Indra berjalan menuruni Pasir Gede sembari bersiul riang, dia memang belum pernah mengikuti sayembara silat sebelumnya. Tapi dia sangat percaya diri dengan kemampuannya, dia yakin bahwa akan pulang dengan membawa kemenangan serta seribu koin emas sebagai hadiahnya.
“Mereka pasti senang kalau aku pulang dengan uang banyak. Seribu koin emas, bisa beli berapa ekor sapi ya Hihi..” ujar Indra sambil terus membayangkan wajah murid perguruan Dharmabuana lainnya kalau mereka tahu dia membawa seribu koin emas.
Indra terus berjalan menyusuri Desa Panuntungan menuju arah selatan dimana Desa Legokpare berada. Tidak memerlukan waktu lama bagi Indra untuk sampai di Desa Legokpare, kini dia sudah sampai di jalan desa. Tampak banyak sekali pernak pernik berwarna warni di jalanan yang kemungkinan bekas penyambutan Adipati Mangkuwira beserta rombongannya.
“Maaf Mang, kalau sayembara silat di mana yah?” tanya Indra kepada seorang pria paruh baya yang sedang menanggung singkong.
“Saya juga nggak tahu Jang, nih saya bawa singkong buat dijual di acara sayembara. Ujang mau?” tanya pria itu sambil menunjuk singkong yang dia bawa.
“Nggak deh Mang, saya soalnya tiap hari makan singkong, di hutan sebelah barat Pasir Gede ada kebun singkong luaass.. banget. Nah biasanya saya suka ambil di sana Mang, singkongnya juga gede-gede,” tukas Indra sambil mengacungkan jempolnya.
“Ooh.. jadi kamu yang suka nyuri singkong saya teh? Ketahuan siah!” bentak tukang singkong sambil mengambil sebuah singkong yang paling besar.
“Eh?” Indra kaget karena dia tidak tahu kalau ternyata pria paruh baya itu adalah pemilik kebun singkong yang sering dia makan.
‘Ggbuuk’
‘Gbbukk’
“Ampun Mang. Ampun.. saya nggak akan ngambil banyak lagi Mang.. ampun, saya nggak tahu kalau itu punya Mamang,” kata Indra sambil meringis, tubuhnya terus digebuki oleh tukang singkong menggunakan singkong dagangannya.
“Tahu rasa siah! Kalau mau ngambil ngomong dulu!” tegas tukang singkong sambil terus menghantam tubuh Indra, orang-orang yang ada di sana langsung memandang mereka berdua.
“Iya Mang, iya. Mulai sekarang saya minta singkong satu aja ya tiap harinya,” tukas Indra yang terus berguling-guling di tanah jalanan sembari menerima pukulan demi pukulan dari tukang singkong.
“Nah gitu atuh, saya juga bukan orang pelit! Boleh kalau mau ngambil tapi jangan banyak-banyak!” tukas tukang singkong yang akhirnya berhenti memukuli Indra karena sudah cape.
“Iya Mang, sekali lagi maaf,” ucap Indra dengan wajah bersalah.
“Iya, tapi bawain nih singkongnya sampai tempat sayembara!” jawab tukang singkong seraya menyerahkan tanggungannya.
Indra mau tidak mau akhirnya menanggung singkong milik pria paruh baya itu, setelah bertanya kepada beberapa orang di sana akhirnya mereka tahu kalau acara sayembara dilaksanakan di pesawahan yang ada di Desa Legokpare. Di musim kemarau memang kebanyakan sawah tidak ditanami padi kembali karena kurangnya curah hujan, selokan tempat irigasi sawah juga selalu kering kalau di musim kemarau.
“Sararingkong! Hayu atuh singkongnya akang eteh, murah meriah! Singkong istimewa, cocok buat dimakan,” teriak Indra ikut menawarkan singkong begitu mereka sampai di tempat sayembara.
Orang-orang Desa Legokpare berkumpul di sana untuk menyaksikan sayembara, warga desa sekitar juga ikut meramaikan acara yang dilaksanakan oleh Adipati Mangkuwira. Di tengah-tengah pesawahan terdapat sebuah sawah besar yang ditaburi jerami-jerami diatasnya. Kemungkinan itu adalah arena bertarung para pendekar yang mengikuti sayembara. Sementara di dekat arena bertarung ada sebuah panggung teduh sederhana namun dengan ukuran yang besar.
