“Teh kotak, coklat trus apalagi ya…” Kinan sibuk memilih-milih snack dan memasukkannya ke dalam keranjang, “Mey, kamu mau beli apa?”
“Kita nanti ketempat buah-buahan Kan Kak? aku mau beli anggur. Aduh, kakak dari tadi masukinnya cemilan melulu, gendut nanti!” cetus Limey ketika melihat betapa belanjaan mereka didominasi makanan kecil pilihan Kinan.
“Ah, iya. Kamu kan suka anggur. Yok, sekarang aja, sekalian di kilo.” Kinan segera meraih lengan Limey dan menariknya menuju tempat buah-buahan, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan komentar Limey yang sakartis.
Ketika kedua anak itu sibuk memilih-milih anggur yang hendak mereka kilo di mesin khusus, mendadak terdengar suara ledakan tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya kaget, tempat itu mengguncang, seperti gempa. Lalu, api mendadak menjilat-jilat pelataran supermarket tersebut. Suara-suara ribut mulai terdengar, bergegas orang-orang berlarian menyelamatkan diri sambil berteriak kebakaran.
Limey dan Kinan terkejut, tubuh keduanya meloncat ke belakang dengan cepat, dengan segera Kinan memegang lengan Limey, wajah keduanya menjadi tegang. Lalu di depan mereka, rak-rak roboh dan api dengan warna terangnya menyembur di depan mereka. Orang-orang di sisi kiri dan kanan keduanya mulai menjerit panik, tapi keduanya masih saling berpegangan. Dalam waktu singkat, tempat itu berubah menjadi kepanikan, banyak orang berteriak-teriak meminta pertolongan. Ada yang berusaha menerobos api dan berakhir dengan jeritan pendek yang menyakitkan.
“Ada apa? kenapa?!!!” Kinan berteriak panik, lengannya masih memegang tangan Limey, dan sebelah lagi masih memegang keranjang yang penuh dengan cemilan dan alat-alat kosmetik.
“Ledakan!!!” teriak Limey berusaha menandingi hempasan dan teriakan dari pengunjung lain yang meratap.
“Ya Tuhan Api, lari Mey!!!!” Kinan tampak panik. Kakinya bergegas memutar jalan, menghindari arah api datang dan berlari untuk mencari ruang yang aman, tapi percuma, api merambat dengan cepat, pondasi-pondasi tempat tersebut juga mulai melengkung, siap roboh. Dan entah ada dorongan apa, mendadak Kinan mengeluarkan kunci dari saku celananya. Kata-kata orang tua yang ditolongnya tadi berputar-putar di kepalanya, memang itu adalah pekerjaan sia-sia. Tapi Kinan pun mempercepat larinya, dan sekeranjang belanjaan mereka sekarang sudah berpindah tangan, dipegang Limey.
Tepat ketika kepanikan menguasai otak Limey, sebuah pintu terlihat di depan mata. Bentuknya kecil, dan bukanlah pintu ruangan. Itu pintu tempat meletakkan alat-alat kebersihan, tapi siapa peduli. Ini pertaruhan, untuk mempertaruhkan 10 % kemungkinan Dirinya dan Kinan untuk hidup.
“Kak, kunci!” ucap Limey sambil meminta kunci pada Kinan, Kinan mengangguk lalu diserahkannya kunci tersebut pada adiknya, dia pun sesungguhnya tengah mempertaruhkan kemungkinan paling konyol, untuk bertahan hidup.
Limey mengaitkan kunci pada kenop pintu. Ajaib kunci itu pas. Limey memutar knop pintu pelan-pelan untuk sekedar memastikan antara rasa percaya dan tidak, mendadak, ketika pintu sudah terbuka separuh, terasa ada sebuah kekuatan membuat mereka tersedot masuk ke dalam pintu. Keduanya melesat seperti di dorong seseorang dari belakang, terhempas dengan keras dan pintu tersebut tertutup dengan cepat.
