“Hoam..” seorang pemuda yang bernama Indra Purwasena itu menguap lebar. Dengan santainya dia rebahan di atas sebuah dahan pohon kecil, meskipun tubuhnya lebih besar dari dahan pohon, namun anehnya dahan kecil itu mampu menopang tubuhnya.
Tiba-tiba saja sebuah cangkir bambu berisi air melesat tepat di atas wajahnya, cangkir itu terbalik hingga airnya tumpah. Namun sekejap mata Indra langsung menggenggam cangkir bambu itu dan menggunakannya untuk menadah air yang sudah menetes di udara. Tidak ada setetespun air dari cangkir itu yang jatuh ke tanah.
Baru saja Indra hendak meminum air dari cangkir itu tiba-tiba hembusan angin melesat ke arahnya, Indra melemparkan kembali cangkir itu ke udara. Dia langsung menggerakan tangannya untuk menghalau pukulan dari orang tak terlihat yang menyerangnya.
‘Dakh’
‘Degh’
Indra beberapa kali beradu pukulan di dahan kecil tempatnya terbaring tadi. Tiba-tiba saja di hadapannya kini sudah berdiri seorang kakek-kakek, dia tak lain adalah guru Indra yakni Braja Ekalawya. Indra hendak meraih kembali cangkir bambu yang tadi dia lemparkan, tapi Braja langsung menyerangnya lagi dengan pukulan.
Indra menahan pukulan gurunya dengan tangan kiri, lalu tubuhnya berputar dengan tangan kanan bertumpu ke dahan kecil yang dia pijak, sementara telapak kakinya menahan cangkir yang jatuh. Bersamaan dengan Indra yang bergerak memutar itu Braja langsung menghentakan kakinya ke dahan kecil tumpuan Indra.
“Wawawa..”
‘Bruk’
Indra jatuh ke tanah tepat setelah telapak kakinya menyentuh bagian bawah cangkir, kini air di dalam cangkir itu benar-benar tumpah di bajunya. Braja Ekalawya yang masih berdiri di dahan pohon kecil hanya tertawa puas melihat muridnya itu terbaring kesakitan di tanah.
“Guru ini jahat sekali. Menyerangku pakai ajian halimunan segala lagi,” gerutu Indra sambil mengusap usap bokongnya yang terasa sakit karena menghantam permukaan tanah.
“Hehehe.. anggap saja itu hukuman untuk orang malas sepertimu,” jawab Braja sambil terkekeh.
“Perasaan aku terus yang dihukum,” gerutu Indra sambil berdiri.
“Ya memang kau satu-satunya murid tengil di perguruanku! Yang lain sibuk berlatih, kau malah tiduran di sini. Dasar pemalas,” omel Braja seraya turun ke tanah.
“Aku hari ini masih ngantuk guru,” tukas Indra sambil menguap lagi.
“Pergi sana cari kayu bakar biar ngantukmu hilang!” tegas Braja.
“Iya-iya,” jawab Indra sambil berjalan untuk mencari kayu bakar.
Braja hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan muridnya yang satu itu, tubuhnya memang terlihat kekar dan tinggi. Rambut pendek dan kulit sawo matang ditambah pakaian khas pendekar dengan baju terbuka di bagian depan membuatnya terlihat seperti pendekar yang hebat, tapi sayang sikapnya yang pemalas, usil dan tengil selalu berhasil membuat Braja mengomelinya setiap hari.
Sementara Indra terus menyusuri hutan yang ada di Pasir Gede (Bukit Gede). Di lembah bukit itulah selama kurang lebih dua puluh lima tahun ini Indra berguru di perguruan Dharmabuana, sedangkan di dekat pasir itu ada sebuah desa bernama Desa Panuntungan. Sepanjang jalan Indra terus menggerutu karena hampir setiap hari dia diomeli oleh gurunya.