Di atas panggung tersebut duduk Sang Adipati beserta keluarganya, di samping kanan kirinya ada para pengawal mereka. Tiga orang pria kekar duduk di kursi yang ada di bawah panggung, kemungkinan mereka adalah para pendekar yang akan menjadi lawan para peserta sayembara.
“Saya pamit dulu ya Mang,” ucap Indra kepada pedagang singkong yang sedang sibuk melayani pembeli. Dia hanya mengangguk saja merespon perkataan Indra.
Indra langsung menuju ke kerumunan warga yang ingin menyaksikan sayembara, Indra terus merangsek masuk hingga akhirnya bisa sampai di barisan paling depan kerumunan. Di atas panggung tepatnya di sebelah Adipati tampak seorang wanita cantik nan anggun sedang duduk manis menghadap kerumunan warga, Indra pikir mungkin dialah putri Adipati yang bernama Mira.
“Aduhai cantiknya,” ucap Indra berdecak kagum melihat sang putri Adipati, pandangannya kemudian tertuju kepada tiga pendekar yang duduk dibawah panggung.
“Bukannya mang Juha tadi bilang empat pendekar ya? Dimana satu lagi?” batin Indra.
Seorang pria dari panggung turun lalu maju ke tengah-tengah arena, dia mulai membuka acara sayembara. Dan seperti yang Juha katakan kepada Indra, Adipati Mangkuwira akan memberikan pemenang sayembara hadiah seribu keping emas beserta dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mira Mangkuwira, tapi syaratnya adalah mengalahkan empat orang pendekar yang dibawa oleh Adipati.
Semua orang di tempat itu tampak saling memandang karena yang mereka lihat hanya ada tiga pendekar saja yang duduk di kursi. Sang pembawa acara juga menjelaskan bahwa para pendekar hanya diperbolehkan menggunakan gerakan beladiri saja tanpa menggunakan ilmu kanuragan, peserta juga boleh menggunakan senjata kayu yang disediakan panitia. Peserta dinyatakan menang jika lawannya mengaku kalah, tidak sadarkan diri atau keluar dari arena pertarungan.
“Silahkan bagi yang ingin menjadi peserta pertama, maju ke depan!” tukas pembawa acara sambil menyingkir menjauhi arena pertarungan.
Sekilas Indra melihat seorang wanita yang memakai caping di kepalanya tampak bergerak hendak maju, tapi seorang pria dari belakang kerumunan melompat di udara dan menapak di arena pertarungan. Alih-alih memperhatikan pendekar pertama yang maju, justru tatapan Indra tertuju kepada wanita cantik yang tadi hendak bergerak maju.
“Apa dia juga ingin mengikuti sayembara? Apa dia ingin menikahi putri Adipati?” pikir Indra heran, dia pikir mungkin wanita itu tidak normal.
“Sayang sekali, padahal dia terlihat begitu cantik,” ucap Indra sambil bergidik, dia kemudian keluar dari kerumunan karena merasa gerah. Indra melihat ada kerumunan orang berbaju rapi sedang duduk dibelakang kerumunan.
“Aku yakin dia akan kalah oleh pendekar pertama tuan Adipati,” terdengar suara seorang pria berbaju rapi sambil menyodorkan lima koin emas.
“Menurutku dia akan bertahan sampai pendekar ketiga,” timpal yang lainnya sambil meletakan lima koin emas. Indra langsung tersenyum lalu menghampiri mereka.
“Menurutku dia akan menang melawan pendekar pertama, tapi akan kalah oleh pendekar kedua,” celetuk Indra setelah berada di dekat mereka. Spontan saja para pria berbaju rapi itu menatap Indra.
“Siapa kau?” tanya seorang pria berbaju rapi seraya memperhatikan tubuh Indra dari ujung kaki hingga kepala.
“Kalian tidak mengenalku? Waduh kelihatannya kalian hanya pejudi kelas teri saja,” jawab Indra sembari menggelengkan kepalanya.
“Mau apa kau kemari?” tanya pria lainnya, dia terlihat sedikit tersinggung mendengar perkataan Indra tapi dia terlihat tidak mau gegabah karena melihat pakaian Indra yang seperti seorang pendekar.
“Ya jelas mau ikut taruhan lah,” jawab Indra cepat.
“Pendekar dilarang ikut, lagipula tampilan kere begitu mana punya duit,” ledek seorang pria berbaju rapi.