Kinan masih dapat melihat lautan api dan rak-rak yang roboh menghempaskan isinya, lalu pemandangan pun menjadi gelap. Tapi Kinan dapat merasakan lengannya masih terasa hangat memegang sesuatu. Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping, dan melihat adiknya Limey tengah menggenggam tangannya erat, dan dia tahu mungkin bila memang ini waktunya mereka meninggal, maka dia tidak takut. Ada adik tersayangnya bersama, walau sedikit menyesal karena belum melakukan sesuatu dimasa muda.
Kinan menutup matanya dan membiarkan ketiadaan membawanya…
**
“Kak..kak!…bangun….” Suara Limey terdengar seakan menjauh, tapi perlahan-lahan suara itu terasa semakin mendekat dan menggema dalam telinganya seperti dengingan sayap nyamuk.Kinan mengerjap-ngerjap sebentar, masih merasa mengantuk, kepalanya sakit, dan telinganya terasa berdenging. Membawa kesadaran Kinan sampai ke puncak ternyata lumayan sulit. Akhirnya, setelah beberapa saat berenang-renang dalam kesadarannya yang hilang dan timbul, Kinan pun kemudian membuka mata perlahan-lahan. Mula-mula pandangannya berbenturan pada sosok Limey yang duduk di dekatnya sambil memegang lengannya, lalu sesaat merasakan gelombang pusing yang membuat Kinan ingin muntah. Kinan bergerak bangun sambil memegangi kepalanya, ada perasaan seperti melayang.
“Kita ada di…mana? Surga?” tanya Kinan tepat ketika sudah sadar sepenuhnya. Kesadarannya membawanya pada kejadian sebelumnya. Kebakaran, ledakan dan kepanikan, lalu semua mendadak pudar dari ingatannya.
Matanya berputar memandang sekeliling dengan perasaan tidak percaya. Tampak olehnya sekeliling mereka hamparan hutan dan padang rumput yang lumayan tinggi, ditambah lagi Kinan dapat mendengar suara gemericik air yang mengalir.
“Mungkin,” jawab Limey sambil meraih keranjang belanjaan milik mereka yang terserak di atas rumput. Limey meraih hp miliknya dan melihat sinyal, “Enggak ada sinyal di hp. Sebenarnya kita ini di mana?”
Kinan meletakkan telunjuknya di dahi, berusaha mengingat, “Perasaan, waktu itu ada ledakan di supermarket, terus api, lalu rak-rak yang jatuh. Terakhir, kamu buka pintu clining service dengan kunci itu dan….AH JANGAN-JANGAN KARENA KUNCI ITU!”
Limey sibuk membereskan belanjaan mereka meliputi sabun, alat-alat kosmetik dan—untungnya, Limey membeli sebuah tas kain lucu—makanan kecil, aneka minuman—meliputi soda sampai teh kotak—handuk kecil dan buku komik keluaran terbaru.
“Untungnya tadi kita bawa belanjaan. Ini, ada roti,” Limey melempar roti dan langsung ditangkap oleh Kinan. Kinan pun menyobek bungkusnya dan langsung mengunyah roti tersebut.
“Rasa kelapa. Padahal aku ingin kacang ijo…” sungut Kinan.
Limey membuka minuman kaleng, “Jangan ngeluh kak! Kita enggak tahu di mana ini, tapi yang pasti kita masih hidup, dan enggak ada penjelasan lain selain kunci aneh pemberian orang tua yang kakak tolong itu. Masalahnya adalah, kita sekarang ada di mana?”
“Lha, tadi kamu bilang, kita masih hidup, ya artinya kita ada di bumi dong. Mungkin kunci itu mirip seperti pintu ajaib doraemon, ya kita bisa pindah kemana aja. Siapa tahu kita ternyata ada di Kalimantan, atau deket-deket deh, di Pangandaran.”
Limey diam, wajahnya jadi serius, membuat Kinan merasa tidak enak.
