Jaya Sasana memekik kencang hingga suaranya terdengar hingga ke sisi Jaya Tonggoh dan sekitarnya. Wira dan Danuseka yang tengah berada di sisi sungai seketika menoleh ke arah Jaya Tonggoh ketika mendengar teriakan itu.Jaya Sasana melompat tinggi bersamaan dengan para pendekar yang melesat maju. Pendekar berusia empat puluh tahunan dengan tubuh tinggi tegap itu segera menghimpun kekuatan, memanggil kesepuluh tiruan, lalu bergerak cepat menyusul para pendekar. Di saat yang sama, golongan hitam ikut menyerang.Seorang pendekar dengan rambut panjang menoleh pada Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Bakti Jaya, dan Tapasena, tersenyum. “Akan sampai kapan kalian terduduk menyedihkan seperti itu? Aku datang bukan untuk melihat kalian bersantai.”“Tutup mulutmu, Manggala Putra,” ujar Ekawira, “di saat kau tertidur pulas, kami semua sudah mempertaruhkan nyawa untuk menghadapi kedua siluman itu dan juga pasukan musuh. Kau sebaiknya segera menyusul Jaya Sasana dan para pendekar ya
“Suara siapa itu?” tanya Candra Kirana seraya berdiri dari tanah. Ia merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat.“Suasana ini membuatku tidak nyaman.” Manggala Putra mengawasi keadaan sekeliling, mengeratkan pegangan pada tombaknya.Jaya Sasana mengarahkan pedangnya ke atas, menghimpun kekuatan, menajamkan seluruh indranya untuk mengetahui dari mana suara itu berasal. Pedanganya tiba-tiba menunjuk arah langit. “Di sana. Suara itu muncul dari arah langit.”Semua perhatian para pendekar golongan putih seketika mendongak ke langit. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng tertawa meremehkan. Tarusbawa berdiri dengan bantuan Indra dan Meswara. Ia mengerahkan kekuatannya, tetapi kekuatannya sudah sepenuhnya terkunci. “Suara ini berasal dari Totok Surya. Dia adalah pemimpin para pendekar golongan hitam.”“Totok Surya.” Para pendekar terkejut ketika mendengar nama tersebut, ditambah keadaan yang semakin mencekam dengan angin dan
“Aku benar-benar malu karena disadarkan oleh seorang gadis muda.” Kolot Raga terkekeh. “Aku melewati masa muda yang kotor, tapi aku ingin memilih akhir hidupku di jalan yang putih.”“Aku akan benar-benar malu pada diriku sendiri jika aku menyerah setelah melewati semua hal menyulitkan yang aku alami di pertempuran ini.” Ekawira berusaha melawan tekanan. “Siapa pun pemuda pewaris kujang emas itu dan di mana pun dia berada sekarang, aku menaruh kepercayaanku padanya sekarang.”“Tekanan ini tidak akan membunuhku.” Galisaka mengerahkan kekuatan. “Aku masih harus melakukan sesuatu sebelum aku mati.”“Jika aku menyerah, aku hanya akan menjadi contoh buruk untuk pendekar setelahku.” Jatiraga menghimpun kekuatan.“Aku sudah mengatakan jika aku siap mati dalam pertarungan ini. Untuk itu, akan memalukan jika aku menyerah.” Bakti Jaya memusatkan seluruh kekuatan dalam satu titik.“Aku nyaris berkali-kali mati dalam pertempuran ini dan hingga saat ini aku berhasil bertahan. Untuk itu, aku tidak a
Petir menggelegar sangat kencang, disusul kilatan cahaya emas yang tiba-tiba muncul di langit. Angin berembus kuat ke sekeliling. Keadaan Jaya Tonggoh dan sekitarnya menjadi terang benderang.“Apa yang terjadi?” tanya Nyi Genit keheranan, “aku merasakan sesuatu yang berbahaya akan terjadi? Apa para pendekar bodoh itu masih memiliki senjata untuk mengalahku dan yang lain? Ini tidak mungkin.”Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, dan Kartasura melompat mundur, mengawasi keadaan sekeliling. Mereka tak kalah cemas dari Nyi Genit. Sementara itu, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng dan para siluman masih bertarung dengan Dharma dan para pendekar.Di saat yang sama, para pendekar golongan putih yang terbaring di tanah mulai dilanda penasaran dengan alam yang seolah mengamuk. Mereka saling menoleh satu sama lain, menatap cemas dan ketakutan, berharap ada seseorang yang bisa menjelaskan keadaan ini.“Apa yang terjadi?” tanya Wirayuda, “apa mungkin Totok Surya ak