Sejak kecil dia memang sudah dirawat oleh Braja hingga Indra sudah menganggapnya sebagai kakek kandungnya sendiri, sejak dulu sikap usil dan tengil Indra memang sudah terlihat, tapi beberapa tahun terakhir ini semakin menjadi karena merasa bosan. Selama ini dia terus berlatih di perguruan, ingin rasanya dia pergi sejenak untuk melepas kebosanannya. Terlebih dia ingin membuat nama perguruannya semakin dikenal, karena saat ini hanya orang-orang di sekitar Pasir Gede saja yang tahu tentang perguruan Dharmabuana.
Indra mulai mengumpulkan kayu bakar satu persatu, setelah cukup banyak dia kemudian mengikatnya dengan tali dari dahan pohon pisang yang sudah kering. Indra duduk di rumput sambil merasakan angin yang sepoi-sepoi menerpa tubuhnya. Rasa kantuknya kembali datang, tapi saat matanya hampir terpejam samar-samar di depannya terlihat seorang pria paruh baya sedang berjalan ke arahnya.
“Mau cari kayu bakar Mang?” tanya Indra dengan ramah, pria itu adalah penduduk Desa Panungtungan yang sedang mencari kayu bakar di Pasir Gede.
“Eh Indra, iya nih persediaan kayu bakar di rumah sudah hampir habis,” jawab pria paruh baya bernama Juha tersebut.
“Ya kalau nggak mau cepet habis jangan dibakar dong mang,” tukas Indra sambil tertawa.
“Kalau nggak dibakar emangnya mau diapain? Digoreng?” balas Juha seraya ikut tertawa.
“Wah Mang Juha bisa saja,” kata Indra.
“Oh iya, kamu nggak ikutan sayembara di Desa Legokpare?” tanya Juha.
“Emang ada sayembara apa mang di sana?” tanya Indra yang terlihat penuh antusias.
“Katanya Adipati Mangkuwira mengadakan sayembara silat di sana, siapapun yang bisa mengalahkan empat pendekar tangguh yang dibawa olehnya maka akan mendapatkan seribu koin emas dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mira Mangkuwira,” jelas Juha.
“Wah mang Juha tahu bener isi sayembaranya, jangan-jangan mang Juha jadi panitianya ya?” kelakar Indra sambil tertawa.
“Bukan, mamang tahu dari para pendekar yang lewat ke desa,” tukas Juha sambil tertawa.
“Wah, terima kasih banyak mang. Aku mau izin dulu deh ke Aki Guru,” ucap Indra yang langsung berlari dengan girang menuju tempat perguruannya.
“Ini kayu bakarnya!” teriak Juha saat melihat Indra tidak membawa kayu bakarnya.
“Ambil saja mang!” teriak Indra dari kejauhan. Juha hanya geleng-geleng kepala saja, seluruh warga Desa Panungtungan memang sudah mengenal sosok Indra yang usil dan suka bercanda.
Indra terus berlari hingga sampai ke pondok-pondok yang ada di tengah hutan, disanalah perguruan Dharmabuana yang dipimpin oleh Braja berada. Tampak lima murid sedang berlatih di bawah asuhan cucu Braja yang bernama Lingga Ekalawya, dengan wajah polosnya Indra langsung menuju sebuah pondok tempat Braja tinggal.
“Guru, guru..” ucap Indra menemui gurunya yang sedang bersila di teras pondok sederhana miliknya.
“Guru aku mau pergi sebentar ke Desa Legokpare,” sambung Indra.
“Mau apa ke sana? Di mana kayu bakarnya?” tanya Braja.
“Kita bahas kayu bakarnya nanti guru. Sekarang aku mau izin untuk ikut sayembara silat di Desa Legokpare, lumayan guru hadiahnya dapat seribu koin emas. Kita bisa makan daging sapi selama dua bulan guru kalau dapat, boleh ya? Boleh kan?” tukas Indra yang terus berbicara tanpa henti. Braja tampak menghela nafas dalam.
“Tidak,” jawab Braja.
“Wah jangan gitu dong guru. Bagaimana kalau nanti lima ratus koin emas buat guru?” bujuk Indra.
