Share

8. Iblis Sirih

Penulis: Rudi Hendrik
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-02 14:29:29

Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.

Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.

Jleg!

Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.

Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibirnya, tapi bukan darah.

Dia terbilang gagah dengan cara melangkahnya. Dada dan bahunya tegak.

Lelaki itu membawa semangkuk daun sirih yang direndam air. Setelah melirik sejenak kepada kedatangan Iblis Jelita, lelaki itu duduk di balai-balai bambu.

“Apa yang kau lakukan di rumahku, Kakang Iblis Sirih?” tanya Iblis Jelita dengan menyebut nama lengkap si lelaki, yaitu Iblis Sirih.

“Hanya menumpang makan sirih,” kata Iblis Sirih enteng, yang ketika berbicara terlihat jelas cairan merah di giginya.

“Hampir sepanjang hari kau menginang. Istilah dari mana itu ‘menumpang makan sirih’?” kata Iblis Jelita, sambil lewat dan masuk ke dalam rumahnya.

“Anak siapa yang kau bawa itu?” tanya Iblis Sirih kepo. Dia melihat Ardo Kenconowoto sedang merangkak bergelantungan di titian tali dengan kedua kaki juga mengait. Mirip personel militer sedang latihan, bukan mirip monyet.

Meski mendengar pertanyaan kakak seperguruannya,tetapi wanita cantik itu tidak langsung menjawab. Dia mengambil sebutir pil dari dalam tabung kayu yang memang adalah tempat obat.

Iblis Jelita keluar lagi. Dia berdiri sambil memandang perjuangan Ardo yang bergerak seperti ulat bulu.

“Dia pelayan baruku. Anak miskin di ibu kota Gampartiga. Namanya Ardo. Dia anak yang berbakti kepada ibunya, pekerja keras, pelari kencang. Dan yang terpenting, nanti besarnya dia akan menjadi lelaki yang tampan,” jawab Iblis Jelita.

“Apa rasanya anak sekecil itu?” tanya Iblis Sirih.

“Aku akan membesarkannya sehingga dia pantas untukku,” jawab Iblis Jelita.

“Dari getar suaramu, menunjukkan kau terluka. Apakah kau terluka saat melawan Nyai Wetong?”

“Luka ringan. Aku tidak melihatmu saat aku membunuh janda itu.”

“Aku mendapat kabar saja.”

“Cepat sekali berita itu menyebar.”

“Aku punya beberapa telinga sukarela yang suka membawakan kabar penting kepadaku tanpa minta dibayar.”

“Tapi minta perlindungan cuma-cuma sewaktu-waktu?” terka Iblis Jelita.

“Itu namanya berbuat baik kepada orang dekat.”

“Katanya, kalian meributkan burung suami Nyai Wetong?”

“Hampir lima purnama kau tidak datang ke sini, tapi tiba-tiba datang. Apakah hanya untuk menanyakan kebenaran tentang burung suami Nyai Wetong?”

“Cuih! Ya, seperti itulah,” jawab Iblis Sirih santai setelah dia meludahkan ampas sirihnya ke air sungai yang mengalir.

“Lihat itu!” tunjuk Iblis Jelita kepada satu tiang bambu yang di atasnya menggantung sebuah sangkar burung, tanpa burung.

Iblis Sirih memandang sangkar yang dimaksud.

“Dua purnama lamanya aku memelihara burung suami Nyai Wetong, sampai dia bertelur dua kali. Aku rasa, meski kau memiliki ‘burung dan telur’, kau tidak tahu banyak tentang burung itu. Aku tidak tahu nama jenisnya, tetapi itu burung sakti,” kata Iblis Jelita.

“Lalu burungnya di mana?”

“Sedang dipelihara Ratu Senja. Dia juga mengincar telurnya, tetapi dia belum tahu cara membuat burung itu bertelur.”

“Menarik. Ternyata ada burung sakti. Telurnya pasti memiliki keistimewaan.”

“Nyai Sakti, aku sudah tidak kuaaat!” teriak Ardo tiba-tiba dengan posisi bergelantungan di titian dengan dua tangannya, sementara kedua kakinya menggantung setengah depa dari permukaan air sungai. Wajahnya yang sudah bengkak mengerenyit menahan payah.

“Kakimu bisa dimakan buaya!” sahut Iblis Jelita

“Aaak!” pekik Ardo sambil tiba-tiba dia punya kekuatan untuk menaikkan kembali kedua kakinya mengait di tambang. Dia menjerit bukan karena kesakitan, tapi karena ketakutan.

Namun, Ardo tetap tidak bisa bergerak maju. Padahal jarak tubuhnya dengan pingiran lantai bambu sudah dekat.

“Aku tidak akan menolongmu. Berjuanglah sendiri,” kata Iblis Jelita.

“Aduh, Nyaiii!” keluh Ardo meringis. Jika dia sudah mengeluh, pastilah kondisinya memang sudah sangat payah.

Akhirnya, Ardo memilih mematung seperti itu ditambang seperti jemuran. Sepertinya dia diam untuk mengumpulkan sedikit tenaga.

“Jika dia bertelur, berarti burungnya betina. Jika beranak, berarti burungnya lelaki,” kata Iblis Sirih kembali ke topik burung. Sepertinya dia masih penasaran tentang perkara burung itu.

“Omongan macam apa itu?” ucap Iblis Jelita sembari tersenyum kecil.

“Lalu apa istimewanya burung itu?”

“Awet muda.”

“Kau tahu dari mana?”

“Lihat saja Pendekar Tabur Bunga, mati dengan raga masih seperti pemuda, padahal usianya jelas sudah tua. Itu karena khasiat telur burungnya....”

“Apakah cukup dengan dua telur sehingga burung itu kau berikan kepada Ratu Senja?” tanya Iblis Siri memotong.

“Tidak. Aku hanya menghindari tuduhan Nyai Wetong, meski pada akhirnya dia mati di tanganku. Namun, sebentar lagi orang-orang yang menginginkan burung itu akan datang mengeroyok Ratu Senja.”

“Bagaimana jika burung itu mati?”

“Itu burung sakti. Kau tahu, burung itu usianya sudah berapa lama? Lebih dua puluh tahun. Dia kebal terhadap senjata tajam....”

“Itu burung sungguhan atau burung lelaki?” potong Iblis Sirih seakan tidak percaya.

“Kalau kau tidak percaya, datangilah Ratu Senja, bandingkan burung itu dengan milikmu,” tandas Iblis Jelita.

“Lalu bagaimana kau bisa tahu semua tentang burung itu, padahal jenisnya saja kau tidak tahu?”

“Aku tahu dari pemiliknya, Pendekar Tabur Bunga.”

“Jadi kau pernah tidur dengan suami Nyai Wetong itu?”

“Ya, selama dua pekan. Makanya dia mau bercerita tentang burung saktinya itu. Tidak apa-apa kalau kau membocorkan kepada istrinya,” kata Iblis Jelita.

“Nanti kalau aku mati juga, aku laporkan perselingkuhan suaminya dengan dirimu,” seloroh Iblis Sirih tanpa tawa.

“Lihatlah anak itu, tekadnya sangat tinggi,” kata Iblis Jelita.

Iblis Sirih kembali memandang kepada Ardo Kenconowoto yang kembali bergerak merayap di tambang, setelah ada sedikit tenaga yang terbangun dari keterdiamannya. Hingga akhirnya, kedua kakinya mengulur turun dan berpijak pada pinggiran lantai bambu.

“Eek!” pekik Ardo ketika dia melepas pegangannya dari tambang, dia justru oleng dan keseimbangannya hilang.

Dia hendak jatuh ke arah sungai dengan kedua tangan merentang mencoba jaga keseimbangan. Namun, tubuhnya tetap lebih condong ke arah sungai.

“Nyai Saktiii!” teriak Ardo saat tidak sanggup mempertahankan keseimbangannya.

Set! Clak! Brak!

Tiba-tiba Iblis Sirih melesatkan selembar daun sirihnya yang bisa terbang secepat anak panah. Daun itu menempel keras di jidat Ardo, sampai-sampai suara tempelannya terdengar nyaring seperti bantingan kartu gaple. Tanpa jeda, Iblis Sirih menarik dua jarinya yang merapat.

Tubuh Ardo yang sudah bergerak jatuh ke belakang hendak jatuh ke air sungai, mendadak bangun ke depan seperti vampir Tiongkok bangun dari mati. Namun, setelah berdiri lagi, tubuh Ardo langsung terbanting tengkurap di lantai bambu.

Meski menderita sakit, terutama pada wajahnya yang bengkak-bengkak, Ardo buru-buru bangkit dan bersujud. Dia tahu bahwa dirinya ditolong sehingga batal tercebur.

“Telima kasih, Nyai! Telima kasih, Nyai!” ucap Ardo dalam sujudnya. Dia kira majikannyalah yang menolongnya.

“Bukan aku, tapi Iblis Sirih yang mengangkatmu,” ralat Iblis Jelita.

“Telima kasih, Kakang Iblis Silih! Terima kasih, Kakang Iblis Silih!” ucap Ardo kian kencang, sambil mengantuk-antukkan jidatnya di lantai.

Iblis Sirih terbeliak mendengar kecadelan Ardo yang sangat jelas. Jelas cadelnya. Dia bisa langsung membayangkan kondisi Ardo di tengah masyarakat. Dia menduga kuat bahwa anak itu pasti menderita banyak perundungan dari teman-temannya atau orang dewasa. Bayangan itu membuat Iblis Sirih menyimpan satu poin rasa iba kepada anak itu.

Dalam hati dia ada ketertarikan kepada Ardo. Dia menyepakati penilaian adik seperguruannya bahwa anak itu seorang pekerja keras yang pantang menyerah, padahal kondisinya sedang keracunan.

“Jangan panggil aku Kakang Iblis Sirih. Panggil aku Guru!” hardik Iblis Sirih.

“Hah?” Ardo mengangkat wajahnya dan melongo mengenaskan kepada Iblis Sirih.

“Apa-apaan kau, Kakang. Tidak bisa!” hardik Iblis Jelita. “Anak ini milikku sepenuhnya!” (RH)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
barang bagus pasti jadi rebutan
goodnovel comment avatar
🅰️nny Maheswari
wah langsung jadi rebutan dia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pendekar Tiga Iblis   9. Kronologi Piara Burung

    Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-03
  • Pendekar Tiga Iblis   10. Satu Lawan Dua

    “Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-04
  • Pendekar Tiga Iblis   11. Burung Dibawa, Istri Melayang

    “Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-21
  • Pendekar Tiga Iblis   12. Kesepakatan Dua Wanita

    Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-22
  • Pendekar Tiga Iblis   13. Empat Tahun Kemudian

    “Dua puluh, Nyaiii!” teriak Ardo saat kepala dan wajahnya keluar dari dalam air sungai.Ardo telah menjadi seorang remaja tanggung yang tampan dan semakin berotot. Rambutnya pun semakin gondrong. Empat tahun telah berlalu. Benar dugaan Iblis Jelita, Ardo semakin dewasa semakin tampan.“Naiklah, ada tugas untukmu!” perintah Iblis Jelita yang saat itu sedang memilah dan memilih buah leunca.Dia memilah dan memilih buah untuk sayur itu bersama Ratu Senja. Namun, ada yang aneh dari kedua wanita dewasa itu.Setelah empat tahun berlalu, wajah keduanya semakin terlihat cantik dan lebih muda, seperti gadis berusia di bawah tiga puluh tahun, padahal usia mereka hampir kepala empat. Sepertinya mereka sukses berbagi resep awet muda yang mereka dapat dari burung sakti, yang hingga saat ini burung tersebut masih sehat bugar.Bruss! Jleg!Kini, Ardo tinggal melakukan lompatan untuk naik dari air sungai dan mendarat di lantai bambu rumah Iblis Jelita.Terlihatlah penampilan Ardo yang sudah bertubuh

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-22
  • Pendekar Tiga Iblis   14. Daun Pusaka

    Untuk naik ke rumah tinggi Iblis Sirih, Ardo Kenconowoto harus lewat pohon. Setelah ambil ancang-ancang, Ardo berlari naik seperti seekor kucing naik pohon. Gerakannya tidak berhenti menginjak satu dahan naik ke dahan lain, seiring satu tangannya berpegangan. Dia tahu-tahu sampai di lantai teras rumah Iblis Sirih.Dengan berada di teras, Ardo bisa melihat seorang lelaki berusia empat puluh sembilan tahun sedang duduk bersila sambil menulis dengan lidi di lembaran daun sirih.“Sembah holmatku, Gulu,” ucap Ardo sembari menjura hormat di teras.“Apa yang kau bawa, Ardo?” tanya Iblis Sirih tanpa menoleh kepada anak itu.“Sayul nangka muda, Gulu,” jawab Ardo sambil menunjukkan bingkisannya.“Kau yang memasaknya?” tanya Iblis Sirih, kali ini dia menengok kepada Ardo.“Bukan aku, tapi Nyai Sakti,” jawab Ardo.“Itu baru bagus. Kemarikan. Jika kau yang buat, pasti tidak enak,” kata Iblis Sirih sumringah.Ardo pun masuk dan memberikan bingkisan yang dibawanya kepada Iblis Sirih yang tidak berju

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-23
  • Pendekar Tiga Iblis   15. Gangguan di Pasar

    Anggar Sukolaga dan Aninda Maya berjalan menuntun kudanya di antara kios-kios para pedagang pasar Gampartiga. Pasar itu memiliki jalan pembelah yang lebar, sehingga orang berkuda pun bisa leluasa berburu belanjaan.Beruntungnya para pedagang di pasar itu, pengunjung pasar selalu ramai dari pagi hingga sore. Pagi adalah puncak ramainya.Saat itu masih siang menuju sore. Sambil berjalan, Anggar Sukolaga memandang ke berbagai arah pasar. Pandangannya jauh-jauh, seperti mencari sesuatu yang tertentu, bukan bermaksud berbelanja. Sementara Aninda memerhatikan berbagai dagangan yang digelar, barang-barang yang tidak ada tersedia di rumah.Anggar Sukolaga akhirnya melihat apa yang dicarinya, yaitu ikatan kain merah di tiang sebuah saung sederhana di ujung sudut pasar. Posisi saung itu agak tinggi karena dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah pasar yang rata.“Aninda, Ayah ingin menemui teman Ayah di saung sudut pasar sana,” kata Anggar Sukolaga kepada putri cantiknya. Keterangan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-23
  • Pendekar Tiga Iblis   16. Perkelahian Anak Muda

    Plok plok plok!“Wah wah wah! Anak cadel bisa jadi pahlawan sekarang. Hebaaat!”Tepukan tangan dan pujian yang bernada mengejek itu membuat Ardo Kenconowoto dan Aninda Maya menengok ke sumber suara. Mereka melihat Anoman, Gugusan dan Kuncung berjalan mendekat sambil tepuk tangan dan tersenyum mengejek.“Jangan berbuat jahat lagi kau, Anoman. Atau aku akan bertarung melawan kalian!” ancam Aninda Maya sambil memegangi tali kendali kudanya yang baru saja diserahkan oleh Ardo.“Aku takuuut! Hahaha!” ucap Anoman dengan mimik pura-pura takut tapi serius mengejek dan tertawa bersama dua sahabatnya.“Kami sudah selesai denganmu, Aninda. Urusan kami sekarang dengan si cadel itu,” kata Gugusan lalu menunjuk wajah Ardo yang hanya diam memandangi ketiga orang yang suka mem-bully-nya.“Walaupun dengan Aldo!” sentak Aninda mendelik marah, kian membuat kecantikan gadis itu menarik untuk diganggu.“Aldo? Hahaha...!” Anoman tertawa kencang yang diikuti oleh tawa Gugusan dan Kuncung yang sama-sama meny

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-23

Bab terbaru

  • Pendekar Tiga Iblis   113. TAMAT

    Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw

  • Pendekar Tiga Iblis   112. Menyelamatkan Sepasang Kekasih

    Pendekar kerajaan yang bernama Perwira Hidung Baja berdiri gagah menghadang Ardo Kenconowoto dan Iblis Jelita yang berbagi satu punggung kuda. Mentang-mentang kedua jagoan itu sudah terluka parah, Perwira Hidung Baja baru muncul setor hidung.“Turun dan menyeraaakh!” seru Perwira Hidung Baja yang berujung jeritan seiring tubuhnya terlempar jauh ke samping.Tiba-tiba muncul sosok gemuk Iblis Satu Kaki yang datang melesat dari samping kiri secepat rudal jet tempur. Dia langsung menabrak tubuh Perwira Hidung Baja tanpa rem. Karena itulah Perwira Hidung Baja terpental pergi dari depan kuda Iblis Jelita.Tabrakan dahsyat itu mengejutkan semua orang. Perwira Hidung Baja menghantam keras tanah lembah yang hangus dan berguling-guling.Agar tidak malu, meski sudah terlanjur malu, Perwira Hidung Baja buru-buru bangkit berdiri. Untung wajahnya hitam oleh noda arang rumput lembah yang sebelumnya dibakar oleh Pendekar Raja Neraka, jadi malunya cukup tertutupi.“Frukrr!” Perwira Hidung Baja malah m

  • Pendekar Tiga Iblis   111. Nini Lanting Hidup Lagi

    Blar blar blar…!Ketika tangan Nini Lanting yang bersinar putih menyilaukan ditusukkan ke arah langit, maka tanah sekitar dirinya dan termasuk di posisi Iblis Jelita berdiri meledak.Tanah-tanah berumput terbongkar mengudara. Namun, ketika ilmu Kiamat Kecil itu terjadi, sosok Iblis Jelita menghilang di mata para penonton biasa. Menghilangnya Iblis Jelita diikuti gerak wajah si nenek yang memandang ke langit.Dari arah langit meluncur cepat sosok Iblis Jelita dengan posisi kepala dan tangan di bawah, kedua kaki lurus di atas. Pada ujung tangannya yang menempel lurus ada sinar ungu dan hitam yang saling membaur tanpa saling menguasai. Arahnya tepat ke atas kepala Nini Lanting.Serangan Iblis Jelita dengan ilmu Totok Bumi level grand master itu datang sangat cepat. Tanpa pikir ulang, Nini Lanting menyambut lawannya dengan satu hentakan telapak tangan yang bersinar putih menyilaukan.Buooom!Pertemuan dua kesaktian itu menciptakan ledakan energi yang dahsyat. Tanah di sekitar mereka kemba

  • Pendekar Tiga Iblis   110. Gerbang Senja Merah

    Srosss!“Aaakk…!”Dua serangan tapak membara yang mendarat di dadanya, membuat pikiran Ki Lagak sejenak blank dalam mengendalikan puluhan pedang sinar biru. Padahal rombongan energi ilmu Pedang Beranak Seribu itu sedang melesat mengarah Ratu Senja yang notabene ada di depannya.Maka, dengan lenyapnya sosok Ratu Senja, jadi justru sebagian pedang sinar biru menusuki tubuh Ki Lagak.Setelah Ki Lagak ditusuki oleh pedang-pedang energi miliknya sendiri, tahu-tahu Ratu Senja muncul lagi seperti dedemit caper di depan Ki Lagak yang terhuyung kesakitan. Kemunculan Ratu Senja yang tanpa tawa atau suara, membuat Ki Lagak tidak menyadari untuk waktu sesaat.Suss!“Hahh!” kejut Ki Lagak ketika baru melihat keberadaan Ratu Senja yang sudah memegang sinar biru gelap Dari ilmu Penghancur Cinta.Bluar!“Hakkr!”Dalam jarak yang sangat dekat, Ratu Senja menghantamkan sinar biru di tangannya kepada Ki Lagak yang mustahil untuk menghindar jika tidak punya ilmu lenyap seperti lawannya. Jalan satu-satuny

  • Pendekar Tiga Iblis   109. Pedang Beranak Seribu

    Set set!Ternyata pedang biru bagus Ki Lagak bisa dibagi menjadi dua pedang kembar yang lebih tipis. Dengan ilmu pengendali, kedua pedang itu bisa diterbangkan seringan capung tapi secepat anak panah.Ratu Seja tidak menggunakan ilmu perisai semodel sahabatnya Iblis Jelita, tetapi dia menggunakan ilmu Tinju Belut Peri. Ada yang ingat dengan ilmu ini?Kedatangan dua pedang yang sifatnya menusuk, cukup diadu dengan tinju kedua tangan Ratu Senja yang terlihat tinju biasa. Ketika pedang tinggal sejengkal jaraknya dari kepalan tangan janda awet itu, pedang akan melenceng arah, seperti terpeleset di lantai bersabun.Setelah terpeleset tanpa menyentuh tangan atau raga Ratu Senja, kedua pedang terus terbang dan berbalik atau berbelok arah yang tetap memburu tubuh indah Ratu Senja. Sepertinya Ki Lagak sudah terlalu tua, sehingga dia tega ingin menghancurkan keindahan yang lawannya miliki.Semua upaya serangan dua pedang kembar terbang gagal. Selalu terpeleset dan terpeleset lagi. Ki Lagak samp

  • Pendekar Tiga Iblis   108. Sepuluh Kepala Hantu

    Setelah pertarungan antara Ardo Kenconowoto berakhir dengan hasil berkurangnya satu anggota Keturunan Darah Emas, Nini Lanting semakin menggila dalam bertarung melawan Iblis Jelita.Begg! Pagg! Begg begg! Pagg pagg!Pukulan tinju dan telapak tangan yang bertenaga dalam tinggi dilancarkan menghantam dinding sinar ungu bening dari ilmu perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang, semakin tipis, semakin menerawang.Tinju pertama tidak menghancurkan dinding sinar ungu, tapi hantaman telapak tangan yang disusulkan kemudian menghancurkan dinding pertama.Nini Lanting kembali maju selangkah dan melancarkan dua pukulan beruntun untuk menghancurkan lapisan kedua. Namun, setelah itu Iblis Jelita kembali memunculkan ilmu perisai yang sama dengan sebelumnya, membuat Nini Lanting harus menghancurkan dua lapis perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang lagi.Suara hantaman pukulan kepada dinding perisai terdengar keras, membuat orang-orang yang mendengar bergetar hatinya. Bergetar bukan karena cinta, tapi bergetar ikut

  • Pendekar Tiga Iblis   107. Taktik Kemenangan

    Tubuh Ardo berguling melintasi api yang membakar rumput. Cepatnya gulingan tubuhnya membuat dia tidak sempat terbakar. Maklum pendekar saktinya sedang sibuk.Ardo cepat bangkit di antara kobaran api yang membakar lahan di mana-mana. Memang agak runyam jika melawan Pendekar Raja Neraka, api di mana-mana.Sosss!Belum sempurna fokus pandangan Ardo, serangan gelang-gelang sudah datang lagi.“Lelele…!” teriak Ardo sambil lari kencang ke samping, membuat serangan seperti selang api panjang itu hanya kian memperparah kebakaran lahan.Iblis Jelita yang bertarung sengit di sisi lain hanya tersenyum tipis saat mendengar lolongan Ardo, tanpa tertarik untuk melirik kepada murid dan calon suaminya itu.Ardo berlari kencang mengelilingi posisi Cukil Bugir.Sosss!Cukil Bugir kembali memburu Ardo dengan melesatkan barisan gelang-gelang api. Namun, Ardo seperti jagoan yang jika ditembak tidak kena-kena.Sing! Ctarr! Ses ses ses…!Setelah lolos lagi dari serangan, sambil terus berlari, Ardo melesatka

  • Pendekar Tiga Iblis   106. Tarung Lembah Jepit Mulai

    “Lelaki tampan mana yang kau pilih untuk dibunuh?” tanya Iblis Jelita kepada Ratu Senja sambil memandang kepada Ki Lagak dan Cukil Bugir. “Aku pilih Ki Lagak saja, agar yang suka marah-marah jatahnya Ardo,” jawab Ratu Senja sembari tersenyum semanis mangga matang di hati. “Tapi yang suka malah-malah namanya siapa, Nyai Latu?” tanya Ardo yang membuat ketiga calon lawan mereka tahu bahwa ternyata pemuda itu cadel. “Namanya Cukil Bugir, bergelar Pendekar Raja Neraka,” jawab Ratu Senja. “Oooh Cukil Bugil. Pendekal Laja Nelaka,” sebut ulang Ardo yang membuat Ratu Senja tersenyum lebar dan Cukil Bugir mendelik sewot. “Jangan coba-coba kau menyebut nama agungku lagi, Pemuda Cadel!” ancam Cukil Bugir yang tidak rela namanya beruba jadi mesum jika disebut oleh Ardo. “Tenang saja, Kek. Aku tidak akan menyebut nama Cukil Bugil lagi,” kata Ardo seraya tersenyum santun tapi menjengkelkan bagi Cukil Bugir. “Tapi kau masih menyebutnya!” bentak Cukir Bugir lalu…. Clap! Dak dak! Tiba-tiba ka

  • Pendekar Tiga Iblis   105. Calon Suami Datang

    Iblis Jelita tetap di punggung Surami, berhadapan dalam jarak tiga tombak dengan kereta kuda putih yang diapit oleh Ki Lagak alias Pendekar Pedang Bersayap dan Cukil Bugir alias Pendekar Raja Neraka.Sementara empat murid berkuda Nini Lanting posisinya ada di belakang, seolah-olah mereka dilarang untuk turun tarung karena cukuplah yang tua-tua saja yang turun ke ambang kematian untuk memetik nyawa.Semua mata penonton yang berada di sekeliling area Lembah Jepit terpusat kepada mereka. Yang mereka tunggu jelas adegan tarung yang seru sampai ada yang tumbang bersimbah darah dan nyawa melayang.“Apakah Keturunan Darah Emas akan menghabiskan diri hanya di tangan seorang Iblis Jelita?” kata Iblis Jelita datar.“Kesombonganmu akan berakhir di sini, Iblis Jelita!” seru Pendekar Raja Neraka.“Hihihi! Berkaca tapi tidak pernah melihat wajah sendiri. Satu per satu Keturunan Darah Emas datang menantang menyombongkan diri. Pendekar Pedang Kayu saja mempermalukan diri di tangan muridku, pendekar y

DMCA.com Protection Status