“Sekitar dua puluh atau dua puluh lima tahun lalu Nyi Genit, para panglima siluman, dan para pengikutnya mengerahkan pasukan besar-besar untuk menghabisi para siluman yang enggan tunduk pada Gusti Totok Surya. Kabar mengatakan mereka sudah tewas, tapi mungkin saja ada beberapa siluman yang selamat,” jelas Jatna.“Kenapa mereka menolak untuk tunduk pada Gusti Totok Surya? Bukankah Gusti Totok Surya memberi kekuatan sekaligus perlindungan?” tanya Wira.“Seperti bangsa manusia, terdapat siluman golongan putih dan siluman golongan hitam. Siluman golongan putih adalah siluman yang menjauhkan diri dari manusia atau justru membantu manusia dalam hal kebaikan.”“Di bulan purnama berikutnya, Nyi Genit, para siluaman, dan pendekar golongan hitam akan berkumpul di Batu Nangkarak. Aku juga akan berada di sana.”Jatna dan Rati Ningsih saling bertatapan.Rati Ningsih menunjuk lubang di atap gua. “Kau bisa keluar dari gua ini melalui lubang itu. Berhati-hatilah karena ada banyak batu tajam. Ketika k
Ganawirya dan Sekar Sari bergabung bersama para tabib di tanah lapang. Indra, Meswara, Jaka, Arya, Geni, Jaya, Barma, dan murid-murid padepokan yang lain bertugas untuk menjaga para tabib di sekeliling tanah lapang. Dari ketinggian, mereka terlihat seperti barisan semut yang tengah berkumpul.Ganawirya berjalan beberapa langkah, mengamati seluruh tabib. “Aku mengucapkan selamat datang pada kalian semua, para calon tabib hebat, di Padepokan Merak Bodas. Aku merasa bangga bisa menyambut kalian di tempat ini.”“Seperti yang telah kalian ketahui, pertarungan besar sudah terjadi beberapa minggu yang lalu. Para tabib menjadi salah satu bagian penting dalam kemenangan pendekar golongan putih. Dalam pertarungan itu, para tabib bertugas untuk membuat ramuan dan obat-obatan sebanyak-sebanyaknya, mengobati pendekar yang terluka, hingga yang paling penting adalah membuat ramuan penawar racun kalong setan.”“Meski para tabib tidak terlibat langsung dalam pertarungan, tetapi keberadaan para tabib m
Lingga mengendalikan napas yang terengah-engah setelah selesai dengan latihan. Ia mengembus napas panjang, menatap bintang yang bertaburan di langit. “Indah sekali.” Tarusbawa menendang sebuah kelapa muda pada Lingga. “Kau memiliki waktu beristirahat sebentar. Gunakan waktumu dengan baik karena setelah itu aku akan memberikan kabar penting untukmu, Lingga.” Lingga menengus air kelapa muda, menghabiskan buah hingga tidak bersisa. Ia berbaring di tanah, menatap langit yang dihiasi bintang. “Rasa lelahku seketika menghilang. Aku menjadi teringat dengan masa-masa saat aku masih berada di Ledok Beurit. Aku selalu berbaring setelah latihan di hutan.” Lingga tertawa. “Aku berlatih tanpa sepengetahuan Aki. Waktu berlalu dengan sangat cepat hingga aku berada di tempat ini sekarang. Nyatanya banyak hal yang sudah aku lewati.” Lingga memejamkan mata, tertidur. Tarusbawa mengamati Lingga dari puncak pohon. “Lingga sudah berjuang sangat keras selama berlatih. Aku sebaiknya memberitahunya esok
Lingga tengah duduk bersila di atas sebuah batu bersama di tengah sungai. Angin berembus sepoi-sepoi. Beberapa daun terlihat meliuk-meliuk tertiup angin. Beberapa ranting pohon terserat arus di mana sebagai tertahan di batu.Lingga tengah bersemedi untuk mendapatkan ketenangan batin. Tarusbawa tidak lagi melatihnya dan memintanya untuk berlatih mandiri.Lingga memusatkan seluruh perhatian dan kekuatan. Ia seakan tengah berada di sebuah tangga berbatu dengan pemandangan yang dikelilingi warna putih. Setiap kali ia berjalan akan muncul tanaman merambat yang kemudian menutup jalan di bawahnya.“Aku berada di tangga ini lagi. Aku ingin tahu sejauh mana aku bisa berjalan sekarang. Waktu itu aku hanya berjalan sampai titik ini. Semakin aku memaksa untuk berjalan, semakin sulit juga aku bernapas dan mengendalikan kekuatanku.”Lingga berhasil menembus penghalang, tersenyum. Ia berjalan dengan penuh ketenangan sampai akhirnya ia dihadapkan pada beragam kejadian yang sudah dirinya alami selama
“Para pendekar golongan hitam dan para siluman akan pergi ke Batu Nangkarak saat bulan purnama nanti. Mereka akan bertemu dengan Nyi Genit. Aku yakin Wira, Danuseka, dan Darmasena akan berada di sana,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana bersembunyi ketika melihat beberapa pendekar mendekat ke arah kerumunan. “Wira, Danuseka, dan Darmasena serata para pendekar golongan hitam mengumpulkan banyak pasukan dari bangsa manusia dan siluman untuk menjadi pasukan Nyi Genit. Aku harus segera mengabari Raka Tarusbawa, Ganawirya, dan para petinggi golongan putih yang lain.”“Siapa itu?” tanya salah satu pendekar golongan hitam seraya melayangkan pisau ke arah rerimbunan pohon.“Ada apa?” Para pendekar lain segera berdiri, mengeluarkan senjata masing-masing.“Aku merasakan jika seseorang sedang mengawasi kita dari kegelapan. Bersiagalah sekarang. Kita tidak boleh membiarkan penguntit kabur. Dia bisa saja adalah pendekar golongan putih.”Para pendekar golongan hitam segera menyebar ke sekeliling u
Limbur Kancana segera menemui para petinggi pendekar golongan putih untuk mengabarkan kabar yang baru saja ia ketahui soal Nyi Genit dan rencananya. Ia berpindah dari satu petinggi ke petinggi lain hingga akhirnya sampai pada Wirayuda.“Aku tampaknya tidak harus memberitahumu lagi, Wirayuda,” ujar Limbur Kancana.“Ketakutanku akhirnya terbukti. Saat dugaan mengenai kaburnya Nyi Genit dari penjara di Jaya Tonggoh, aku merasa jika dugaan itu akan menjadi kenyataan.” Wirayuda keluar dari gubuk, menuruni undakan tangga kayu, mengamati para pendekar yang tengah berlatih di tanah lapang.“Aku menduga jika Totok Surya ingin membangunkan para bawahan setianya yang terkurung di suatu tempat. Dalam pertarungan terakhir, dia membantu para pendekar golongan putih dari kejauhan.”“Totok Surya ingin kembali ke rimba persilatan.” Wirayuda menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Wajahnya tampak ketakutan. “Kita kesulitan menghadapinya saat di pertarungan terkahir. Bagaimana jadinya jika dia muncul kembal
Jatnika tanpa sadar memasukkan kakinya ke lubang jendela. Matanya berkilap merah sebab kekuatan Nyi Genit.“Hei, apa yang kau lakukan, Jatnika?” Seorang murid langsung menarik Jatnika menjauh. Tindakannya seketika diiikuti oleh murid-murid yang lain.“Kau akan membuat Sekar Sari menyadari kehadiran kita.”“Kita tidak boleh membuat keributan di tengah malam seperti ini.”“Kita akan habis jika Guru Ganawirya, Kakang Indra, dan yang lain mengetahui keberadaan kita di sini.”“Aku harus menemui gadis itu.” Jatnika memberontak, berusaha untuk masuk. Akan tetapi, teman-temannya yang lain dengan cepat mencegahnya.“Jangan gila, Jatnika!”“Kendalikan dirimu atau aku akan memotong burungmu!”“Siapa di sana?” Sekar Sari seketika menoleh ke arah jendela, menyimpan golongan ke rak, mendekat pada jendela.Jatnika kembali ke keadaan semula. Tubuhnya ditarik oleh teman-temannya untuk berjongkok dan bersembunyi di bawah gubuk.Sekar Sari membuka jendela, mengawasi keadaan sekeliling. “Aku seperti mend
Limbur Kancana duduk di sebuah bangku kosong, memberi tanda pada Wirayuda untuk segera membuka pertemuan. Suasana tampak hening dan tegang. Sepuluh Tiruan Limbur Kancana duduk di belakang para petinggi golongan putih.Di luar gubuk, beberapa pendekar tampak mengawasi pertemuan, sedangkan para pendekar yang akan berlatih justru bertanya-tanya.“Aku melihat Guru Limbur Kancana memasuki gubuk untuk menemui para petinggi golongan putih. Tampaknya keadaan memang sedang gawat,” bisik Dharma.“Ya, aku semakin penasaran. Pertemuan ini tidak mungkin diadakan tanpa sebab.” Galih Jaya menyahut, menoleh pada Gubuk.“Aku sempat mendengar kabar dari beberapa pendekar penjaga jika Nyi Genit bebas dari penjara di Jaya Tonggoh,” ujar Ajisoka.Galih Jaya, Dharma, Amarsa, dan beberapa pendekar lain tampak terkejut.Ajisoka memberi tanda untuk diam pada teman-temannya. “Jika Nyi Genit benar-benar bebas, maka kita semua berada dalam bahaya. Siluman wanita itu mungkin sedang merencanakan sesuatu yang buruk
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me