksa kepala Ardo ke sebuah gentong pendek berisi air. Biasanya air itu untuk minuman kuda.
“Hei!” bentak seorang lelaki dari ambang pintu kedai makan.
Terkejut Anoman, Gugusan dan Kuncung mendapat bentakan keras. Mereka sontak memandang ke sumber suara.
Lelaki yang membentak mereka berbadan besar berpakaian hitam ala-ala pendekar. Ada golok bersarung yang menyelip di sarung yang dijadikan sabuk pengaman. Semoga tidak salah paham mengenai sarung-menyarung.
Semua orang di Gampartiga mengenal orang berbadan besar itu bernama Cabur Sekti. Dia pendekar golok yang konon masih keturunan dari legenda mati Dewa Golok Dewi. Namun, belum ada yang iseng membuktikan kebenaran nasabnya apakah benar tersambung kepada Dewa Golok Dewi.
“Berhenti, kalian! Atau aku bawa kalian kepada bapak-bapak kalian!” ancam Cabur Sekti.
“Ayo, ayo!” ajak Anoman dengan wajah setengah takut plus kesal.
Gugusan dan Kuncung buru-buru melepas Ardo dan segera mengikuti Anoman. Sesekali mereka menengok melihat kepada Cabur Sekti yang masih melototkan kedua matanya. Maklum matanya hanya dua. Jika tiga, pasti tiga-tiganya juga melotot.
Ardo mengusap wajahnya dari air dan mendorong rambut gondrongnya yang basah ke belakang, sehingga wajahnya yang tadi sering tertutup separuh oleh rambut, terlihat total.
Melihat wajah Ardo, Iblis Jelita sedikit naikkan alis. Dia merespon sesuatu yang ada pada wajah Ardo.
“Anak tampan,” ucap Iblis Jelita sangat lirih.
Sebagai wanita penikmat lelaki, Iblis Jelita sangat ahli dalam menilai, memilah dan memilih wajah ganteng lelaki. Dia menilai wajah Ardo bukan untuk mengambil anak kecil itu sebagai mainan asmara, tetapi dia bisa menerka seperti apa ketampanan Ardo di kala dewasa nanti.
“Telima kasih, Kakang Cabul! Terima kasih, Kakang Cabul!” ucap Ardo sambil bersujud-sujud tidak jauh dari posisi berdiri Cabur Sekti.
“Iya, iya, tapi jangan menyebutku Cabur, sangat tidak enak didengarnya. Sebut aku Kakang Sekti, lebih punya daya jual,” kata Cabur Sekti dengan tatapan sewot.
“Baik, Kakang Sekti. Telima kasih, Kakang Sekti!” ucap Ardo begitu semangat dalam kepatuhan.
Setelah itu, Cabur Sekti melangkah pergi meninggalkan kedai makan.
Ardo pergi memungut sisir kudanya. Dia pun kembali bekerja menyisir surai kuda milik Iblis Jelita.
Tuk!
Ardo terkejut saat ada benda kecil yang menghantam kepalanya. Yang pertama dia lakukan adalah melihat benda apa yang mengenainya. Oh, ternyata sepotong kecil kayu sebesar kuku emak jari. Yang kedua dia lakukan adalah mencari orang yang melemparnya dengan mengikuti arah datangnya si kayu.
Ketika pandangan Ardo menemukan wajah cantik Iblis Jelita, dilihatnya pendekar wanita sakti itu memanggilnya dengan gerakan jari telunjuk yang berkuku panjang warna hitam.
“Aku, Nyai?” tanya Ardo.
Iblis Jelita mengangguk tanpa ekspresi.
Sembari tersenyum lebar seolah-olah sudah melupakan apa yang baru saja menimpanya, Ardo berlari kecil mendekat ke pinggir kedai makan dan berhenti di sisi luar.
“Ada apa, Nyai?” tanya Ardo seperti seorang abdi.
“Masuklah!” perintah Iblis Jelita.
“Ke dalam, Nyai?” tanya Ardo lagi seperti orang gagal paham.
“Masuk itu ke dalam, bukan ke atas!” kata Iblis Jelita agak membentak.
“I-i-iya, Nyai,” ucap Ardo jadi ciut dan tergagap.
Dia buru-buru berlari ke pintu masuk lalu datang ke meja Iblis Jelita.
“Aku sudah sampai, Nyai,” ucap Ardo melapor.
“Duduk!” perintah Iblis Jelita.
“Iya, Nyai,” ucap Ardo patuh.
Ardo lalu duduk berseberangan meja dengan Iblis Jelita yang berpenampilan seronok. Namun, Ardo duduk dengan menundukkan wajah. Dia takut dianggap kurang sopan, atau kurang ajar, atau kurang asam.
Sementara pelanggan lain di kedai itu hanya sekali menengok melihat kepada mereka.