“Tidak! Apa kau lupa dengan setiap wejanganku? Kekuatan yang kau miliki itu bukanlah untuk pamer ataupun untuk main-main!” tegas Braja.
“Tapi guru, kalau aku menang di sayembara itu maka perguruan Dharmabuana yang kecil ini akan dikenal oleh seluruh orang di Kerajaan Panjalu. Guru juga nantinya akan menjadi Mahaguru dari Dharmabuana,” bujuk Indra sambil memijat tubuh gurunya.
“Indra, perguruan itu tidak dilihat dari besar kecilnya. Tapi apa yang diajarkan di dalamnya,” ucap Braja tetap dengan pendiriannya.
“Ayolah, kakek,” bujuk Indra sambil tersenyum.
“Tidak, meski Lingga sekalipun tidak akan aku izinkan mengikutinya,” kata Braja.
“Ah, kakek nggak asik,” ucap Indra sambil pergi meninggalkan gurunya lagi.
“Dia sama sekali belum berubah,” gumam Braja seraya menghela nafas dalam.
“Indra mana kayu bakarnya?” teriak Braja, tapi Indra yang sudah menjauh tidak menjawab sedikitpun.
Indra yang kesal langsung berjalan lunglai ke area latihan perguruan. Lima murid yang tadi sedang berlatih kini sedang beristirahat. Lingga yang melihat sahabatnya seakan tanpa semangat segera berjalan menghampiri. Tubuhnya yang kekar dan tinggi membuat Lingga terlihat gagah, wajahnya yang tampan juga menambah kesempurnaan parasnya.
“Ada apa Dra?” tanya Lingga. Indra tidak langsung menjawab, dia terlihat termenung sejenak lalu tersenyum.
“Ah tidak, tadi guru mengomeliku gara-gara aku tidur di dahan pohon,” jawab Indra.
“Ya wajar kalau guru sampai marah. Kau kan murid kedua yang berguru di sini, guru juga sudah menganggapmu sebagai cucunya sendiri sama sepertiku. Jadi tidak heran kalau dia ingin kau memberikan contoh yang baik kepada murid lainnya,” tutur Lingga.
“Iya sih sejak kecil aku memang dirawat oleh guru. Tapi harusnya kau sendirian sudah cukup kan buat jadi contoh mereka,” tukas Indra.
“Tapi kalau kita berdua jadi contoh baiknya pasti akan lebih bagus,” jelas Lingga.
“Iya sih. Oh iya, aku sekarang mau pergi ke Desa Legokpare untuk ikut sayembara. Kamu mau nitip sesuatu?” tanya Indra mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Sayembara? Memangnya kakek mengizinkanmu ikut?” tanya Lingga.
“Kakek kan orang baik, tadi aku sudah meminta izin darinya. Kalau kamu nggak mau nitip, aku akan berangkat sekarang saja,” jawab Indra sambil mulai berjalan cepat meninggalkan area perguruan Dharmabuana.
“Tapi kamu sudah dapat izin dari kakek kan?” tanya Lingga lagi karena jawaban Indra tadi tidak jelas baginya.
“Aku tadi sudah meminta izin kepada kakek,” jawab Indra dari kejauhan sambil melambaikan tangannya. Lingga hanya menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Indra yang sama sekali tidak memberikan jawaban jelas dari pertanyaannya, dia ragu kalau kakeknya sudah memberikan izin kepada Indra.
Bersambung…
Indra berjalan menuruni Pasir Gede sembari bersiul riang, dia memang belum pernah mengikuti sayembara silat sebelumnya. Tapi dia sangat percaya diri dengan kemampuannya, dia yakin bahwa akan pulang dengan membawa kemenangan serta seribu koin emas sebagai hadiahnya.“Mereka pasti senang kalau aku pulang dengan uang banyak. Seribu koin emas, bisa beli berapa ekor sapi ya Hihi..” ujar Indra sambil terus membayangkan wajah murid perguruan Dharmabuana lainnya kalau mereka tahu dia membawa seribu koin emas.Indra terus berjalan menyusuri Desa Panuntungan menuju arah selatan dimana Desa Legokpare berada. Tidak memerlukan waktu lama bagi Indra untuk sampai di Desa Legokpare, kini dia sudah sampai di jalan desa. Tampak banyak sekali pernak pernik berwarna warni di jalanan yang kemungkinan bekas penyambutan Adipati Mangkuwira beserta rombongannya.“Maaf Mang, kalau sayembara silat di mana yah?” tanya Indra
Sarmad menjadi orang pertama yang maju menyerang Indra dengan melayangkan tinju tangan kanannya, tapi Indra dengan lincah segera menahan pukulan lawannya menggunakan telapak tangan kirinya. Indra tersenyum lalu memutar tubuhnya ke belakang, Sarmad terlihat meringis kesakitan karena tangannya yang digenggam Indra dipaksa ikut dengan gerakan Indra.Tapi Sarmad segera menghentakan satu kakinya ke tanah hingga tubuhnya terangkat ke atas, tapi cengkraman tangan Indra tidak lepas sedikitpun padahal Sarmad sudah menghentakan kakinya sekuat tenaga hingga kakinya kini sudah teracung ke atas sementara kepalanya masih dibawah. Indra lagi-lagi tersenyum lalu menarik tangan kanan Sarmad dan menghantamkannya ke tanah.‘Gggbbuukk’Terdengar suara benturan tubuh Sarmad menghantam tanah pesawahan yang sudah dilapisi jerami, Sarmad langsung meringis kesakitan. Tapi dia belum mengaku kalah, Sarmad segera memutarkan tubuhnya den
“Kau cukup hebat pendekar muda, kalau boleh tahu. Siapa namamu?” tanya Tara sambil membuat salam khas pendekar.“Nama saya Indra, kisanak juga kelihatannya pendekar tua yang hebat. Kalau boleh tahu siapa nama kisanak?” jawab Indra sambil tersenyum.“Namaku Tara, sayangnya aku tidak seperti Kusna dan Sarmad. Aku sudah cukup tua untuk mudah terpancing emosi,” tukas Tara sambil mulai memasang kuda-kuda.“Sayang sekali, kelihatannya akan sangat merepotkan,” kata Indra yang juga mulai memasang kuda-kuda khas perguruan Dharmabuana. Kali ini dia sadar tidak akan mudah mengalahkan lawannya, terlebih Tara memang terlihat lebih kuat dari Kusna dan Sarmad.Tara langsung maju dengan tinju tangan kanannya, Indra juga melakukan hal yang sama. Benturan dua tinju pendekar itu terdengar keras pertanda tangan mereka dialiri oleh tenaga dalam. Tatapan mereka beradu seolah
Semua orang di tempat itu tersentak kaget karena sang putri yang memakai pakaian mewah itu kini berdiri di tengah arena bersama dengan Indra. Tatapan Mira dengan tajam menatap Indra yang berdiri di depannya.“Di mana pendekar terakhirnya nona?” tanya Indra sambil tersenyum.“Kau sudah melihatnya sendiri sekarang,” jawab Mira dengan dingin.“Maksudnya? Ah jangan bilang kalau dia berbuat curang dengan menggunakan aji halimunan,” kata Indra sambil berjalan.“Tidak akan ada yang melanggar peraturan di sini, aku pendekar terakhir yang akan kau lawan!” tegas Mira sambil bertolak pinggang.“Tunggu sebentar nona, saya bingung. Jika nona pendekar terakhirnya, lalu siapa yang akan saya nikahi nanti?” tanya Indra dengan serius.“Kau tidak akan menikahi siapapun!” bentak Mira sambil melepas pakaian m