Lingga mengamati kujang emas di tangannya yang bersinar terang. Ingatannya seketika ditarik ke masa silam ketika dirinya berhasil membangkitkan pusaka kujang emas untuk pertama kali di Legok Beurit. Matanya dipenuhi genangan air mata ketika teringat dengan Ki Petot. “Aki, aku berhasil membangkitkan kujang emas. Terima kasih atas semua pengorbananmu selama ini. Aku akan melakukan tugas ini dengan baik, Ki. Aku berjanji.” Cahaya terang mengelilingi Lingga hingga para pendekar tidak bisa melihat Lingga dengan jelas karena cahaya yang menyilaukan. Sementara itu, ketiga Jurig Lolong dan para siluman memekik kesakitan ketika terkena cahaya Lingga. “Apa ini?” Nyi Genit menutupi cahaya dengan selendang kuningnya, bergerak mundur. “Aku merasakan kekuatan sangat besar yang melup-luap.” Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng, Wintara, dan Nilasari terus mundur. “Kakang, apa ini?” Nilasari menutup wajah dengan selendang. “Aku kesakitan bahkan dari jarak sejauh ini. Cahaya apa itu seb
Para pendekar golongan putih tampak takjub ketika melihat Lingga dan kekuatan kujang emasnya yang bisa mengurung pasukan golongan hitam ke langit dengan sangat mudah. Lingga terbang mengelilingi dua batu yang akan menyatu. Kujang emasnya bersinar sangat terang sehingga suasana Jaya Tonggoh dan sekitarnya seperti siang hari. Dua batu yang akan menyatu diselimuti cahaya kuning keemasan. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng berusaha untuk melepaskan diri di saat kekuatan mereka semakin berkurang. Akan tetapi, mereka tidak bisa lepas sedikit pun dari dua batu yang dengan cepat menyatu. Lingga terbang melesat ke atas bersama bongkahan batu raksasa yang mengurung pasukan golongan hitam. “Kalian sudah terlalu banyak melakukan kejahatan dan membuat semua orang menderita. Kalian harus membayar dosa-dosa kalian.” Tanah di Jaya Tonggoh terbelah menjadi dua bagian, membentuk sebuah lubang besar menganga. Para pendekar golo
“Kita berhasil mengalahkan mereka!” “Kita menang!” “Kita menang!” “Pertarungan sudah usai!” Para pendekar golongan putih mulai bersorak gembira menyadari para pendekar golongan hitam sudah sepenuhnya lenyap dari Jaya Tonggoh. Mereka melompatlompat kegirangan, saling memeluk dengan rekan mereka masing-masing. Air mata jatuh bersama suara pekikan yang menggema ke seluruh Jaya Tonggoh. Lingga tersenyum, menghadap semua pendekar di dekatnya. “Kita semua menang.” Kesepuluh petinggi golongan putih terkejut ketika melihat Lingga dari dekat. Mereka terdiam selama beberapa waktu, saling menoleh satu sama lain. Mereka tidak menduga jika pewaris kujang emas nyatanya adalah pendekar yang masih sangat muda. “Masa depan kita bergantung pada pendekar muda itu,” ujar Wiryuda dengan perasaan sangat lega. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kita berhasil memenangkan pertempuran ini. Wintara dan Nilasari, bahkan para kelima anggota Cakar Setan dan para siluman berhasil dikalahkan.” “Pemuda itu data
“Lingga!” Lingga terhuyung ke samping tepat saat ia kehilangan kesadaran. Limbur Kancana segera menahan tubuh pemuda itu, membaringkannya di tanah. “Aku akan mengobatinya.” Ganawirya segera mengalirkan kekuatannya ke tubuh Lingga. “Dia hanya kelelahan karena terlalu banyak menggunakan kekuatan.” “Memanggil kujang emas dan menggunakan kekuatan besar pusaka itu pastinya membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit,” ujar Tarusbawa. Tarusbawa menatap kesepuluh petingi golongan putih. “Kabar mengenai kemenangan kita harus disebarkan ke seluruh pelosok tanah Pasundan. Kabar ini akan menjadi titik balik bagi kehidupan para pendekar dan warga. Meski kemenangan berada di tangan kita, tapi tidak menutup kemungkinan jika musuh-musuh baru akan datang dan membawa kekacauan lebih buruk. Kita harus segera mempersiapkan langkah berikutnya.” “Aku mengerti,” ucap Wirayuda, menoleh pada petinggi golongan putih yang lain. “Aku dan Limbur Kancana akan bertugas untuk meliatih Lingga di suatu tempat. Kalia
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me