“Gila! Perempuan Iblis itu memangsa anak kecil juga untuk memuaskan asmara bejatnya.”
Itu kata pikiran beberapa orang yang melihat gelagat Iblis Jelita.
“Kalau kau tidak ada, siapa yang merawat ibumu di rumah?” tanya Iblis Jelita.
“Ada adikku yang pelempuan. Namanya Linta Kemili....”
“Linta Kemili atau Rinta Kemiri?” tanya Iblis Jelita sambil mengepalkan tangan kanan dan kirinya bergantian di depan dadanya yang membusung menggoda.
Entah, apakah Ardo yang seumur dua belas tahun itu juga tergoda seperti para lelaki dewasa.
Karena disuruh memilih kepal tangan kanan atau tangan kiri, mau tidak mau Ardo memandang pula dada dewasa itu selain memandang tangan Iblis Jelita.
“Linta Kemili, Nyai,” jawab Ardo sambil menunjuk kepal tangan kiri Iblis Jelita, yang otomatis juga menunjuk dada kiri wanita sakti itu.
“Oh, Rinta Kemiri,” ucap Iblis Jelita menegaskan.
“Tapi ... jika aku tidak ada, tidak ada yang bekelja mencali kepeng, Nyai,” ucap Ardo yang kembali menunduk. Jadi tanda tanya bagi Iblis Jelita, apakah menunduk Ardo karena sikap merendahnya kepada orang lain atau untuk menghindari memandang sesuatu yang terlarang.
“Jadi, tugasmu mencari kepeng, adikmu bertugas menjaga dan mengurus ibumu?” terka Iblis Jelita.
“Iya, Nyai,” jawab Ardo.
“Ayahmu ke mana?”
“Ayahku pedagang kulit yang belkelana jauh, tapi sudah tujuh tahun tidak pulang-pulang. Kata teman Ayah, ayahku sudah menikah dengan wanita kaya di Kelajaan Buntungan,” jawab Ardo.
“Apakah ayahmu pantas mati jika seperti itu kelakuannya?” tanya Iblis Jelita.
“Tidak, Nyai. Tapi jika beltemu, aku belsumpah akan memotong bulungnya,” kata Ardo.
“Hihihi...!”
Tiba-tiba meledak tawa Iblis Jelita mendengar sumpah Ardo. Suara tawa yang nyaring mengejutkan seisi kedai makan. Orang-orang itu sontak berpaling menengok melihat kepada dua orang berbeda generasi itu.
Iblis Jelita yang selalu jadi pusat perhatian di mana-mana, tidak mengindahkan orang sekitar. Berbeda dengan Ardo yang nyengir kecut sambil melihat kepada pelanggan lain.
“Urusan burung ayahmu, biar aku yang mengurusnya!” tegas Iblis Jelita. Lalu katanya lagi sambil memandang jauh ke Tugu Setia, “Lawanku sudah datang.” (RH)
Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam. Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas. “Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo. “Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah. “Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia. Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu
Iblis Jelita hanya tersenyum meremehkan melihat Nyai Wetong tidak kuat menahan dua hantaman Sentilan Dewi Hitam tingkat satu. “Sepertinya kau akan mati di tanganku, Nyai,” kata Iblis Jelita dengan senyum sinisnya. “Lebih baik aku mati terhormat dari pada hidup tapi kalah oleh wanita rendah sepertimu!” teriak Nyai Wetong, lalu dia menghentakkan tangan kanannya ke arah langit dengan jari-jari tegang mencengkeram. Sementara tangan kirinya memegang pedang yang belum dia cabut. “Hihihi! Ya sudah, matilah!” tawa Iblis Jelita. Sesss! Tiba-tiba terdengar suara desisan energi yang mengalir dari angkasa masuk ke tangan kanan Nyai Wetong. Di tangan kanan muncul gumpalan energi sinar merah. Debu-debu di sekitar Nyai Wetong beterbangan karena muncul angin kencang dari pergerakan energi tersebut. Melihat itu, Iblis Jelita tidak mau tinggal menunggu diserang. Dia berinisiatif cepat berlari maju kepada Nyai Wetong. Melihat Iblis Jelita mulai banyak bergerak, para penonton yang hampir semua kau
Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh. Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya. Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami. Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki. Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati. Sebentar sang adi
Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw
Pendekar kerajaan yang bernama Perwira Hidung Baja berdiri gagah menghadang Ardo Kenconowoto dan Iblis Jelita yang berbagi satu punggung kuda. Mentang-mentang kedua jagoan itu sudah terluka parah, Perwira Hidung Baja baru muncul setor hidung.“Turun dan menyeraaakh!” seru Perwira Hidung Baja yang berujung jeritan seiring tubuhnya terlempar jauh ke samping.Tiba-tiba muncul sosok gemuk Iblis Satu Kaki yang datang melesat dari samping kiri secepat rudal jet tempur. Dia langsung menabrak tubuh Perwira Hidung Baja tanpa rem. Karena itulah Perwira Hidung Baja terpental pergi dari depan kuda Iblis Jelita.Tabrakan dahsyat itu mengejutkan semua orang. Perwira Hidung Baja menghantam keras tanah lembah yang hangus dan berguling-guling.Agar tidak malu, meski sudah terlanjur malu, Perwira Hidung Baja buru-buru bangkit berdiri. Untung wajahnya hitam oleh noda arang rumput lembah yang sebelumnya dibakar oleh Pendekar Raja Neraka, jadi malunya cukup tertutupi.“Frukrr!” Perwira Hidung Baja malah m
Blar blar blar…!Ketika tangan Nini Lanting yang bersinar putih menyilaukan ditusukkan ke arah langit, maka tanah sekitar dirinya dan termasuk di posisi Iblis Jelita berdiri meledak.Tanah-tanah berumput terbongkar mengudara. Namun, ketika ilmu Kiamat Kecil itu terjadi, sosok Iblis Jelita menghilang di mata para penonton biasa. Menghilangnya Iblis Jelita diikuti gerak wajah si nenek yang memandang ke langit.Dari arah langit meluncur cepat sosok Iblis Jelita dengan posisi kepala dan tangan di bawah, kedua kaki lurus di atas. Pada ujung tangannya yang menempel lurus ada sinar ungu dan hitam yang saling membaur tanpa saling menguasai. Arahnya tepat ke atas kepala Nini Lanting.Serangan Iblis Jelita dengan ilmu Totok Bumi level grand master itu datang sangat cepat. Tanpa pikir ulang, Nini Lanting menyambut lawannya dengan satu hentakan telapak tangan yang bersinar putih menyilaukan.Buooom!Pertemuan dua kesaktian itu menciptakan ledakan energi yang dahsyat. Tanah di sekitar mereka kemba
Srosss!“Aaakk…!”Dua serangan tapak membara yang mendarat di dadanya, membuat pikiran Ki Lagak sejenak blank dalam mengendalikan puluhan pedang sinar biru. Padahal rombongan energi ilmu Pedang Beranak Seribu itu sedang melesat mengarah Ratu Senja yang notabene ada di depannya.Maka, dengan lenyapnya sosok Ratu Senja, jadi justru sebagian pedang sinar biru menusuki tubuh Ki Lagak.Setelah Ki Lagak ditusuki oleh pedang-pedang energi miliknya sendiri, tahu-tahu Ratu Senja muncul lagi seperti dedemit caper di depan Ki Lagak yang terhuyung kesakitan. Kemunculan Ratu Senja yang tanpa tawa atau suara, membuat Ki Lagak tidak menyadari untuk waktu sesaat.Suss!“Hahh!” kejut Ki Lagak ketika baru melihat keberadaan Ratu Senja yang sudah memegang sinar biru gelap Dari ilmu Penghancur Cinta.Bluar!“Hakkr!”Dalam jarak yang sangat dekat, Ratu Senja menghantamkan sinar biru di tangannya kepada Ki Lagak yang mustahil untuk menghindar jika tidak punya ilmu lenyap seperti lawannya. Jalan satu-satuny
Set set!Ternyata pedang biru bagus Ki Lagak bisa dibagi menjadi dua pedang kembar yang lebih tipis. Dengan ilmu pengendali, kedua pedang itu bisa diterbangkan seringan capung tapi secepat anak panah.Ratu Seja tidak menggunakan ilmu perisai semodel sahabatnya Iblis Jelita, tetapi dia menggunakan ilmu Tinju Belut Peri. Ada yang ingat dengan ilmu ini?Kedatangan dua pedang yang sifatnya menusuk, cukup diadu dengan tinju kedua tangan Ratu Senja yang terlihat tinju biasa. Ketika pedang tinggal sejengkal jaraknya dari kepalan tangan janda awet itu, pedang akan melenceng arah, seperti terpeleset di lantai bersabun.Setelah terpeleset tanpa menyentuh tangan atau raga Ratu Senja, kedua pedang terus terbang dan berbalik atau berbelok arah yang tetap memburu tubuh indah Ratu Senja. Sepertinya Ki Lagak sudah terlalu tua, sehingga dia tega ingin menghancurkan keindahan yang lawannya miliki.Semua upaya serangan dua pedang kembar terbang gagal. Selalu terpeleset dan terpeleset lagi. Ki Lagak samp
