Lingga mengendalikan napas yang terengah-engah setelah selesai dengan latihan. Ia mengembus napas panjang, menatap bintang yang bertaburan di langit. “Indah sekali.” Tarusbawa menendang sebuah kelapa muda pada Lingga. “Kau memiliki waktu beristirahat sebentar. Gunakan waktumu dengan baik karena setelah itu aku akan memberikan kabar penting untukmu, Lingga.” Lingga menengus air kelapa muda, menghabiskan buah hingga tidak bersisa. Ia berbaring di tanah, menatap langit yang dihiasi bintang. “Rasa lelahku seketika menghilang. Aku menjadi teringat dengan masa-masa saat aku masih berada di Ledok Beurit. Aku selalu berbaring setelah latihan di hutan.” Lingga tertawa. “Aku berlatih tanpa sepengetahuan Aki. Waktu berlalu dengan sangat cepat hingga aku berada di tempat ini sekarang. Nyatanya banyak hal yang sudah aku lewati.” Lingga memejamkan mata, tertidur. Tarusbawa mengamati Lingga dari puncak pohon. “Lingga sudah berjuang sangat keras selama berlatih. Aku sebaiknya memberitahunya esok
Lingga tengah duduk bersila di atas sebuah batu bersama di tengah sungai. Angin berembus sepoi-sepoi. Beberapa daun terlihat meliuk-meliuk tertiup angin. Beberapa ranting pohon terserat arus di mana sebagai tertahan di batu.Lingga tengah bersemedi untuk mendapatkan ketenangan batin. Tarusbawa tidak lagi melatihnya dan memintanya untuk berlatih mandiri.Lingga memusatkan seluruh perhatian dan kekuatan. Ia seakan tengah berada di sebuah tangga berbatu dengan pemandangan yang dikelilingi warna putih. Setiap kali ia berjalan akan muncul tanaman merambat yang kemudian menutup jalan di bawahnya.“Aku berada di tangga ini lagi. Aku ingin tahu sejauh mana aku bisa berjalan sekarang. Waktu itu aku hanya berjalan sampai titik ini. Semakin aku memaksa untuk berjalan, semakin sulit juga aku bernapas dan mengendalikan kekuatanku.”Lingga berhasil menembus penghalang, tersenyum. Ia berjalan dengan penuh ketenangan sampai akhirnya ia dihadapkan pada beragam kejadian yang sudah dirinya alami selama
“Para pendekar golongan hitam dan para siluman akan pergi ke Batu Nangkarak saat bulan purnama nanti. Mereka akan bertemu dengan Nyi Genit. Aku yakin Wira, Danuseka, dan Darmasena akan berada di sana,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana bersembunyi ketika melihat beberapa pendekar mendekat ke arah kerumunan. “Wira, Danuseka, dan Darmasena serata para pendekar golongan hitam mengumpulkan banyak pasukan dari bangsa manusia dan siluman untuk menjadi pasukan Nyi Genit. Aku harus segera mengabari Raka Tarusbawa, Ganawirya, dan para petinggi golongan putih yang lain.”“Siapa itu?” tanya salah satu pendekar golongan hitam seraya melayangkan pisau ke arah rerimbunan pohon.“Ada apa?” Para pendekar lain segera berdiri, mengeluarkan senjata masing-masing.“Aku merasakan jika seseorang sedang mengawasi kita dari kegelapan. Bersiagalah sekarang. Kita tidak boleh membiarkan penguntit kabur. Dia bisa saja adalah pendekar golongan putih.”Para pendekar golongan hitam segera menyebar ke sekeliling u
Limbur Kancana segera menemui para petinggi pendekar golongan putih untuk mengabarkan kabar yang baru saja ia ketahui soal Nyi Genit dan rencananya. Ia berpindah dari satu petinggi ke petinggi lain hingga akhirnya sampai pada Wirayuda.“Aku tampaknya tidak harus memberitahumu lagi, Wirayuda,” ujar Limbur Kancana.“Ketakutanku akhirnya terbukti. Saat dugaan mengenai kaburnya Nyi Genit dari penjara di Jaya Tonggoh, aku merasa jika dugaan itu akan menjadi kenyataan.” Wirayuda keluar dari gubuk, menuruni undakan tangga kayu, mengamati para pendekar yang tengah berlatih di tanah lapang.“Aku menduga jika Totok Surya ingin membangunkan para bawahan setianya yang terkurung di suatu tempat. Dalam pertarungan terakhir, dia membantu para pendekar golongan putih dari kejauhan.”“Totok Surya ingin kembali ke rimba persilatan.” Wirayuda menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Wajahnya tampak ketakutan. “Kita kesulitan menghadapinya saat di pertarungan terkahir. Bagaimana jadinya jika dia muncul kembal
Jatnika tanpa sadar memasukkan kakinya ke lubang jendela. Matanya berkilap merah sebab kekuatan Nyi Genit.“Hei, apa yang kau lakukan, Jatnika?” Seorang murid langsung menarik Jatnika menjauh. Tindakannya seketika diiikuti oleh murid-murid yang lain.“Kau akan membuat Sekar Sari menyadari kehadiran kita.”“Kita tidak boleh membuat keributan di tengah malam seperti ini.”“Kita akan habis jika Guru Ganawirya, Kakang Indra, dan yang lain mengetahui keberadaan kita di sini.”“Aku harus menemui gadis itu.” Jatnika memberontak, berusaha untuk masuk. Akan tetapi, teman-temannya yang lain dengan cepat mencegahnya.“Jangan gila, Jatnika!”“Kendalikan dirimu atau aku akan memotong burungmu!”“Siapa di sana?” Sekar Sari seketika menoleh ke arah jendela, menyimpan golongan ke rak, mendekat pada jendela.Jatnika kembali ke keadaan semula. Tubuhnya ditarik oleh teman-temannya untuk berjongkok dan bersembunyi di bawah gubuk.Sekar Sari membuka jendela, mengawasi keadaan sekeliling. “Aku seperti mend
Limbur Kancana duduk di sebuah bangku kosong, memberi tanda pada Wirayuda untuk segera membuka pertemuan. Suasana tampak hening dan tegang. Sepuluh Tiruan Limbur Kancana duduk di belakang para petinggi golongan putih.Di luar gubuk, beberapa pendekar tampak mengawasi pertemuan, sedangkan para pendekar yang akan berlatih justru bertanya-tanya.“Aku melihat Guru Limbur Kancana memasuki gubuk untuk menemui para petinggi golongan putih. Tampaknya keadaan memang sedang gawat,” bisik Dharma.“Ya, aku semakin penasaran. Pertemuan ini tidak mungkin diadakan tanpa sebab.” Galih Jaya menyahut, menoleh pada Gubuk.“Aku sempat mendengar kabar dari beberapa pendekar penjaga jika Nyi Genit bebas dari penjara di Jaya Tonggoh,” ujar Ajisoka.Galih Jaya, Dharma, Amarsa, dan beberapa pendekar lain tampak terkejut.Ajisoka memberi tanda untuk diam pada teman-temannya. “Jika Nyi Genit benar-benar bebas, maka kita semua berada dalam bahaya. Siluman wanita itu mungkin sedang merencanakan sesuatu yang buruk
“Ini pemandangan yang sangat indah,” ujar Darmasena.Danuseka menyahut, “Jangan tertipu oleh matamu, Darmasena. Meski tempat ini sangat indah, tapi tersembunyi banyak hal yang sangat berbahaya. Hal itulah yang menyebabkan tempat ini jarang sekali didatangani oleh manusia.”“Ah, kau benar, Danuseka. Aku merasakan hawa mistis yang pekat. Tempat ini tampaknya dihuni oleh para siluman yang berbahaya.”“Tempat ini memang dulunya menjadi sarang para siluman. Akan tetapi, setelah pertarungan di Jaya Tonggoh beberapa waktu lalu, tampaknya tempat ini mulai ditinggalkan oleh para siluman. Hawanya tidak terlalu menyeramkan.”“Apa kau pernah pergi ke tempat ini sebelumnya, Danuseka?”“Ya, aku pernah menjelajahi tempat ini bersama pasukanku untuk mencari pemuda pewaris kujang emas. Para siluman bersemayam di tempat ini dan seringkali menangguku dan pasukanku. Barulah saat aku mengatakan bahwa aku adalah suruhan Gusti Totok Surya, mereka berhenti mengangguku.”Danuseka dan Darmasena melompat dari t
Empat pendekar pria dan dua pendekar wanita bergabung dengan Limbur Kancana, Jaya Sasana, Manggala Putra, dan Candra Kirana di gubuk.“Salah satu tiruanku sudah sampai di hutan yang dekat dengan Batu Nangkarak. Ketika kita sudah sampai, aku juga akan mengirim beberapa kelompok pendekar untuk menjaga wilayah selatan,” ujar Limbur Kancana.Jaya Sasana menanggapi, “Wilayah Batu Nangkarak adalah wilayah yang berbahaya karena wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan beberapa siluman kuat. Kemungkinan mereka sudah bergabung dengan Nyi Genit. Para pendekar biasa akan kesulitan untuk menghadapi mereka.”Candra Kirana menambahkan, “Aku sependapat dengan Jaya Sasana. Wilayah itu adalah wilayah yang sudah lama tidak dihuni oleh manusia bertahun-tahun lamanya. Jika tidak berhati-hati, hal buruk bisa saja terjadi.”“Mengingat bagaimana sepak terjang Nyi Genit dalam pertarungan beberapa waktu lalu, Totok Surya berada di balik siluman wanita itu. Kita akan sangat kesulitan jika harus bertarung dengan