Tatapan Indra yang terus berlari sekuat tenaga terus tertuju kepada asap hitam yang masih membumbung tinggi dari puncak Pasir Gede. Semua warga Desa Legokpare yang melihat Indra hanya bisa keheranan karena Indra terlihat begitu buru-buru, entah kenapa sosok Lingga dan juga Braja mulai terbayang-bayang di pikirannya.“Lingga.. Kakek.. apa yang terjadi?” gumam Indra sambil terus melesat secepat kilat.Tak membutuhkan waktu lama akhirnya Indra sampai di Desa Panungtungan lalu melesat kembali ke kaki bukit, dengan lincah dia menapaki pucuk-pucuk pepohonan menuju ke puncak. Asap hitam yang membumbung masih terlihat mengepul, nafas Indra mulai memburu tapi bukan karena cape melainkan kegelisahannya yang semakin menjadi.‘Tap’Indra turun dari batang pohon setelah sampai di puncak Pasir Gede. Dengan nafas tersengal-sengal dia menatap sekelilingnya seakan tak percaya, kini puncak Pasi
Setelah mendengar pertanyaan Indra tersebut Juha menjelaskan sebenarnya dia dan beberapa warga lainnya sempat melihat ada sebelas orang pendekar aneh yang datang ke desa. Mereka bahkan bertanya tentang di mana Braja Ekalawya tinggal, mereka mengaku sebagai kenalan lama Braja Ekalawya karena itu Juha dan temannya langsung menunjuk ke puncak Pasir Gede.Indra dengan cepat langsung menanyakan ciri-ciri kesebelas orang tersebut, Juha terlihat langsung termenung mencoba mengingat wajah mereka kembali. Dia langsung mengatakan bahwa diantara sebelas pendekar itu ada seorang paruh baya dengan luka sayatan pedang memotong wajahnya secara diagonal dari dahi kiri ke dagu kanan. Diantara mereka juga ada seorang pria muda yang hanya memiliki tangan kanan saja karena tangan kirinya buntung, dia juga membawa pedang di pinggang kirinya.Diantara mereka juga ada seorang wanita muda nan cantik, penampilannya agak aneh karena terdapat banyak sekali jarum kecil
Pria sangar itu tampak sedikit meringis kesakitan saat Indra mencengkram tangannya, pria itu berusaha menghentakan tangannya agar lepas. Tapi cengkraman Indra terlalu kuat, pria itu langsung melayangkan tendangan kaki kanannya mengincar leher bagian kiri Indra. Namun dengan lincah Indra menunduk tanpa melepaskan cengkraman tangannya. Saat kaki pria itu sudah berada di atasnya Indra langsung berdiri kembali.Kini tubuh pria itu langsung menghadap ke belakang terbawa tendangannya yang mengenai angin, sementara tangan kanannya yang tadi di tarik ke bawah oleh Indra langsung berada diantara kedua kakinya tepat di selangkangannya. Mau tidak mau kini tubuh pria itu membungkuk membelakangi Indra dengan tangan kanannya yang ditarik oleh Indra yang berada di belakangnya.“Hekhh..” pekik Pria itu saat Indra menghentakan tangannya ke atas hingga lengan pria itu menghantam selangkangannya sendiri, raut wajahnya langsung meringis kesakitan.
“Iya dari wajah saja tuan pendekar memang sudah kelihatan baik, kebanyakan pendekar yang mampir kemari memang suka nggak jujur. Makan gorengan tiga ngakunya satu, padahal kan saya liatin juga. Malah kadang ada juga pendekar yang lewat terus ngambil singkong seenaknya dari kebun warga,” timpal bibi pemilik kedai dengan geram.“He.. hehe.. pendekar-pendekar kayak begitu memang merusak nama baik pendekar saja bi,” kata Indra seraya garuk-garuk kepala karena merasa sedikit tersindir perkataan si bibi.“Kalau boleh tau, kisanak ini sebenarnya dari perguruan mana ya? Pancasagara atau perguruan besar lainnya?” tanya si bibi yang terlihat penasaran.“Ouh, saya Indra dari perguruan Dharmabuana bi,” jawab Indra. Si bibi terlihat langsung mengerutkan keningnya karena baru kali ini mendengar nama perguruan yang disebutkan oleh Indra.“Aduh baru kali ini bibi
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari