Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.
Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.
“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.
Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.
Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.
Karena pertarungan duel dua pendekar wanita sudah usai, para pendekar dan warga yang berstatus penonton pun membubarkan diri. Tinggallah Pasukan Kadipaten yang bekerja merapikan kekacauan yang dihasilkan dari pertarungan tersebut. Adipati Banting Arak pun sudah memberi arahan apa yang harus para prajurit itu lakukan.
Sang adipati tidak akan menuntut Iblis Jelita atas pembunuhan itu, yang jelas dia tidak mau berurusan dengan wanita sakti itu. Namun, Adipati Banting Arak mendapat satu keuntungan, yaitu Iblis Jelita menjadi sekutunya sesuai dengan kesepakatan lisan yang mereka setujui.
“Ayo, ikut aku, Ardo!” kata Iblis Jelita sambil mencengkeram tengkuk Ardo dengan tangan kanannya.
“Akh!” pekik tertahan Ardo meski cengkeraman itu tidak menyakitinya, tapi membuatnya terkejut karena Iblis Jelita tahu-tahu muncul dari belakangnya. Melihat kuku-kuku hitam berbahaya menempel di kulit lehernya, jelas membuat Ardo ngeri juga. Jelas dia tidak berani melawan ajakan Iblis Jelita.
“Kau sekarang jadi pelayanku,” kata Iblis Jelita.
“Pe-pe-pelayan bagaimana, Nyai?” tanya Ardo tidak mengerti dengan wajah mengerenyit, bukan karena sakit, tapi lebih kepada ngeri.
“Bukankah kita sudah bertaruh? Jika aku membunuh lawanku, kau jadi pelayanku dan aku akan membayarmu dengan upah yang sesuai. Bayaranmu akan cukup untukmu, cukup untuk ibumu, dan aku akan membantu menyembuhkan sakit ibumu, ditambah aku akan memotong burung ayahmu,” jelas Iblis Jelita, mengingatkan Ardo tentang perjanjian lisan mereka di kedai.
“Iya, Nyai. Aku belsedia menjadi pelayan Nyai. Aku pandai mencuci piling, aku pandai belhitung kepeng, aku pandai melebus telul. Aku juga pandai memijit dan mencali kutu,” kata Ardo bernada antusias.
“Sekarang bawa aku ke rumahmu, agar ibumu tidak mencarimu jika kau tidak pulang berhari-hari,” kata Iblis Jelita sambil melepaskan cengkeraman halusnya di tengkuk Ardo. Mereka menuju ke depan kedai makan, di mana kuda Iblis Jelita ditambatkan.
Namun, tiba-tiba ada yang menghadang. Seorang lelaki besar bergolok. Orang itu tidak lain adalah Cabur Sekti, pendekar golok yang konon katanya keturunan pendekar legenda Dewa Golok Dewi.
“Mau kau apakan anak ini, Jelita?” tanya Cabur Sekti tidak gentar, padahal dia baru saja menyaksikan keganasan Iblis Jelita.
“Ardo sudah menjadi pelayanku. Minggir kau, Cabur!” kata Iblis Jelita.
“Anak kecil pun mau kau mangsa?” tanya Cabur Sekti setengah membentak.
“Jaga suaramu, Lelaki Besar. Aku dan anak ini sudah sepakat. Dia aku bawa tanpa paksaan,” tandas Iblis Jelita.
“Benal, Kakang Cabul. Aku akan bekelja jadi pelayan Nyai. Aku akan dibayal mahal,” kata Ardo pula membenarkan majikan barunya.
“Baiklah, aku percaya. Namun, jika terjadi apa-apa dengan Ardo, aku akan mencarimu, Jelita,” kata Cabur Sekti mengandung ancaman.
“Cari saja aku. Nyai Wetong juga mencariku. Kau bisa lihat sendiri nasibnya,” kata Iblis Jelita sembari tersenyum sinis.
“Dan khusus kau, Ardo. Jangan pernah menyebutku Cabur, sebut aku Sekti!” kata Cabur Sekti menekankan karena dia tidak suka disebut “Cabul” oleh Ardo.
“Baik, Kakang Sekti,” ucap Ardo cepat paham.
Cabor Sekti lalu pergi meninggalkan kedua orang itu.
Iblis Jelita berjalan mendapati kudanya dan menaikinya, tanpa melepas dulu tambatan talinya. Sebagai pelayan, Ardo segera tanggap. Dia segera berlari dan melepas tambatan tali kuda.
“Bagus. Kau cepat tanggap rupanya,” puji Iblis Jelita.
“Hehehe!” tawa Ardo cengengesan.
“Sekarang larilah lebih dulu menuju rumahmu, aku akan mengikutimu!” perintah Iblis Jelita.
“Baik, Nyai,” ucap Ardo.
Ardo yang bertelanjang kaki, segera berlari kencang lebih dulu. Iblis Jelita segera mengejarnya dengan berkuda.
Maka terciptalah pemandangan bahwa Iblis Jelita sedang mengejar Ardo Kenconowoto, seolah-olah pendekar wanita kejam itu sedang mengejar calon korban.
Warga Gampartiga hanya memandangi pemandangan itu. Untung saja tidak ada yang muncul menolong Ardo, sehingga tidak terjadi salah paham.
Dilihat dari larinya, ternyata Ardo seorang pelari cepat dan tangkas. Sejumlah medan alam yang tidak rata, bisa dia lewati dengan cekatan. Kakinya lincah dan kokoh. Itu semua masuk dalam perhatian Iblis Jelita.
Ketika melewati sebuah sungai kecil yang dangkal dan berbatu, anak itu bisa melompat lincah dari satu batu ke batu kering yang lain.
Di seberang sungai kecil itu ada sebuah gubuk kayu sederhana yang sudah menderita kerusakan di beberapa bagiannya, tapi masih layak dan belum pantas disebut sebagai kandang kambing.
Kemunculan Ardo yang diikuti oleh seekor kuda dan seorang penunggang, membuat seorang gadis kecil yang sedang mencuci di air sungai yang mengalir, berdiri. Saking dangkalnya air sungai, seorang anak kecil perempuan pun tidak khawatir turun ke sungai. Air hanya setinggi lututnya.
Melihat anak perempuan yang berbaju basah itu, Ardo berteriak.
“Linta Kemili! Ada Nyai datang!” teriak Ardo.
Ternyata anak perempuan itu adalah Rinta Kemiri, adik Ardo yang pernah disebut kepada Iblis Jelita.
“Kakang! Kenapa kau dikejar kuda? Apakah kau mencuri?!” teriak Rinta Kemiri cemas.
“Tidak! Tidak!” teriak Ardo seperti sedang ikut kuis “tebak salah”. “Nyai Sakti datang beltamu!”
Rinta Kemiri segera naik ke pinggir sungai. Dia meninggalkan pakaian cuciannya di atas bongkahan batu sungai.
Kakak adik itupun bertemu di pinggiran. Ardo terengah-engah. Kuda tunggangan Iblis Jelita naik mendekati kedua anak itu.
“Rinta Kemiri,” sebut Iblis Jelita.
“Aku, Nyai,” ucap Rinta Kemiri sembari tersenyum. Dia sudah tidak cemas lagi, justru sangat terpesona melihat kejelitaan Iblis Jelita.
“Kenapa kau mencuci siang-siang?” tanya Iblis Jelita.
“Ibu tadi buang kotoran, jadi aku harus mencucinya, Nyai,” jawab Rinta Kemiri santun.
“Kalian anak yang berbakti rupanya,” puji Iblis Jelita.
“Jika bukan kami yang belbakti, Ibu tidak akan ada yang mengulus, Nyai,” kata Ardo.
“Ayo, aku ingin bertemu dengan ibu kalian!” ajak Iblis Jelita.
“Mali, Nyai!” ajak Ardo, lalu dia berlari sedang menuju ke rumahnya yang sudah dekat.
Iblis Jelita mengikuti sampai ke depan gubuk.
Gubuk itu berlantai tanah.
“Ibu, ada tamu agung!” teriak Ardo sambil berlari masuk ke dalam gubuk.
Ardo langsung pergi ke sisi sebuah dipan yang ada di sudut ruangan. Gubuk itu hanya memiliki dua ruangan. Satu ruangan agak besar yang menyatu dengan dapur. Ruangan yang satu lagi adalah kamar kecil yang dindingnya sudah bolong-bolong tidak teratur.
Uniknya dalam rumah itu, meski itu sebuah gubuk yang banyak rusaknya, tetapi terlihat begitu rapi. Barang-barang dan kain-kain yang ada berposisi dengan benar tanpa ada yang asal berserak atau asal menggantung.
“Kau jangan suka berdusta untuk menyenangkan Ibu, Ardo,” kata seorang wanita yang terbaring sakit di atas dipan.
“Tidak, Bu. Sekalang aku bekelja sebagai pelayan Nyai Sakti. Nyai Sakti majikanku, Bu,” jawab Ardo dengan gembira. Pekerjaan barunya sebagai seorang pelayan Iblis Jelita menjadi kabar gembira baginya.
“Apakah kau mengenalku, Nyai?” tanya Iblis Jelita yang sudah masuk ke dalam rumah itu. Wangi tubuhnya seolah menjadi semprotan pengharum di dalam ruangan.
Wanita yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Iblis Jelita itu sontak menengok melihat wanita seksi yang masuk ke rumah itu.
“Tidak,” jawab Upir Rammi, ibu Ardo dan Rinta Kemiri. Dia terpesona melihat kejelitaan tamunya. “Nisanak, kau cantik sekali.”
“Baguslah jika kau tidak mengenalku, Nyai. Aku akan membawa Ardo menjadi pelayanku. Kebutuhan kepeng kalian, aku yang akan menaggungnya,” ujar Iblis Jelita.
Iblis Jelita lalu mendekati Upir Rammi. Tanpa izin lagi, dia menyingkap kain yang menutupi kedua kaki ibunya Ardo. Upir Rammi agak terkejut melihat tindakan tamunya, tetapi dia diam saja.
Kondisi kedua kaki Upir Rammi sangat kurus, seperti tinggal tulang berbalut kulit saja.
“Ini bisa disembuhkan,” kata Iblis Jelita, membuat Upir Rammi dan kedua anaknya terbeliak, lalu tersenyum sumringah. “Asalkan Nyai tidak keberatan Ardo menjadi pelayanku sampai dia dewasa.”
“Tidak apa-apa, Nyai. Asalkan Ibu bisa sembuh, sampai tua pun aku akan melayani, Nyai!” tegas Ardo.
Iblis Jelita jadi tersenyum. (RH)
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
“Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin
Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter
“Dua puluh, Nyaiii!” teriak Ardo saat kepala dan wajahnya keluar dari dalam air sungai.Ardo telah menjadi seorang remaja tanggung yang tampan dan semakin berotot. Rambutnya pun semakin gondrong. Empat tahun telah berlalu. Benar dugaan Iblis Jelita, Ardo semakin dewasa semakin tampan.“Naiklah, ada tugas untukmu!” perintah Iblis Jelita yang saat itu sedang memilah dan memilih buah leunca.Dia memilah dan memilih buah untuk sayur itu bersama Ratu Senja. Namun, ada yang aneh dari kedua wanita dewasa itu.Setelah empat tahun berlalu, wajah keduanya semakin terlihat cantik dan lebih muda, seperti gadis berusia di bawah tiga puluh tahun, padahal usia mereka hampir kepala empat. Sepertinya mereka sukses berbagi resep awet muda yang mereka dapat dari burung sakti, yang hingga saat ini burung tersebut masih sehat bugar.Bruss! Jleg!Kini, Ardo tinggal melakukan lompatan untuk naik dari air sungai dan mendarat di lantai bambu rumah Iblis Jelita.Terlihatlah penampilan Ardo yang sudah bertubuh
Untuk naik ke rumah tinggi Iblis Sirih, Ardo Kenconowoto harus lewat pohon. Setelah ambil ancang-ancang, Ardo berlari naik seperti seekor kucing naik pohon. Gerakannya tidak berhenti menginjak satu dahan naik ke dahan lain, seiring satu tangannya berpegangan. Dia tahu-tahu sampai di lantai teras rumah Iblis Sirih.Dengan berada di teras, Ardo bisa melihat seorang lelaki berusia empat puluh sembilan tahun sedang duduk bersila sambil menulis dengan lidi di lembaran daun sirih.“Sembah holmatku, Gulu,” ucap Ardo sembari menjura hormat di teras.“Apa yang kau bawa, Ardo?” tanya Iblis Sirih tanpa menoleh kepada anak itu.“Sayul nangka muda, Gulu,” jawab Ardo sambil menunjukkan bingkisannya.“Kau yang memasaknya?” tanya Iblis Sirih, kali ini dia menengok kepada Ardo.“Bukan aku, tapi Nyai Sakti,” jawab Ardo.“Itu baru bagus. Kemarikan. Jika kau yang buat, pasti tidak enak,” kata Iblis Sirih sumringah.Ardo pun masuk dan memberikan bingkisan yang dibawanya kepada Iblis Sirih yang tidak berju
Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw
Pendekar kerajaan yang bernama Perwira Hidung Baja berdiri gagah menghadang Ardo Kenconowoto dan Iblis Jelita yang berbagi satu punggung kuda. Mentang-mentang kedua jagoan itu sudah terluka parah, Perwira Hidung Baja baru muncul setor hidung.“Turun dan menyeraaakh!” seru Perwira Hidung Baja yang berujung jeritan seiring tubuhnya terlempar jauh ke samping.Tiba-tiba muncul sosok gemuk Iblis Satu Kaki yang datang melesat dari samping kiri secepat rudal jet tempur. Dia langsung menabrak tubuh Perwira Hidung Baja tanpa rem. Karena itulah Perwira Hidung Baja terpental pergi dari depan kuda Iblis Jelita.Tabrakan dahsyat itu mengejutkan semua orang. Perwira Hidung Baja menghantam keras tanah lembah yang hangus dan berguling-guling.Agar tidak malu, meski sudah terlanjur malu, Perwira Hidung Baja buru-buru bangkit berdiri. Untung wajahnya hitam oleh noda arang rumput lembah yang sebelumnya dibakar oleh Pendekar Raja Neraka, jadi malunya cukup tertutupi.“Frukrr!” Perwira Hidung Baja malah m
Blar blar blar…!Ketika tangan Nini Lanting yang bersinar putih menyilaukan ditusukkan ke arah langit, maka tanah sekitar dirinya dan termasuk di posisi Iblis Jelita berdiri meledak.Tanah-tanah berumput terbongkar mengudara. Namun, ketika ilmu Kiamat Kecil itu terjadi, sosok Iblis Jelita menghilang di mata para penonton biasa. Menghilangnya Iblis Jelita diikuti gerak wajah si nenek yang memandang ke langit.Dari arah langit meluncur cepat sosok Iblis Jelita dengan posisi kepala dan tangan di bawah, kedua kaki lurus di atas. Pada ujung tangannya yang menempel lurus ada sinar ungu dan hitam yang saling membaur tanpa saling menguasai. Arahnya tepat ke atas kepala Nini Lanting.Serangan Iblis Jelita dengan ilmu Totok Bumi level grand master itu datang sangat cepat. Tanpa pikir ulang, Nini Lanting menyambut lawannya dengan satu hentakan telapak tangan yang bersinar putih menyilaukan.Buooom!Pertemuan dua kesaktian itu menciptakan ledakan energi yang dahsyat. Tanah di sekitar mereka kemba
Srosss!“Aaakk…!”Dua serangan tapak membara yang mendarat di dadanya, membuat pikiran Ki Lagak sejenak blank dalam mengendalikan puluhan pedang sinar biru. Padahal rombongan energi ilmu Pedang Beranak Seribu itu sedang melesat mengarah Ratu Senja yang notabene ada di depannya.Maka, dengan lenyapnya sosok Ratu Senja, jadi justru sebagian pedang sinar biru menusuki tubuh Ki Lagak.Setelah Ki Lagak ditusuki oleh pedang-pedang energi miliknya sendiri, tahu-tahu Ratu Senja muncul lagi seperti dedemit caper di depan Ki Lagak yang terhuyung kesakitan. Kemunculan Ratu Senja yang tanpa tawa atau suara, membuat Ki Lagak tidak menyadari untuk waktu sesaat.Suss!“Hahh!” kejut Ki Lagak ketika baru melihat keberadaan Ratu Senja yang sudah memegang sinar biru gelap Dari ilmu Penghancur Cinta.Bluar!“Hakkr!”Dalam jarak yang sangat dekat, Ratu Senja menghantamkan sinar biru di tangannya kepada Ki Lagak yang mustahil untuk menghindar jika tidak punya ilmu lenyap seperti lawannya. Jalan satu-satuny
Set set!Ternyata pedang biru bagus Ki Lagak bisa dibagi menjadi dua pedang kembar yang lebih tipis. Dengan ilmu pengendali, kedua pedang itu bisa diterbangkan seringan capung tapi secepat anak panah.Ratu Seja tidak menggunakan ilmu perisai semodel sahabatnya Iblis Jelita, tetapi dia menggunakan ilmu Tinju Belut Peri. Ada yang ingat dengan ilmu ini?Kedatangan dua pedang yang sifatnya menusuk, cukup diadu dengan tinju kedua tangan Ratu Senja yang terlihat tinju biasa. Ketika pedang tinggal sejengkal jaraknya dari kepalan tangan janda awet itu, pedang akan melenceng arah, seperti terpeleset di lantai bersabun.Setelah terpeleset tanpa menyentuh tangan atau raga Ratu Senja, kedua pedang terus terbang dan berbalik atau berbelok arah yang tetap memburu tubuh indah Ratu Senja. Sepertinya Ki Lagak sudah terlalu tua, sehingga dia tega ingin menghancurkan keindahan yang lawannya miliki.Semua upaya serangan dua pedang kembar terbang gagal. Selalu terpeleset dan terpeleset lagi. Ki Lagak samp
Setelah pertarungan antara Ardo Kenconowoto berakhir dengan hasil berkurangnya satu anggota Keturunan Darah Emas, Nini Lanting semakin menggila dalam bertarung melawan Iblis Jelita.Begg! Pagg! Begg begg! Pagg pagg!Pukulan tinju dan telapak tangan yang bertenaga dalam tinggi dilancarkan menghantam dinding sinar ungu bening dari ilmu perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang, semakin tipis, semakin menerawang.Tinju pertama tidak menghancurkan dinding sinar ungu, tapi hantaman telapak tangan yang disusulkan kemudian menghancurkan dinding pertama.Nini Lanting kembali maju selangkah dan melancarkan dua pukulan beruntun untuk menghancurkan lapisan kedua. Namun, setelah itu Iblis Jelita kembali memunculkan ilmu perisai yang sama dengan sebelumnya, membuat Nini Lanting harus menghancurkan dua lapis perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang lagi.Suara hantaman pukulan kepada dinding perisai terdengar keras, membuat orang-orang yang mendengar bergetar hatinya. Bergetar bukan karena cinta, tapi bergetar ikut
Tubuh Ardo berguling melintasi api yang membakar rumput. Cepatnya gulingan tubuhnya membuat dia tidak sempat terbakar. Maklum pendekar saktinya sedang sibuk.Ardo cepat bangkit di antara kobaran api yang membakar lahan di mana-mana. Memang agak runyam jika melawan Pendekar Raja Neraka, api di mana-mana.Sosss!Belum sempurna fokus pandangan Ardo, serangan gelang-gelang sudah datang lagi.“Lelele…!” teriak Ardo sambil lari kencang ke samping, membuat serangan seperti selang api panjang itu hanya kian memperparah kebakaran lahan.Iblis Jelita yang bertarung sengit di sisi lain hanya tersenyum tipis saat mendengar lolongan Ardo, tanpa tertarik untuk melirik kepada murid dan calon suaminya itu.Ardo berlari kencang mengelilingi posisi Cukil Bugir.Sosss!Cukil Bugir kembali memburu Ardo dengan melesatkan barisan gelang-gelang api. Namun, Ardo seperti jagoan yang jika ditembak tidak kena-kena.Sing! Ctarr! Ses ses ses…!Setelah lolos lagi dari serangan, sambil terus berlari, Ardo melesatka
“Lelaki tampan mana yang kau pilih untuk dibunuh?” tanya Iblis Jelita kepada Ratu Senja sambil memandang kepada Ki Lagak dan Cukil Bugir. “Aku pilih Ki Lagak saja, agar yang suka marah-marah jatahnya Ardo,” jawab Ratu Senja sembari tersenyum semanis mangga matang di hati. “Tapi yang suka malah-malah namanya siapa, Nyai Latu?” tanya Ardo yang membuat ketiga calon lawan mereka tahu bahwa ternyata pemuda itu cadel. “Namanya Cukil Bugir, bergelar Pendekar Raja Neraka,” jawab Ratu Senja. “Oooh Cukil Bugil. Pendekal Laja Nelaka,” sebut ulang Ardo yang membuat Ratu Senja tersenyum lebar dan Cukil Bugir mendelik sewot. “Jangan coba-coba kau menyebut nama agungku lagi, Pemuda Cadel!” ancam Cukil Bugir yang tidak rela namanya beruba jadi mesum jika disebut oleh Ardo. “Tenang saja, Kek. Aku tidak akan menyebut nama Cukil Bugil lagi,” kata Ardo seraya tersenyum santun tapi menjengkelkan bagi Cukil Bugir. “Tapi kau masih menyebutnya!” bentak Cukir Bugir lalu…. Clap! Dak dak! Tiba-tiba ka
Iblis Jelita tetap di punggung Surami, berhadapan dalam jarak tiga tombak dengan kereta kuda putih yang diapit oleh Ki Lagak alias Pendekar Pedang Bersayap dan Cukil Bugir alias Pendekar Raja Neraka.Sementara empat murid berkuda Nini Lanting posisinya ada di belakang, seolah-olah mereka dilarang untuk turun tarung karena cukuplah yang tua-tua saja yang turun ke ambang kematian untuk memetik nyawa.Semua mata penonton yang berada di sekeliling area Lembah Jepit terpusat kepada mereka. Yang mereka tunggu jelas adegan tarung yang seru sampai ada yang tumbang bersimbah darah dan nyawa melayang.“Apakah Keturunan Darah Emas akan menghabiskan diri hanya di tangan seorang Iblis Jelita?” kata Iblis Jelita datar.“Kesombonganmu akan berakhir di sini, Iblis Jelita!” seru Pendekar Raja Neraka.“Hihihi! Berkaca tapi tidak pernah melihat wajah sendiri. Satu per satu Keturunan Darah Emas datang menantang menyombongkan diri. Pendekar Pedang Kayu saja mempermalukan diri di tangan muridku, pendekar y