Setelah pertarungan antara Ardo Kenconowoto berakhir dengan hasil berkurangnya satu anggota Keturunan Darah Emas, Nini Lanting semakin menggila dalam bertarung melawan Iblis Jelita.Begg! Pagg! Begg begg! Pagg pagg!Pukulan tinju dan telapak tangan yang bertenaga dalam tinggi dilancarkan menghantam dinding sinar ungu bening dari ilmu perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang, semakin tipis, semakin menerawang.Tinju pertama tidak menghancurkan dinding sinar ungu, tapi hantaman telapak tangan yang disusulkan kemudian menghancurkan dinding pertama.Nini Lanting kembali maju selangkah dan melancarkan dua pukulan beruntun untuk menghancurkan lapisan kedua. Namun, setelah itu Iblis Jelita kembali memunculkan ilmu perisai yang sama dengan sebelumnya, membuat Nini Lanting harus menghancurkan dua lapis perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang lagi.Suara hantaman pukulan kepada dinding perisai terdengar keras, membuat orang-orang yang mendengar bergetar hatinya. Bergetar bukan karena cinta, tapi bergetar ikut
Tubuh Ardo berguling melintasi api yang membakar rumput. Cepatnya gulingan tubuhnya membuat dia tidak sempat terbakar. Maklum pendekar saktinya sedang sibuk.Ardo cepat bangkit di antara kobaran api yang membakar lahan di mana-mana. Memang agak runyam jika melawan Pendekar Raja Neraka, api di mana-mana.Sosss!Belum sempurna fokus pandangan Ardo, serangan gelang-gelang sudah datang lagi.“Lelele…!” teriak Ardo sambil lari kencang ke samping, membuat serangan seperti selang api panjang itu hanya kian memperparah kebakaran lahan.Iblis Jelita yang bertarung sengit di sisi lain hanya tersenyum tipis saat mendengar lolongan Ardo, tanpa tertarik untuk melirik kepada murid dan calon suaminya itu.Ardo berlari kencang mengelilingi posisi Cukil Bugir.Sosss!Cukil Bugir kembali memburu Ardo dengan melesatkan barisan gelang-gelang api. Namun, Ardo seperti jagoan yang jika ditembak tidak kena-kena.Sing! Ctarr! Ses ses ses…!Setelah lolos lagi dari serangan, sambil terus berlari, Ardo melesatka
“Lelaki tampan mana yang kau pilih untuk dibunuh?” tanya Iblis Jelita kepada Ratu Senja sambil memandang kepada Ki Lagak dan Cukil Bugir. “Aku pilih Ki Lagak saja, agar yang suka marah-marah jatahnya Ardo,” jawab Ratu Senja sembari tersenyum semanis mangga matang di hati. “Tapi yang suka malah-malah namanya siapa, Nyai Latu?” tanya Ardo yang membuat ketiga calon lawan mereka tahu bahwa ternyata pemuda itu cadel. “Namanya Cukil Bugir, bergelar Pendekar Raja Neraka,” jawab Ratu Senja. “Oooh Cukil Bugil. Pendekal Laja Nelaka,” sebut ulang Ardo yang membuat Ratu Senja tersenyum lebar dan Cukil Bugir mendelik sewot. “Jangan coba-coba kau menyebut nama agungku lagi, Pemuda Cadel!” ancam Cukil Bugir yang tidak rela namanya beruba jadi mesum jika disebut oleh Ardo. “Tenang saja, Kek. Aku tidak akan menyebut nama Cukil Bugil lagi,” kata Ardo seraya tersenyum santun tapi menjengkelkan bagi Cukil Bugir. “Tapi kau masih menyebutnya!” bentak Cukir Bugir lalu…. Clap! Dak dak! Tiba-tiba ka
Iblis Jelita tetap di punggung Surami, berhadapan dalam jarak tiga tombak dengan kereta kuda putih yang diapit oleh Ki Lagak alias Pendekar Pedang Bersayap dan Cukil Bugir alias Pendekar Raja Neraka.Sementara empat murid berkuda Nini Lanting posisinya ada di belakang, seolah-olah mereka dilarang untuk turun tarung karena cukuplah yang tua-tua saja yang turun ke ambang kematian untuk memetik nyawa.Semua mata penonton yang berada di sekeliling area Lembah Jepit terpusat kepada mereka. Yang mereka tunggu jelas adegan tarung yang seru sampai ada yang tumbang bersimbah darah dan nyawa melayang.“Apakah Keturunan Darah Emas akan menghabiskan diri hanya di tangan seorang Iblis Jelita?” kata Iblis Jelita datar.“Kesombonganmu akan berakhir di sini, Iblis Jelita!” seru Pendekar Raja Neraka.“Hihihi! Berkaca tapi tidak pernah melihat wajah sendiri. Satu per satu Keturunan Darah Emas datang menantang menyombongkan diri. Pendekar Pedang Kayu saja mempermalukan diri di tangan muridku, pendekar y