Lingga mendarat di sebuah batu, kembali menangkis serangan yang datang dari berbagai arah. Tubuhnya bergerak cepat seirama dengan serangan.Dua buah rantai putih mendadak muncul dari sisi kiri dan kanan. Lingga melompat dan kembali menangkis serangan. Akan tetapi, rantai putih itu terus menyerangnya.Lingga melompat tinggi, mengentak udara hingga tubuhnya meluncur cepat ke hulu sungai. Kedua rantai itu mengikutinya dan terus menyerangnya. Air sungai terciprat hingga ke sisi kiri dan kanan.Lingga terus bergerak seraya menangkis serangan. Ia melompat tinggi ke udara dengan tubuh yang diselimuti oleh cahaya putih. Ketika sampai di titik tertinggi, ia melesatkan serangan berupa anak panah ke arah datangnya dua rantai.Sebuah dentuman besar tercipta ketika dua serangan itu saling menumbuk. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan. Air kembali terciprat ke sekeliling.Lingga berbalik ketika merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia segera menyilangkan kedua tangan di dep
“Ya, kami sudah mendengar kabar tersebut. Kami langsung mengetatkan penjagaan di sekeliling Jaya Tonggoh. Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda musuh mendekat maupun keanehan di tempat ini,” ujar pemimpin pendekar.Tarusbawa melompat ke tengah-tengah tanah lapang, berjongkok, menyentuh tanah dengan kedua tangannya. Ia mulai mengalirkan kekuatan ke sekeliling tanah.Limbur Kancana dan para pendekar segera mendekat, memperhatikan Tarusbawa dari jarak agak jauh.Tarusbawa merasakan teriakan dan kekuatan dari dalam tanah. Sayangnya, ia tidak merasakan perbedaan apa pun mengenai keadaan Jaya Tonggoh sekarang dan beberapa saat setelah anggota Cakar Setan dan para siluman terpenjara.Tarusbawa berdiri, tercenung selama beberapa waktu, menoleh pada Limbur Kancana dan beberapa pendekar yang mendekat.“Bagaimana, Raka?” tanya Limbur Kancana.“Aku tidak merasakan perubahan apa pun di penjara bawah tanah ini. Meski begitu, kita tidak bisa berleha-leha, terlepas benar atau tidaknya kabar bebasnya
Para pendekar segera menyebar ke sekeliling perkampungan. Mereka menggunakan bambu kuning untuk memeriksa keadaan Wira. Sementara itu, Wira masih tertidur pulas di ranjang kayu, terlebih setelah pertunya kenyang dengan makanan lezat. Tanpa disadarinya, pasukan kelelawarnya mlai berputar-putar di langit saat melihat para pendekar yang berada di beberapa titik perkampungan. Sekar Sari memperbanyak bambu hijau dan bambu kuning dengan bantuan Ganawirya dan para tabib, lalu membagikan kedua benda itu ke para pendekar. Dua kelelawar tengah mengamati dua pendekar di pinggiran perkampungan. Dua kelelawar itu dengan cepat terbang menuju gubuk, dan memutari Wira. Wira masih pulas dengan tidurnya. Pemuda itu bergerak ke kanan dan kiri, kemudian terlentang. Wajahnya tampak sangat nyaman sebelum akhirnya dua kelelawar itu mulai menggigitnya. “Terkutuk!” Wira seketika terbangun, menatap dua kelelawar kecil yang berada di dekatnya. “Apa yang terjadi?” Wira terkejut ketika mendapatkan pesan dari
“Kartasura?” Jatna melompat dari batu, mendekati Wira, mengamati pemuda itu. “Kartasura adalah pendekar yang berhasil mengalahkan siluman kelelawar dan mengambil kekuatannya bebera[a tahun lalu. Pertarungan itu berlangsung berhari-hati dan berdarah-darah. Kekuatan yang dia dapatkan mengantarkannya menjadi anggota Cakar Setan. Dia pasti sudah membagikan kekuatannya pada adiknya.”“Menurut kabar yang beredar, Kartasura, Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, dan Nyi Genit terkurung di Jaya Tonggoh setelah kalah melawan pemuda pewaris kujang emas itu sekitar sebulan yang lalu, Kakang,” ujar Rati Ningsih.“Jika kita keluar dari persembunyiaan kita dan memilih membantu Nyi Genit, kita pasti akan berakhir sama sepertinya dan yang lain.”“Aku juga mendengar jika para pendekar golongan putih mulai memasuki hutan siluman. Mereka berhasil menemukan penawar dari racun kalong setan. Akibatnya, para siluman menjauh dari hutan dan menyebar. Kita beruntung karena kita sudah keluar dari hutan silum
“Kartasura?” Jatna melompat dari batu, mendekati Wira, mengamati pemuda itu. “Kartasura adalah pendekar yang berhasil mengalahkan siluman kelelawar dan mengambil kekuatannya bebera[a tahun lalu. Pertarungan itu berlangsung berhari-hati dan berdarah-darah. Kekuatan yang dia dapatkan mengantarkannya menjadi anggota Cakar Setan. Dia pasti sudah membagikan kekuatannya pada adiknya.”“Menurut kabar yang beredar, Kartasura, Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, dan Nyi Genit terkurung di Jaya Tonggoh setelah kalah melawan pemuda pewaris kujang emas itu sekitar sebulan yang lalu, Kakang,” ujar Rati Ningsih.“Jika kita keluar dari persembunyiaan kita dan memilih membantu Nyi Genit, kita pasti akan berakhir sama sepertinya dan yang lain.”“Aku juga mendengar jika para pendekar golongan putih mulai memasuki hutan siluman. Mereka berhasil menemukan penawar dari racun kalong setan. Akibatnya, para siluman menjauh dari hutan dan menyebar. Kita beruntung karena kita sudah keluar dari hutan silum
Para siluman mulai berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tanah lapang. Suasana yang tadinya sepi mendadak ramai.Darmasena melompat ke tengah para siluman. “Aku yakin kalian semua sudah mendengar jika Nyi Genit terbebas dari penjara di Jaya Tonggoh. Dia memerintahku untuk mengumpulkan para siluman dan pendekar golongan hitam guna menjadi pasukannya.”Darmasena mengamati para siluman dari berbagai jenis. “Aku ingin kalian mengumpulkan lebih banyak lagi para siluman. Di bulan purnama nanti, kita harus sudah berkumpul di Batu Nangkarak untuk bertemu dengan Nyi Genit.”Dari arah lain, para pendekar mulai mendekat ke tanah lapang setelah mengetahui keberadaan para siluman dari bambu kuning yang berputar-putar semakin cepat.“Para siluman tengah berkumpul di suatu tempat dalam jumlah banyak. Mereka kemungkinan akan melakukan serangan. Kita harus bisa menghentikan mereka sebelum mereka melakukan kekacauan,” ujar pemimpin pendekar yang memimpin pengejaran. Ia memberi tanda dan sete
Hujan mengguyur sepanjang malam, dan baru reda ketika menginjak waktu pagi. Udara menjadi lebih dingin, ditambah aliran sungai lebih deras hingga menyeret batang kayu, ranting, hingga beberapa batu berukuran agak besar.Gelap dan dingin perlahan berganti dengan cahaya dan hangatnya pagi. Terlihat dedaunan dipenuhi oleh titik-titik air. Kawanan burung terbang memutari hutan. Kegiatan warga di perkampungan mulai terlihat.Danuseka terbangun dari tidurnya, melompat ke luar gua, mencuci wajah di sungai. “Rasanya sangat segera sekali. Aku juga merasa lega karena tidak memiliki beban. Aku harap Wira belajar banyak hal setelah kepergianku.”Darmasena menciduk air sungai, membasuh wajah dan rambut. “Aku memiliki rencana yang bagus, Danuseka. Bagaimana jika kita bekerja sama untuk mengumpul para siluman dan pasukan pendekar golongan hitam? Kita tidak memiliki masalah apa pun sebelumnya.”Danuseka tercenung selama beberapa waktu. “Aku pikir tidak ada salahnya jika kita bekerja sama. Semakin cep
“Sekitar dua puluh atau dua puluh lima tahun lalu Nyi Genit, para panglima siluman, dan para pengikutnya mengerahkan pasukan besar-besar untuk menghabisi para siluman yang enggan tunduk pada Gusti Totok Surya. Kabar mengatakan mereka sudah tewas, tapi mungkin saja ada beberapa siluman yang selamat,” jelas Jatna.“Kenapa mereka menolak untuk tunduk pada Gusti Totok Surya? Bukankah Gusti Totok Surya memberi kekuatan sekaligus perlindungan?” tanya Wira.“Seperti bangsa manusia, terdapat siluman golongan putih dan siluman golongan hitam. Siluman golongan putih adalah siluman yang menjauhkan diri dari manusia atau justru membantu manusia dalam hal kebaikan.”“Di bulan purnama berikutnya, Nyi Genit, para siluaman, dan pendekar golongan hitam akan berkumpul di Batu Nangkarak. Aku juga akan berada di sana.”Jatna dan Rati Ningsih saling bertatapan.Rati Ningsih menunjuk lubang di atap gua. “Kau bisa keluar dari gua ini melalui lubang itu. Berhati-hatilah karena ada banyak batu tajam. Ketika k
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me