“Kak, perasaanku enggak enak nih.” Lalu, dengan sigap Limey segera memasukkan barang-barang ke dalam tas kain tersebut. “Kita jalan yuk, takut kemalaman di hutan.” Ajak Limey sambil berdiri. Matanya jelalatan memperhatikan sekeliling. Rumput yang tinggi, pepohonan ya penuh di kiri dan kanan, bunyi suara burung yang berkukuk, dan matahari yang kesulitan masuk diantara pepohonan.
“Kita mau ke mana?” tanya Kinan sambil berdiri, membersihkan bagian belakangnya yang penuh dengan rerumputan kering.
“Enggak tahu, tapi yang pasti keluar dari hutan ini.” Ucap Limey sambil sibuk membersihkan lutut dan bokongnya yang penuh dengan rumput dan debu.
Kinan pun menurut, segera berdiri dan langsung berjalan, “Tapi kita ke mana, kita enggak tahu mana jalan ke luar.”
“lebih baik jalan, daripada di sini!” ucap Limey sambil memakai sweaternya.
Kinan pun berjalan mengikuti Limey, rasa cemas masih penuh di dadanya, tapi menunggu ditempat itu pun agak menakutkan. Agak resah Kinan segera berjalan di sisi Limey.
“Kita ke mana?” tanya Kinan, matanya memandang kiri dan kanan. Semua tampak sama dimatanya.
Limey menunjuk tangannya, “Belum yakin juga. tapi kita coba ke utara.”“Apa itu ke arah keluar? Bagaimana kamu tahu utara atau selatan?” tanya Kinan heran.Limey menghela napas, lalu berkata, “ Kita lihat sarang laba-laba saja.”“Kenapa dengan sarang laba-laba?”“Laba-laba suka membuat sarang menghadap selatan. Kita ambil arah sebaliknya.” Terang Limey kemudian.“Wow, aku baru tahu…” desis Kinan. Keduanya kemudian memandangi sekitar, mencari sarang laba-laba ditengah hutan dan rerumputan tinggi.Sekitar beberapa menit kemudian, mereka berhasil menemukan seekor laba-laba tengah berdiri dengan gagah ditengah sarang miliknya. Melihat hal tersebut, kemudian Kinan dan Limey mengambil arah sebaliknya dari arah sarang laba-laba itu.“Kamu yakin memilih utara, ad
Kinan merasa, kekuatannya tidak sanggup menyarangkan pukulan pada laki-laki berewok tersebut. Dan, tendangan terakhir dari laki-laki itu telak menghantam iga kiri Kinan, kontan tubuh Kinan terbanting ke samping sambil meringkuk kesakitan. Pukulan bagai beton raksasa tersebut memaksa Kinan terbaring dan melenguh kesakitan tanpa bisa kembali berdiri dengan benar.“Kak!!” Limey berlari memburu Kinan, memeriksa keadaan Kinan. Cidera dalam, agak memar, tapi tidak sampai pendarahan dalam.Berpikir….berpikir…segera berpikir! Limey memacu kerja otaknya, memikirkan cara agar lolos dari mulut buaya. Tapi, dengan keadaan Kinan yang terbaring tidak berdaya di tanah, Limey sudah tidak tahu lagi mesti bagaimana. Kini si brewok tersebut menghampiri Kinan yang masih meringkuk dan berusaha berdiri, tapi dengan kejam laki-laki itu menendang Kinan hingga jatuh tersungkur dan pingsan. Limey ingin menjerit, tapi matanya awas melihat 2 o
“Hei—di dunia ini tidak ada yang gratis, Nona… lima ribu ditambah dua ribu, jadi tujuh ribu Zeni. Aku ingin uang kontan! Bagaimana?” jawab Amon masih tidak bergerak di tempat. Limey tidak sanggup lagi menahan Kinan yang terlihat kepayahan dengan napas menderu, Limey mengangguk, “Baik, aku bayar. Tapi tolong kakakku….” “Nah, begitu!!” seru Amon berseri yang langsung memegang tubuh Kinan yang hampir ambruk karena tidak kuat berdiri. “Dudukkan dia!” ucap Amon yang segera dipatuhi Limey. Kinan di dudukkan dan disandarkan pada sebatang pohon. Amon memeriksa luka Kinan dan terutama kakinya yang bengkak, biru dan patah. Beberapa saat kemudian meraba kaki Kinan dan menariknya sehingga Kinan menjerit. Terdengar bunyi krak! Amon mengangguk. “Tulangnya sudah tersambung lagi. tinggal pendarahan dalam saja. Dengan obat, memarnya akan hilang beberapa hari. Tapi….” Amon memeriksa nadi
Limey tersenyum, “Saya tahu, maka itu saya akan membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih menguntungkan buat anda?” tawar gadis bermata biru itu. Amon tersenyum, agak mengejek, “Apa? kamu akan membayar dengan tubuhmu?” tanya Amon setengah mengejek. “Kau!!” Kinan hampir berdiri, tapi Limey yang ada di dekatnya mencegah dengan gerakan tangannya. “Jangan halangi aku Mei, dia sudah bicara kurang ajar sama kamu!!” “KAK!” mendadak Limey menyebut kata kakak yang membuat gerakan Kinan lagi-lagi terkunci. “tapi Mei….” Limey mengeleng, “Tenang…..” ucapnya perlahan. Amon memperhatian hal tersebut, tersenyum. Hebat juga, pikir Amon. Ketenangan Limey ketika diejek tidak menghilangkan kewarasan otaknya. Amon semakin tertarik dengan kedua bersaudari tersebut. “Memangnya kau mau membayarku dengan apa?” tanya Amon lagi dengan angkuh.
“Salah satu pulau di wilayah sini.” Jawab Kinan segera. Mendadak Amon menghentikan lagi langkahnya, dan kemudian memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah dua saudara tersebut, matanya menyipit tidak suka. “Kamu anggap aku bodoh ya? Mau coba-coba berbohong padaku!” Amon mendelik, “sekedar pemberitahuan, itu—“ tunjuk Amon pada mata Limey, Limey mengerutkan keningnya, bingung. “Memangnya ada manusia yang punya mata berwarna seperti itu? Apa kalian monster, atau jangan-jangan penghuni hutan ini?” Kinan tidak suka sebutan terakhir yang diucapkan Amon, dia merasa sebutan itu seakan mengejek tentang Limey. Limey menghela napas, “Apa benar tidak pernah ada orang yang bermata sepertiku?” tanyanya dengan heran. “Begitulah…” Limey melirik ke arah Kinan sekilas, lalu tersenyum simpul, “Mungkin tuan benar, saya adalah siluman yang tersesat di hutan ini.” &n
“Itu masalahnya…” Limey menghela napas, “Karena itu, kita tidak bisa pulang, kak.” Kinan sekali lagi mengacak rambutnya, “AAARG, tahu begitu tadi harusnya aku ambil lagi kuncinya!!!” Limey tersenyum, merasa geli melihat gaya kesal Kinan. “Tapi itu nggak mungkin kak. Mana kita sempat kepikiran akan seperti ini jadinya. Aku malah sempat berpikir akan mati kebakar.” “Sialan! Kalau saja enggak ada kebakaran itu?! kalau aja nggak ada ledakan brengsek itu, kita pasti udah senang-senang!!!” Kinan segera bangkit, mengepal tangannya dengan emosi. Mendadak pintu menjeblak terbuka. Amon masuk dengan tampang senang. “Kita ada kerjaan!” seru Amon. “Kerjaan?” Limey bertanya heran. “Ya, kerjaan, dan latihan buatmu bocah!” “Jangan panggil aku bocah!!” Amon mendekat ke arah Kinan, lalu mengacak-a
“Kenapa Tuan mengajarkan ilmu berbahaya itu?” Amon berdiri, “Dengar L, Dengan kemampuan kakakmu, butuh setengah tahun hanya untuk menguasai imdok level pertama. Kita tidak punya waktu untuk menunggu selama itu, kita akan berburu uang.” “Tuan tidak perlu menyuruhnya untuk ikut kan?” Amon tersenyum, “Salah..ini akan jadi latihan yang baik untuk bocah itu!” Limey hendak berbicara lagi, tapi tangan Amon sudah mengulur mencegah, “dengar L, aku masih ingat perjanjian kita. aku akan menjadikan bocah itu muridku, seperti yang kamu minta. Aku gurunya, aku tahu yang terbaik!” lalu Amon segera mengambil pedang buntungnya, memandang ke arah Limey yang masih memandangnya dengan mata seperti memohon. Pemuda itu mendesah, rasanya semakin merepotkan membawa perempuan dalam hidupnya. Lalu, dengan bersikap cuek, Amon pun pergi keluar. Di depan pintu Amon bertemu Kinan yang baru selesai mandi dan hendak naik ke atas, tangan Amon langsung meraih lengan Kinan. Kin
Kinan menatap Amon dengan pandangan bingung. Kenapa tiba-tiba sang guru meminta dia mengulurkan tangan. Namun, dengan sikap tanpa curiga, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Amon meminta satu tangan lagi, “Yang kiri juga!” Kinan memberikan tangan kirinya, kini kedua tangan Kinan berada dalam kekuasaan Amon. Amon mencari sesuatu di titik nadi Kinan, lalu kemudian menekannya. Tangan Amon bersinar dan mendadak Kinan merasa seperti ada gelombang besar yang mengalir dengan cepat di perutnya, melingkar-lingkar dan terasa panas. Lalu, Kinan merasa sesuatu setajam pisau menghujam dadanya hingga membuat gadis itu menjerit. “Sakitttt!!!!” teriak gadis itu. Alih-alih mendengar, Amon tetap memusatkan tenaganya pada kedua tangan Kinan. Kinan merasakan kejang, dan dia tidak bisa mengendalikan diri. Seolah-olah tubuhnya dipenuhi gelombang kejut yang menyerang berkali-kali. Tubuh gadis itu tersentak sentak dengan hebat. Amon tidak melepaskan genggam
LukaDua tahun yang laluAmon terbangun dalam kondisi tubuh terluka. Bebat di sekujur dada tampak memerah oleh lumuran darah yang masih merembes dari bakal luka. Lelaki itu melihat ke kiri dan ke kanan, sunyi. Sebuah ruangan yang terbuat dari gubuk dengan tempat tidur dari dipan dilapis kain lapisan jerami. Di samping tempat tidurnya ada jendela yang separuh terbuka, menampakkan latar belakang pemandangan sebuah hutan yang terlihat sedikit jauh. Lalu mendadak pintu di sampingnya terbuka. Kinan datang membawa nampan dan menahannya dengan sisi tangan ketika tangan lainnya membuka engsel pintu.Kinan terperangah menemukan gurunya duduk sambil menatap ke arah jendela luar yang setengah terbuka.“Guru! Padahal jendela sudah sengaja aku tutup agar tidak masuk angin yang terlalu kuat!” Kinan buru-buru meletakkan nampan di meja lantas dia berjalan memutar menutup jendela.Amo
Limey menjadi kelimpungan dan gelagapan. Dia tidak menyangka bahwa akan ada yang bertanya tentang Sion, rasa malunya langsung merebak tidak terkendali. Semua yang terjadi barusan seolah terpapar di depan mata, membuat Limey menelan ludah.Dengan gugup gadis itu mencoba mencari alasan, “Ah, dia tadi pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan…” jawab Limey sekenanya.“Ah, omong-omong tentang binatang buruang, aku juga sudah lapar,” Bixi langsung memukul perutnya dan sadar bahwa dia belum makan dari tadi.“Bagaimana kalau aku pergi berburu kak!” tawar Gillian.“menarik, aku juga ikut, sudah lama aku tidak berburu, kita cari rusa yang besar dan kita panggang dagingnya. Aku jadi ingat makanan yang kau berikan padaku sebelum ini.”“Ayo kalau begitu!” Gilian langsung mengangguk, kedua lelaki itu segera turun menggunakan ilmu meringankan diri. Terdengar gelak tawa dari keduanya, terpantul
Setelah Siulan keras, sebuah suara menyentak memanggil nama Limey.“Mey!!”Mendengar namanya dipanggil, gadis itu memutar arah pandanganya ke asal suara. Dari arah utara, tidak terlalu jauh, dua orang lelaki tengah berjalan ke arahnya. Lelaki yang satu tengah menggendong seseorang di bahu, dan lelaki yang satu lagi dengan tidak sabar melentingkan tubuh untuk berlari secepatnya mendekati Limey.“mey!” panggilnya lagi setelah sampai dihadapan Limey.“Gillian?” Limey membelalakkan matanya ketika melihat Gillian datang.“Aku membawa seseorang untuk kau tolong, dia adik kelimaku!” seru Gillian sambil menunjuk ke arah Bixi yang datang. Bixi pun kemudian melompat dengan sangat cepat, sehingga Limey seolah melihat Bixi berjalan layaknya hantu.Bixi sampai di depan Limey dan kemudian membungkuk untuk meletakkan Amon yang berada di dalam panggulannya.“Dia butuh perawatan. Dan aku rasa kau o
Wajah Sion tampak mulai memerah, tubuhnya bergetar. Tampak uap-uap berwarna merah menguar dari sekujur tubuhnya. Sesuatu seolah menggeliat di dalam perutnya, memusar, berputar dan menyebar di dalam tubuh.Sion tahu sensasi apa itu. Itu adalah pembukaan level imdok. Biasanya, ketika seseorang telah mencapai batas imdoknya, tubuh akan membuka kunci imdok pada level selanjutnya. Selama ini Sion tidak pernah bisa naik level dari enam ke tujuh, seberat apapun dia berusaha. Level imdok hanya sampai pintu gerbang, dan Sion selalu tidak memiliki kunci untuk membuka pintu Imdok.beberapa kali lelaki itu mencoba membuka paksa Imdok level tujuh, namun berbeda dengan pembukaan paksa level imdok pertama dan kedua, imdok tingkat tinggi tidak bisa dipaksakan. gelombangnya amat dasyat, dan bisa saja menghancurkan orang yang mencoba paksa. aliran tenaga dalam pasti akan berbalik, lalu menghujam seluruh aliran darah sebelum meledak.Sion tidak pernah melihat orang yang meledak ka
Sekarang Limey menatap ke arah Sion, lalu dia bertanya, “Sion, menurutmu aneh tidak warna mataku?”Sion memperhatikan, “Kenapa? Matamu sangat indah menurutku, seperti warna langit.”Limey langsung menepuk dahinya sendiri. Sion selama ini buta, dia tidak pernah melihat warna mata orang lain, jadi baginya warna mata Limey itu biasa saja.“Kau pernah tidak bertemu orang yang bermata sama denganku?”Sion tercenung, lantas menggeleng, “Memang selama ini tidak ada yang memiliki warna mata sepertimu, tapi kurasa karena aku belum pernah bertemu dengan orang-orang yang bermata seperti itu.” jelas Sion.Limey menghela napas, “Kau tahu, di tempatku warna mata ini hanya salah satu warna mata lain. Ada yang memiliki mata berwarna hijau, cokelat, hitam seperti mata kalian semua.”“Oh…” Sion menanggapi dengan tenang, tidak
Kedua orang saudara seperguruan itu berlari, sebelum mengambil jeda untuk melompat. Tangan keduanya dihantamkan ke depan. Amon dengan pedang buntungnya, dan Gillian dengan tapak dewanya. Warna pedang Amon berpendar, warna tangan Gillian berubah biru. Mereka akan saling hantam, dan kemungkinan keduanya akan terluka parah.Dalam pandangan Amon, Gillian serupa monster yang tengah mengulurkan cakarnya ke arah Amon, hingga pemuda itu bersiap menyalurkan imdoknya pada pedang untuk saling berbenturan, dan kalau berhasil membelah sang monster.Bixi membuka mata, melihat semua yang terjadi, lantas dia bergerak, tubuhnya diangkat terbang seringan bulu. Penyatuan kepribadian Bixi kecil dan dirinya membuat Bixi akhirnya benar-benar menguasai jurus bidadari. Dengan lesatan luar biasa, dia berada di tengah keduanya yang siap beradu tenaga dalam. Bixi mengulurkan tangannya untuk menghantam sisi samping Gillian dan Amon secara bersama-sama.Amon dan
Bixi melompat ke luar dan berlari dari gerbang Air. Percuma bertahan disana, selama Bixi dewasa tertidur, Bixi kecil hanya bisa berusaha agar tubuh milik mereka bersama tidak sampai terluka. Aduh! Bixi kecil mengeluh, karena kesadaran dirinya yang lain masih tertidur, padahal dia tahu untuk mengatasi pertarungan tingkat tinggi, dia membutuhkan Bixi dewasa mengambil alih kesadaran. Tampaknya obat yang masuk ke dalam tubuh Bixi telah berhasil menidurkan Bixi, namun membangunkan Bixi yang lain.Di lain Sisi, Amon dalam kondisi kemarahan yang aneh mengejar Bixi. Tangannya memegang pedang buntung miliknya. Benda yang seperti pedang berkarat itu memiliki daya hancur luar biasa bila dipadukan dengan penggunaan imdok. Amon pun keluar dari pintu labirin dan mengejar sampai depan gerbang. Matanya seolah bersinar dan ada api di dalamya.Sebenarnya, Racun halusinogen dari serbuk-serbuk mawar sudah terhisap dan mengubah kesadaran Amon. Apa yang amon liha
Sion terperangah, dia memperhatikan wajah Limey baik-baik, kebingungan. “Kau bilang apa?”Limey mengulang ucapannya, “Aku akan menjadi penawarmu.” jawab Limey.Sion menunduk, mengepalkan genggamannya, buku-buku jarinya menengang. Lalu dengan setengah bergetar lelaki itu berkata, “Kau tahu apa yang kau katakan? Kau tahu efek dari yang kau katakan dari Mey?”Limey mengangguk. Sebenarnya tangan gadis itu sudah gemetaran, ketakutan melanda hatinya seperti badai, tapi dia mencoba tegar dan menyembunyikan perasaannya yang kacau. Namun seolah paham, Sion langsung mengambil tangan gadis itu, dan merasakan getaran pada tangan itu, “Lihat!” seru Sion, “Kau gemetar….”Limey buru-buru menarik tangannya kembali, lalu berkata cepat-cepat, “Aku bukan gemetar karena takut padamu….aku hanya tidak pernah melakukannya…”
Limey menghela napas, “Seperti yang tadi aku bilang. Bila kau yang terkena racun,maka yang harus meminum penawar ini adalah pihak perempuan, lalu kalian harus bercinta untuk memindahkan penawar itu ditubuhmu dan memusnahkannya.” wajah Limey sampai memerah ketika menjelaskan hal tersebut.Sion merasa kakinya mendadak lemas, dia langsung menjatuhkan diri pada salah satu kursi bambu ditempat itu. Wajahnya menjadi memerah karena malu mendengar penuturan Limey.“Kalau begitu berarti aku akan mati.” desis Sion dengan lemah.“Tidak, enggak bisa begitu! Aku akan membuatkan lagi pil dewa secepatnya, lalu kita akan cari lagi cara lain! Jangan putus asa!” seru LImey yang langsung mendekat ke arah Sion, berlutut di sisi lelaki itu sambil memegang lutut Sion.Sion menggeleng, “percuma Mey. Sudahlah, lupakan saja. Itu adalah obat terjahat yang pernah aku dengar….&rd