“Eh-eh, kalau aku memang pendekar kenapa aku tidak ikut berkumpul di dekat arena itu bersama pendekar lainnya? kebetulan saja hari ini aku memakai pakaian seperti ini. Lagipula buat apa pake baju rapi-rapi kalau penakut, ujung-ujungnya kalah juga,” balas Indra dengan meyakinkan. Sejenak pria-pria berbaju rapi itu saling memandang.
“Kalau begitu kau boleh ikut, tapi mana taruhanmu?” tanya seorang pria berbaju rapi dengan tatapan angkuh.
“Taruhan? Ooh.. ya, ya, kamu punya berapa koin emas disakumu?” tanya Indra.
“Lima puluh,” jawab pria yang ditanya Indra.
“Nah kalau begitu aku pinjam dua puluh lima. Jadi kita akan menaikan harganya ke dua puluh lima, bagaimana? Soalnya aku tidak terbiasa taruhan dengan harga rendah,” usul Indra.
“Hahaha.. kalau orang miskin sebaiknya pergi sana,” ejek seorang pria berbaju rapi.
“Wah, kalau takut sih bilang saja,” balas Indra.
“Kalau aku meminjamkan dua puluh lima koin emas, kalau kamu kalah mau bayar darimana?” tanya seorang pria berbaju rapi.
“Kalian tahu siapa pemilik kebun singkong paling luas yang ada di sebelah barat Pasir Gede?” bisik Indra dengan gaya meyakinkan.
“Kamu yang punya?” tanya pria di dekat Indra.
“Hihihi.. pantas saja kalian tidak tahu. Namaku Purwasena, nanti kalian bisa tanyakan kepada penduduk dekat Pasir Gede siapa pemilik kebun singkong yang luas itu. Sekarang ayo keluarkan saja koin emasnya,” tukas Indra sambil tertawa lebar. Pria itu saling memandang lalu mengeluarkan dua puluh lima koin emas, kini di depan mereka terkumpul dua ratus koin emas.
Tak lama kemudian pendekar yang pertama maju langsung bertarung dengan pendekar yang dibawa Adipati. Pertarungan yang cukup sengit hingga akhirnya sesuai dengan perkataan Indra, pendekar itu menang melawan pendekar pertama, tapi kalah oleh pendekar kedua. Tujuh pria berbaju rapi itu hanya tertegun saja, sementara Indra sambil tertawa segera mengambil dua ratus koin emas lalu memasukannya ke dalam kain di saku celananya.
“Hihihi.. terima kasih atas uangnya, sekarang aku pergi dulu untuk mengikuti sayembara,” ucap Indra sambil berjalan pergi.
“Hei kau! Jadi kau pendekar ya?” bentak seorang pria berbaju rapi.
“Pantas saja, kembalikan uang kami!” timpal yang lainnya. Indra lalu berbalik dan menjulurkan lidahnya.
“Lah yang bilang bukan pendekar siapa? Aku tadi cuma balik bertanya doang bukan menjawab kalau aku bukan pendekar. Makanya jangan main taruhan kalau nggak mau jatuh miskin!” ledek Indra. Seorang pria berbaju rapi langsung berlari hendak menghajarnya. Tapi Indra langsung melompat ke tengah arena, padahal pendekar pertama yang ikut sayembara itu masih sedang bersalaman dengan dua pendekar yang dibawa oleh Adipati.
“Wah kelihatannya pendekar kedua sudah tidak sabar,” ucap beberapa warga yang berkerumun. Sementara Indra hanya menjulurkan lidahnya dan memukul-mukul bokongnya ke arah para pria berbaju rapi yang tampak memakinya dari barisan belakang, tapi karena riuh para warga yang berkerumun makian mereka tidak sampai terdengar.
“Hahaha..” sontak saja warga yang berkerumun tertawa melihat tingkah lucu Indra, mereka pikir Indra bertingkah seperti itu hanya untuk menarik perhatian para penonton.
“Wah pendekar kedua ternyata sudah maju, silahkan pertarungan kedua dimulai!” ucap pembawa acara dari tepi lapangan.
Seorang pendekar pria yang dibawa Adipati langsung maju ke depan, dia bernama Sarmad. Tubuhnya tampak lebih tinggi dari Indra, mereka langsung memberikan salam khas pendekar dengan sebuah kepalan tangan kiri yang disatukan dengan telapak tangan kanan yang terbuka.
Indra menatap tajam lawan di depannya, mereka langsung memasang kuda-kuda gerakan silatnya. Indra melebarkan kaki kanannya ke depan, kepalan tangan kanannya di depan perut secara horizontal lalu telapak tangan kirinya yang terbuka berada di depan lehernya secara diagonal, tubuhnya juga agak membungkuk ke depan sebagai kuda-kuda awal gerakan silat khas perguruan Dharmabuana.
Bersambung…
Sarmad menjadi orang pertama yang maju menyerang Indra dengan melayangkan tinju tangan kanannya, tapi Indra dengan lincah segera menahan pukulan lawannya menggunakan telapak tangan kirinya. Indra tersenyum lalu memutar tubuhnya ke belakang, Sarmad terlihat meringis kesakitan karena tangannya yang digenggam Indra dipaksa ikut dengan gerakan Indra.Tapi Sarmad segera menghentakan satu kakinya ke tanah hingga tubuhnya terangkat ke atas, tapi cengkraman tangan Indra tidak lepas sedikitpun padahal Sarmad sudah menghentakan kakinya sekuat tenaga hingga kakinya kini sudah teracung ke atas sementara kepalanya masih dibawah. Indra lagi-lagi tersenyum lalu menarik tangan kanan Sarmad dan menghantamkannya ke tanah.‘Gggbbuukk’Terdengar suara benturan tubuh Sarmad menghantam tanah pesawahan yang sudah dilapisi jerami, Sarmad langsung meringis kesakitan. Tapi dia belum mengaku kalah, Sarmad segera memutarkan tubuhnya den
“Kau cukup hebat pendekar muda, kalau boleh tahu. Siapa namamu?” tanya Tara sambil membuat salam khas pendekar.“Nama saya Indra, kisanak juga kelihatannya pendekar tua yang hebat. Kalau boleh tahu siapa nama kisanak?” jawab Indra sambil tersenyum.“Namaku Tara, sayangnya aku tidak seperti Kusna dan Sarmad. Aku sudah cukup tua untuk mudah terpancing emosi,” tukas Tara sambil mulai memasang kuda-kuda.“Sayang sekali, kelihatannya akan sangat merepotkan,” kata Indra yang juga mulai memasang kuda-kuda khas perguruan Dharmabuana. Kali ini dia sadar tidak akan mudah mengalahkan lawannya, terlebih Tara memang terlihat lebih kuat dari Kusna dan Sarmad.Tara langsung maju dengan tinju tangan kanannya, Indra juga melakukan hal yang sama. Benturan dua tinju pendekar itu terdengar keras pertanda tangan mereka dialiri oleh tenaga dalam. Tatapan mereka beradu seolah
Semua orang di tempat itu tersentak kaget karena sang putri yang memakai pakaian mewah itu kini berdiri di tengah arena bersama dengan Indra. Tatapan Mira dengan tajam menatap Indra yang berdiri di depannya.“Di mana pendekar terakhirnya nona?” tanya Indra sambil tersenyum.“Kau sudah melihatnya sendiri sekarang,” jawab Mira dengan dingin.“Maksudnya? Ah jangan bilang kalau dia berbuat curang dengan menggunakan aji halimunan,” kata Indra sambil berjalan.“Tidak akan ada yang melanggar peraturan di sini, aku pendekar terakhir yang akan kau lawan!” tegas Mira sambil bertolak pinggang.“Tunggu sebentar nona, saya bingung. Jika nona pendekar terakhirnya, lalu siapa yang akan saya nikahi nanti?” tanya Indra dengan serius.“Kau tidak akan menikahi siapapun!” bentak Mira sambil melepas pakaian m
Tatapan Indra yang terus berlari sekuat tenaga terus tertuju kepada asap hitam yang masih membumbung tinggi dari puncak Pasir Gede. Semua warga Desa Legokpare yang melihat Indra hanya bisa keheranan karena Indra terlihat begitu buru-buru, entah kenapa sosok Lingga dan juga Braja mulai terbayang-bayang di pikirannya.“Lingga.. Kakek.. apa yang terjadi?” gumam Indra sambil terus melesat secepat kilat.Tak membutuhkan waktu lama akhirnya Indra sampai di Desa Panungtungan lalu melesat kembali ke kaki bukit, dengan lincah dia menapaki pucuk-pucuk pepohonan menuju ke puncak. Asap hitam yang membumbung masih terlihat mengepul, nafas Indra mulai memburu tapi bukan karena cape melainkan kegelisahannya yang semakin menjadi.‘Tap’Indra turun dari batang pohon setelah sampai di puncak Pasir Gede. Dengan nafas tersengal-sengal dia menatap sekelilingnya seakan tak percaya, kini puncak Pasi
Setelah mendengar pertanyaan Indra tersebut Juha menjelaskan sebenarnya dia dan beberapa warga lainnya sempat melihat ada sebelas orang pendekar aneh yang datang ke desa. Mereka bahkan bertanya tentang di mana Braja Ekalawya tinggal, mereka mengaku sebagai kenalan lama Braja Ekalawya karena itu Juha dan temannya langsung menunjuk ke puncak Pasir Gede.Indra dengan cepat langsung menanyakan ciri-ciri kesebelas orang tersebut, Juha terlihat langsung termenung mencoba mengingat wajah mereka kembali. Dia langsung mengatakan bahwa diantara sebelas pendekar itu ada seorang paruh baya dengan luka sayatan pedang memotong wajahnya secara diagonal dari dahi kiri ke dagu kanan. Diantara mereka juga ada seorang pria muda yang hanya memiliki tangan kanan saja karena tangan kirinya buntung, dia juga membawa pedang di pinggang kirinya.Diantara mereka juga ada seorang wanita muda nan cantik, penampilannya agak aneh karena terdapat banyak sekali jarum kecil
Pria sangar itu tampak sedikit meringis kesakitan saat Indra mencengkram tangannya, pria itu berusaha menghentakan tangannya agar lepas. Tapi cengkraman Indra terlalu kuat, pria itu langsung melayangkan tendangan kaki kanannya mengincar leher bagian kiri Indra. Namun dengan lincah Indra menunduk tanpa melepaskan cengkraman tangannya. Saat kaki pria itu sudah berada di atasnya Indra langsung berdiri kembali.Kini tubuh pria itu langsung menghadap ke belakang terbawa tendangannya yang mengenai angin, sementara tangan kanannya yang tadi di tarik ke bawah oleh Indra langsung berada diantara kedua kakinya tepat di selangkangannya. Mau tidak mau kini tubuh pria itu membungkuk membelakangi Indra dengan tangan kanannya yang ditarik oleh Indra yang berada di belakangnya.“Hekhh..” pekik Pria itu saat Indra menghentakan tangannya ke atas hingga lengan pria itu menghantam selangkangannya sendiri, raut wajahnya langsung meringis kesakitan.
“Iya dari wajah saja tuan pendekar memang sudah kelihatan baik, kebanyakan pendekar yang mampir kemari memang suka nggak jujur. Makan gorengan tiga ngakunya satu, padahal kan saya liatin juga. Malah kadang ada juga pendekar yang lewat terus ngambil singkong seenaknya dari kebun warga,” timpal bibi pemilik kedai dengan geram.“He.. hehe.. pendekar-pendekar kayak begitu memang merusak nama baik pendekar saja bi,” kata Indra seraya garuk-garuk kepala karena merasa sedikit tersindir perkataan si bibi.“Kalau boleh tau, kisanak ini sebenarnya dari perguruan mana ya? Pancasagara atau perguruan besar lainnya?” tanya si bibi yang terlihat penasaran.“Ouh, saya Indra dari perguruan Dharmabuana bi,” jawab Indra. Si bibi terlihat langsung mengerutkan keningnya karena baru kali ini mendengar nama perguruan yang disebutkan oleh Indra.“Aduh baru kali ini bibi
“Hahaha… sudah jelas kau komplotan perampok itu. Aku tahu kau sengaja mengarang ngarang nama perguruan apalah itu, soalnya kalau kau mengaku berasal dari perguruan besar yang terkenal pasti kami akan meminta buktinya. Padahal kalau kau mengaku berasal dari perguruan besar masuk akal saja kau punya uang banyak,” timpal pria yang membawa golok disertai gelak tawa diikuti warga lainnya.“Mungkin perguruannya ada di alam mimpi,” timpal yang lainnya sembari tertawa.“Atau mungkin memang ada perguruan begitu, tapi muridnya perampok semua,” imbuh yang lainnya.“Sudah aku bilang kalau aku bukan komplotan perampok itu, lagipula mana buktinya aku komplotan mereka?” bantah Indra yang terlihat mulai kesal lantaran nama perguruannya menjadi bahan tertawaan.“Lah itu buktinya, mana ada pendekar biasa bawa uang banyak begitu. Kalau kau memang bukan komplo
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari