Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.
Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.
“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”
Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.
“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.
“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.
Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.
Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.
Sementara di luar rumah.
“Membungkuklah di sisi kuda agar aku mudah naik!” perintah Iblis Jelita.
“Baik, Nyai,” ucap Ardo patuh.
Ardo lalu pergi membungkuk di sisi kanan kuda. Setelah melihat pose tubuh Ardo sudah kokoh, Iblis Jelita lalu naik menginjak punggung si bocah.
Ardo tahu, ketika majikannya menginjak punggungnya, ada kaki indah yang terangkat dan terbuka lebar. Namun, Ardo tidak berani menengok atau melirik. Dia fokus menatap tanah di bawah wajahnya.
Dengan menjadikan punggung Ardo sebagai bangku hidup, Iblis Jelita bisa naik ke punggung kuda dengan lebih mudah.
Namun, ketika majikan barunya itu menginjak punggungnya, Ardo merasakan injakan itu hangat, seperti ada telur rebus baru matang ditempelkan ke punggungnya.
Memang, tanpa Ardo ketahui, ketika kaki kanan Iblis Jelita menginjak punggung Ardo, ada sinar ungu yang muncul dari injakan itu. Entah sinar ungu apa itu? Hanya Iblis Jelita yang tahu, karena rerumputan yang tumbuh di sekitar gubuk malu untuk bertanya.
“Selama kau menjadi pelayanku, kau harus berlari mengikuti lari kudaku,” kata Iblis Jelita.
“Siap, Nyai!” pekik Ardo semangat.
Mulailah Iblis Jelita menjalankan kudanya. Ardo berlari mengikuti.
Setelah menyeberangi sungai kembali, Iblis Jelita agak mempercepat lari kudanya. Ardo pun mempercepat larinya. Dia masih bisa berlari mengikuti kuda.
Melihat pelayan barunya berlari dengan semangat, meski sudah banjir keringat, Iblis Jelita hanya tersenyum kecil. Dia kemudian menambah gas gebahannya, meninggalkan Ardo agak jauh di belakang.
Meski agak tertinggal oleh ekor kuda, Ardo konsisten dengan kecepatan larinya, karena memang itulah kemampuan maksimalnya.
Setelah agak lama menjauhi Ardo, Iblis Jelita agak menurunkan kecepatan kudanya, membuat Ardo bisa lebih dekat di belakang kuda.
Hingga sampai di sebuah pinggiran lembah, lari Ardo memelan, menunjukkan energinya sudah menuju tanda merah. Daripada Ardo kehilangan majikannya, Iblis Jelita memilih memelankan kudanya yang pada akhirnya berhenti.
“Hah hah hah!” Ardo berdiri dengan membungkuk memegangi kedua lututnya. Dia sangat terengah-engah.
“Ternyata kau pelari yang kuat, Ardo,” puji Iblis Jelita jika menilai jarak lari yang telah ditempuh oleh Ardo.
“I-i-iya, Nyaih. Setiap aku mendapat pelintah, aku selalu belalih, agal cepat dikeljakan. Hah hah hah!” kata Ardo di sela-sela bernapasnya.
Set! Dug!
Iblis Jelita menyentilkan jari kelingkingnya, melesatkan sebutir sinar hitam kecil ke atas sebatang pohon kelapa. Energi itu memutus tangkai kelapa, menjatuhkan dua butir kelapa muda ke tanah.
“Ambil!” perintah Iblis Jelita kepada Ardo yang terperangah monyong melihat kesaktian itu, padahal sebelumnya dia sudah melihat kesaktian majikannya yang lebih hebat.
“Baik, Nyai,” ucap Ardo patuh.
Dia pun berlari kecil karena memang dengkulnya terasa ingin copot. Dia memungut dua kelapa yang masing-masing sudah bercerai dengan tangkainya. Dia bawa dua kelapa itu ke hadapan sang majikan yang masih duduk di punggung kuda.
Tub tub!
Iblis Jelita lalu dengan mudahnya menusukkan kuku telunjuk hitamnya ke kulit samping kelapa sampai satu ruas jarinya tenggelam. Ketika jarinya dicabut, air kelapa langsung mengucur. Buru-buru Ardo mengubah posisi kelapanya agar lubangnya menghadap ke atas.
Hal yang sama Iblis Jelita lakukan kepada kelapa yang kedua.
Setelah itu, dia ambil satu kelapa dari tangan Ardo. Iblis Jelita mendongak seiring dia menuangkan air kelapa ke dalam mulutnya yang menganga. Ardo hanya memandangi pemandangan leher yang putih indah.
“Minum!” hardik Iblis Jelita saat mendapati anak itu justru memandanginya minum. “Jangan sering-sering memandangi majikanmu. Otakmu nanti rusak.”
“I-i-iya, Nyai,” ucap Ardo tergagap karena merasa berlaku salah.
Ardo lalu meminum air kelapa dengan cara menempelkan bibirnya ke lubang, tidak mengucurkannya seperti air pipis anak lelaki sebagaimana yang dilakukan oleh majikannya.
“Habiskan, karena kau masih harus berlari!” perintah Iblis Jelita.
“Iya, Nyai,” ucap Ardo patuh, setelah menjeda tenggakannya. Dia lalu kembali minum sampai habis, terlebih dia memang haus sekali dan butuh banyak cairan seperti banyak iklan yang menganjurkan demikian.
Setelah habis minumannya dan membuang kelapa kopongnya, Ardo meraba bibirnya yang terasa aneh. Saat dia merasakan bibirnya sendiri dengan jari, dia menyimpulkan bahwa kedua bibirnya menebal. Dia tarik bibir bawahnya dan melihatnya. Dia terkejut karena bibirnya berwarna gelap, cenderung kehitaman.
“Bibirmu keracunan,” kata Iblis Jelita enteng.
“Hah! Aku kelacunan, Nyai? Aduh, aku bisa mati, Nyai. Nyai sudah membayalku, tapi aku malah bulu-bulu mati. Bagaimana ini, Nyai?” celoteh Ardo mendadak panik. Ekspresinya pun menunjukkan dia mau menangis, tapi hanya mau, tidak sampai menangis.
“Hihihi!” tawa Iblis Jelita melihat kepanikan Ardo yang lucu, ditambah omongannya yang cadel.
“Aku tidak mau jadi setan yang punya utang, Nyai,” kata Ardo mengiba.
“Kau terkena racun kukuku. Kau tidak akan mati, aku punya penawarnya,” kata Iblis Jelita.
“Waduh waduh! Mukaku mulai kesemutan, Nyai,” kata Ardo semakin panik karena merasakan wajahnya seperti dipenuhi ribuan semut.
Iblis Jelita hanya tersenyum cantik lalu menggebah kembali kudanya. Mau tidak mau, Ardo juga kembali berlari dengan memendam kecemasan atas nasib bibir dan nyawanya.
Karena Iblis Jelita tidak menjelaskan sebab musabab bibir Ardo keracunan, maka sekedar bocoran, penyebab bibir Ardo keracunan karena cara dia meminum air kelapa.
Ketika kuku Iblis Jelita melubangi kelapa, racun yang masuk langsung terbuang oleh air kelapa yang mengucur di awal setelah jari dicabut. Namun, masih ada racun yang tersisa di kulit kelapa sekitar lubang. Maka, ketika Ardo menempelkan bibirnya, dia terkena racun itu. Jadi kesimpulannya, air kelapa bersih dari racun, sedangkan pinggiran lubang tidak. Semoga bisa dipahami.
Kembali ke pelarian Ardo.
Ternyata, jarak tempuh lanjutan dari lari Ardo tidak begitu jauh, tidak sampai selama menghabiskan semangkuk mie ayam.
Mereka tiba di sebuah pinggir sungai yang cukup lebar dan berarus deras. Di tengah-tengah sungai ada sebuah rumah panggung bambu yang cukup besar. Kaki-kaki rumahnya yang tenggelam ke dasar sungai terlihat kokoh. Terlihat pula ada pakaian yang sedang dijemur dan berkibar-kibar tertiup angin.
Tidak ada jembatan untuk sampai ke rumah tersebut dan tidak terlihat ada perahu di pinggiran sungai. Yang ada hanyalah seutas tambang panjang yang terbentang menjadi penghubung. Satu ujung tambang melilit dan terikat kuat pada sebatang pohon besar, sedangkan ujung lainnya terikat kuat di sebuah tonggak kayu yang berdiri kokoh di dekat rumah bambu.
Ada tambang serupa yang menghubungkan rumah bambu dengan pinggir sungai yang di seberang sana.
Sekitar belasan tombak dari rumah tengah sungai ke arah hulu, ada deretan tiang-tiang bambu yang menancap di dasar, seperti pagar berjarak. Deretan patok bambu juga ada di arah hilir. Mungkin jaraknya sama dengan yang di arah hulu.
Itulah kediaman Iblis Jelita. Deretan patok bambu menunjukkan batas luar daerah perairan sungainya. Jika ada nelayan atau orang asing yang melewati batas itu tanpa izin, maka akan mendapat agresi maut.
Semua nelayan sungai wilayah sekitar sudah tahu bahwa itu kediaman Iblis Jelita. Jadi tidak ada yang berani mendekati batas.
Setelah memberikan tali kudanya kepada Ardo, Iblis Jelita lalu melompat naik ke atas tambang, kemudian dengan mudahnya dia berjalan di titian tali itu. Seperti berjalan di jalan biasa, Iblis Jelita tidak terlihat melakukan upaya jaga keseimbangan karena dia tidak oleng sama sekali.
“Nyai Sakti, lalu aku bagaimana cala menyebelangnya?” tanya Ardo setengah berteriak setelah menambatkan kuda. Dia bingung untuk mengikuti majikannya.
“Pikirkan sendiri. Kau harus sampai ke rumah itu jika tidak mau mati keracunan!” sahut Iblis Jelita tanpa menoleh lagi.
Ardo pun garuk-garuk bibirnya yang hitam dan bengkak seperti bibir karakter animasi gurita yang ikonik. (RH)
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
“Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin
Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter
“Dua puluh, Nyaiii!” teriak Ardo saat kepala dan wajahnya keluar dari dalam air sungai.Ardo telah menjadi seorang remaja tanggung yang tampan dan semakin berotot. Rambutnya pun semakin gondrong. Empat tahun telah berlalu. Benar dugaan Iblis Jelita, Ardo semakin dewasa semakin tampan.“Naiklah, ada tugas untukmu!” perintah Iblis Jelita yang saat itu sedang memilah dan memilih buah leunca.Dia memilah dan memilih buah untuk sayur itu bersama Ratu Senja. Namun, ada yang aneh dari kedua wanita dewasa itu.Setelah empat tahun berlalu, wajah keduanya semakin terlihat cantik dan lebih muda, seperti gadis berusia di bawah tiga puluh tahun, padahal usia mereka hampir kepala empat. Sepertinya mereka sukses berbagi resep awet muda yang mereka dapat dari burung sakti, yang hingga saat ini burung tersebut masih sehat bugar.Bruss! Jleg!Kini, Ardo tinggal melakukan lompatan untuk naik dari air sungai dan mendarat di lantai bambu rumah Iblis Jelita.Terlihatlah penampilan Ardo yang sudah bertubuh
Untuk naik ke rumah tinggi Iblis Sirih, Ardo Kenconowoto harus lewat pohon. Setelah ambil ancang-ancang, Ardo berlari naik seperti seekor kucing naik pohon. Gerakannya tidak berhenti menginjak satu dahan naik ke dahan lain, seiring satu tangannya berpegangan. Dia tahu-tahu sampai di lantai teras rumah Iblis Sirih.Dengan berada di teras, Ardo bisa melihat seorang lelaki berusia empat puluh sembilan tahun sedang duduk bersila sambil menulis dengan lidi di lembaran daun sirih.“Sembah holmatku, Gulu,” ucap Ardo sembari menjura hormat di teras.“Apa yang kau bawa, Ardo?” tanya Iblis Sirih tanpa menoleh kepada anak itu.“Sayul nangka muda, Gulu,” jawab Ardo sambil menunjukkan bingkisannya.“Kau yang memasaknya?” tanya Iblis Sirih, kali ini dia menengok kepada Ardo.“Bukan aku, tapi Nyai Sakti,” jawab Ardo.“Itu baru bagus. Kemarikan. Jika kau yang buat, pasti tidak enak,” kata Iblis Sirih sumringah.Ardo pun masuk dan memberikan bingkisan yang dibawanya kepada Iblis Sirih yang tidak berju
Anggar Sukolaga dan Aninda Maya berjalan menuntun kudanya di antara kios-kios para pedagang pasar Gampartiga. Pasar itu memiliki jalan pembelah yang lebar, sehingga orang berkuda pun bisa leluasa berburu belanjaan.Beruntungnya para pedagang di pasar itu, pengunjung pasar selalu ramai dari pagi hingga sore. Pagi adalah puncak ramainya.Saat itu masih siang menuju sore. Sambil berjalan, Anggar Sukolaga memandang ke berbagai arah pasar. Pandangannya jauh-jauh, seperti mencari sesuatu yang tertentu, bukan bermaksud berbelanja. Sementara Aninda memerhatikan berbagai dagangan yang digelar, barang-barang yang tidak ada tersedia di rumah.Anggar Sukolaga akhirnya melihat apa yang dicarinya, yaitu ikatan kain merah di tiang sebuah saung sederhana di ujung sudut pasar. Posisi saung itu agak tinggi karena dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah pasar yang rata.“Aninda, Ayah ingin menemui teman Ayah di saung sudut pasar sana,” kata Anggar Sukolaga kepada putri cantiknya. Keterangan
Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw
Pendekar kerajaan yang bernama Perwira Hidung Baja berdiri gagah menghadang Ardo Kenconowoto dan Iblis Jelita yang berbagi satu punggung kuda. Mentang-mentang kedua jagoan itu sudah terluka parah, Perwira Hidung Baja baru muncul setor hidung.“Turun dan menyeraaakh!” seru Perwira Hidung Baja yang berujung jeritan seiring tubuhnya terlempar jauh ke samping.Tiba-tiba muncul sosok gemuk Iblis Satu Kaki yang datang melesat dari samping kiri secepat rudal jet tempur. Dia langsung menabrak tubuh Perwira Hidung Baja tanpa rem. Karena itulah Perwira Hidung Baja terpental pergi dari depan kuda Iblis Jelita.Tabrakan dahsyat itu mengejutkan semua orang. Perwira Hidung Baja menghantam keras tanah lembah yang hangus dan berguling-guling.Agar tidak malu, meski sudah terlanjur malu, Perwira Hidung Baja buru-buru bangkit berdiri. Untung wajahnya hitam oleh noda arang rumput lembah yang sebelumnya dibakar oleh Pendekar Raja Neraka, jadi malunya cukup tertutupi.“Frukrr!” Perwira Hidung Baja malah m
Blar blar blar…!Ketika tangan Nini Lanting yang bersinar putih menyilaukan ditusukkan ke arah langit, maka tanah sekitar dirinya dan termasuk di posisi Iblis Jelita berdiri meledak.Tanah-tanah berumput terbongkar mengudara. Namun, ketika ilmu Kiamat Kecil itu terjadi, sosok Iblis Jelita menghilang di mata para penonton biasa. Menghilangnya Iblis Jelita diikuti gerak wajah si nenek yang memandang ke langit.Dari arah langit meluncur cepat sosok Iblis Jelita dengan posisi kepala dan tangan di bawah, kedua kaki lurus di atas. Pada ujung tangannya yang menempel lurus ada sinar ungu dan hitam yang saling membaur tanpa saling menguasai. Arahnya tepat ke atas kepala Nini Lanting.Serangan Iblis Jelita dengan ilmu Totok Bumi level grand master itu datang sangat cepat. Tanpa pikir ulang, Nini Lanting menyambut lawannya dengan satu hentakan telapak tangan yang bersinar putih menyilaukan.Buooom!Pertemuan dua kesaktian itu menciptakan ledakan energi yang dahsyat. Tanah di sekitar mereka kemba
Srosss!“Aaakk…!”Dua serangan tapak membara yang mendarat di dadanya, membuat pikiran Ki Lagak sejenak blank dalam mengendalikan puluhan pedang sinar biru. Padahal rombongan energi ilmu Pedang Beranak Seribu itu sedang melesat mengarah Ratu Senja yang notabene ada di depannya.Maka, dengan lenyapnya sosok Ratu Senja, jadi justru sebagian pedang sinar biru menusuki tubuh Ki Lagak.Setelah Ki Lagak ditusuki oleh pedang-pedang energi miliknya sendiri, tahu-tahu Ratu Senja muncul lagi seperti dedemit caper di depan Ki Lagak yang terhuyung kesakitan. Kemunculan Ratu Senja yang tanpa tawa atau suara, membuat Ki Lagak tidak menyadari untuk waktu sesaat.Suss!“Hahh!” kejut Ki Lagak ketika baru melihat keberadaan Ratu Senja yang sudah memegang sinar biru gelap Dari ilmu Penghancur Cinta.Bluar!“Hakkr!”Dalam jarak yang sangat dekat, Ratu Senja menghantamkan sinar biru di tangannya kepada Ki Lagak yang mustahil untuk menghindar jika tidak punya ilmu lenyap seperti lawannya. Jalan satu-satuny
Set set!Ternyata pedang biru bagus Ki Lagak bisa dibagi menjadi dua pedang kembar yang lebih tipis. Dengan ilmu pengendali, kedua pedang itu bisa diterbangkan seringan capung tapi secepat anak panah.Ratu Seja tidak menggunakan ilmu perisai semodel sahabatnya Iblis Jelita, tetapi dia menggunakan ilmu Tinju Belut Peri. Ada yang ingat dengan ilmu ini?Kedatangan dua pedang yang sifatnya menusuk, cukup diadu dengan tinju kedua tangan Ratu Senja yang terlihat tinju biasa. Ketika pedang tinggal sejengkal jaraknya dari kepalan tangan janda awet itu, pedang akan melenceng arah, seperti terpeleset di lantai bersabun.Setelah terpeleset tanpa menyentuh tangan atau raga Ratu Senja, kedua pedang terus terbang dan berbalik atau berbelok arah yang tetap memburu tubuh indah Ratu Senja. Sepertinya Ki Lagak sudah terlalu tua, sehingga dia tega ingin menghancurkan keindahan yang lawannya miliki.Semua upaya serangan dua pedang kembar terbang gagal. Selalu terpeleset dan terpeleset lagi. Ki Lagak samp
Setelah pertarungan antara Ardo Kenconowoto berakhir dengan hasil berkurangnya satu anggota Keturunan Darah Emas, Nini Lanting semakin menggila dalam bertarung melawan Iblis Jelita.Begg! Pagg! Begg begg! Pagg pagg!Pukulan tinju dan telapak tangan yang bertenaga dalam tinggi dilancarkan menghantam dinding sinar ungu bening dari ilmu perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang, semakin tipis, semakin menerawang.Tinju pertama tidak menghancurkan dinding sinar ungu, tapi hantaman telapak tangan yang disusulkan kemudian menghancurkan dinding pertama.Nini Lanting kembali maju selangkah dan melancarkan dua pukulan beruntun untuk menghancurkan lapisan kedua. Namun, setelah itu Iblis Jelita kembali memunculkan ilmu perisai yang sama dengan sebelumnya, membuat Nini Lanting harus menghancurkan dua lapis perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang lagi.Suara hantaman pukulan kepada dinding perisai terdengar keras, membuat orang-orang yang mendengar bergetar hatinya. Bergetar bukan karena cinta, tapi bergetar ikut
Tubuh Ardo berguling melintasi api yang membakar rumput. Cepatnya gulingan tubuhnya membuat dia tidak sempat terbakar. Maklum pendekar saktinya sedang sibuk.Ardo cepat bangkit di antara kobaran api yang membakar lahan di mana-mana. Memang agak runyam jika melawan Pendekar Raja Neraka, api di mana-mana.Sosss!Belum sempurna fokus pandangan Ardo, serangan gelang-gelang sudah datang lagi.“Lelele…!” teriak Ardo sambil lari kencang ke samping, membuat serangan seperti selang api panjang itu hanya kian memperparah kebakaran lahan.Iblis Jelita yang bertarung sengit di sisi lain hanya tersenyum tipis saat mendengar lolongan Ardo, tanpa tertarik untuk melirik kepada murid dan calon suaminya itu.Ardo berlari kencang mengelilingi posisi Cukil Bugir.Sosss!Cukil Bugir kembali memburu Ardo dengan melesatkan barisan gelang-gelang api. Namun, Ardo seperti jagoan yang jika ditembak tidak kena-kena.Sing! Ctarr! Ses ses ses…!Setelah lolos lagi dari serangan, sambil terus berlari, Ardo melesatka
“Lelaki tampan mana yang kau pilih untuk dibunuh?” tanya Iblis Jelita kepada Ratu Senja sambil memandang kepada Ki Lagak dan Cukil Bugir. “Aku pilih Ki Lagak saja, agar yang suka marah-marah jatahnya Ardo,” jawab Ratu Senja sembari tersenyum semanis mangga matang di hati. “Tapi yang suka malah-malah namanya siapa, Nyai Latu?” tanya Ardo yang membuat ketiga calon lawan mereka tahu bahwa ternyata pemuda itu cadel. “Namanya Cukil Bugir, bergelar Pendekar Raja Neraka,” jawab Ratu Senja. “Oooh Cukil Bugil. Pendekal Laja Nelaka,” sebut ulang Ardo yang membuat Ratu Senja tersenyum lebar dan Cukil Bugir mendelik sewot. “Jangan coba-coba kau menyebut nama agungku lagi, Pemuda Cadel!” ancam Cukil Bugir yang tidak rela namanya beruba jadi mesum jika disebut oleh Ardo. “Tenang saja, Kek. Aku tidak akan menyebut nama Cukil Bugil lagi,” kata Ardo seraya tersenyum santun tapi menjengkelkan bagi Cukil Bugir. “Tapi kau masih menyebutnya!” bentak Cukir Bugir lalu…. Clap! Dak dak! Tiba-tiba ka
Iblis Jelita tetap di punggung Surami, berhadapan dalam jarak tiga tombak dengan kereta kuda putih yang diapit oleh Ki Lagak alias Pendekar Pedang Bersayap dan Cukil Bugir alias Pendekar Raja Neraka.Sementara empat murid berkuda Nini Lanting posisinya ada di belakang, seolah-olah mereka dilarang untuk turun tarung karena cukuplah yang tua-tua saja yang turun ke ambang kematian untuk memetik nyawa.Semua mata penonton yang berada di sekeliling area Lembah Jepit terpusat kepada mereka. Yang mereka tunggu jelas adegan tarung yang seru sampai ada yang tumbang bersimbah darah dan nyawa melayang.“Apakah Keturunan Darah Emas akan menghabiskan diri hanya di tangan seorang Iblis Jelita?” kata Iblis Jelita datar.“Kesombonganmu akan berakhir di sini, Iblis Jelita!” seru Pendekar Raja Neraka.“Hihihi! Berkaca tapi tidak pernah melihat wajah sendiri. Satu per satu Keturunan Darah Emas datang menantang menyombongkan diri. Pendekar Pedang Kayu saja mempermalukan diri di tangan muridku, pendekar y