“Suara siapa itu?” tanya Candra Kirana seraya berdiri dari tanah. Ia merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat.“Suasana ini membuatku tidak nyaman.” Manggala Putra mengawasi keadaan sekeliling, mengeratkan pegangan pada tombaknya.Jaya Sasana mengarahkan pedangnya ke atas, menghimpun kekuatan, menajamkan seluruh indranya untuk mengetahui dari mana suara itu berasal. Pedanganya tiba-tiba menunjuk arah langit. “Di sana. Suara itu muncul dari arah langit.”Semua perhatian para pendekar golongan putih seketika mendongak ke langit. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng tertawa meremehkan. Tarusbawa berdiri dengan bantuan Indra dan Meswara. Ia mengerahkan kekuatannya, tetapi kekuatannya sudah sepenuhnya terkunci. “Suara ini berasal dari Totok Surya. Dia adalah pemimpin para pendekar golongan hitam.”“Totok Surya.” Para pendekar terkejut ketika mendengar nama tersebut, ditambah keadaan yang semakin mencekam dengan angin dan
“Aku benar-benar malu karena disadarkan oleh seorang gadis muda.” Kolot Raga terkekeh. “Aku melewati masa muda yang kotor, tapi aku ingin memilih akhir hidupku di jalan yang putih.”“Aku akan benar-benar malu pada diriku sendiri jika aku menyerah setelah melewati semua hal menyulitkan yang aku alami di pertempuran ini.” Ekawira berusaha melawan tekanan. “Siapa pun pemuda pewaris kujang emas itu dan di mana pun dia berada sekarang, aku menaruh kepercayaanku padanya sekarang.”“Tekanan ini tidak akan membunuhku.” Galisaka mengerahkan kekuatan. “Aku masih harus melakukan sesuatu sebelum aku mati.”“Jika aku menyerah, aku hanya akan menjadi contoh buruk untuk pendekar setelahku.” Jatiraga menghimpun kekuatan.“Aku sudah mengatakan jika aku siap mati dalam pertarungan ini. Untuk itu, akan memalukan jika aku menyerah.” Bakti Jaya memusatkan seluruh kekuatan dalam satu titik.“Aku nyaris berkali-kali mati dalam pertempuran ini dan hingga saat ini aku berhasil bertahan. Untuk itu, aku tidak a
Petir menggelegar sangat kencang, disusul kilatan cahaya emas yang tiba-tiba muncul di langit. Angin berembus kuat ke sekeliling. Keadaan Jaya Tonggoh dan sekitarnya menjadi terang benderang.“Apa yang terjadi?” tanya Nyi Genit keheranan, “aku merasakan sesuatu yang berbahaya akan terjadi? Apa para pendekar bodoh itu masih memiliki senjata untuk mengalahku dan yang lain? Ini tidak mungkin.”Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, dan Kartasura melompat mundur, mengawasi keadaan sekeliling. Mereka tak kalah cemas dari Nyi Genit. Sementara itu, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng dan para siluman masih bertarung dengan Dharma dan para pendekar.Di saat yang sama, para pendekar golongan putih yang terbaring di tanah mulai dilanda penasaran dengan alam yang seolah mengamuk. Mereka saling menoleh satu sama lain, menatap cemas dan ketakutan, berharap ada seseorang yang bisa menjelaskan keadaan ini.“Apa yang terjadi?” tanya Wirayuda, “apa mungkin Totok Surya ak
Lingga mengamati kujang emas di tangannya yang bersinar terang. Ingatannya seketika ditarik ke masa silam ketika dirinya berhasil membangkitkan pusaka kujang emas untuk pertama kali di Legok Beurit. Matanya dipenuhi genangan air mata ketika teringat dengan Ki Petot. “Aki, aku berhasil membangkitkan kujang emas. Terima kasih atas semua pengorbananmu selama ini. Aku akan melakukan tugas ini dengan baik, Ki. Aku berjanji.” Cahaya terang mengelilingi Lingga hingga para pendekar tidak bisa melihat Lingga dengan jelas karena cahaya yang menyilaukan. Sementara itu, ketiga Jurig Lolong dan para siluman memekik kesakitan ketika terkena cahaya Lingga. “Apa ini?” Nyi Genit menutupi cahaya dengan selendang kuningnya, bergerak mundur. “Aku merasakan kekuatan sangat besar yang melup-luap.” Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng, Wintara, dan Nilasari terus mundur. “Kakang, apa ini?” Nilasari menutup wajah dengan selendang. “Aku kesakitan bahkan dari jarak sejauh ini. Cahaya apa itu seb
Para pendekar golongan putih tampak takjub ketika melihat Lingga dan kekuatan kujang emasnya yang bisa mengurung pasukan golongan hitam ke langit dengan sangat mudah. Lingga terbang mengelilingi dua batu yang akan menyatu. Kujang emasnya bersinar sangat terang sehingga suasana Jaya Tonggoh dan sekitarnya seperti siang hari. Dua batu yang akan menyatu diselimuti cahaya kuning keemasan. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng berusaha untuk melepaskan diri di saat kekuatan mereka semakin berkurang. Akan tetapi, mereka tidak bisa lepas sedikit pun dari dua batu yang dengan cepat menyatu. Lingga terbang melesat ke atas bersama bongkahan batu raksasa yang mengurung pasukan golongan hitam. “Kalian sudah terlalu banyak melakukan kejahatan dan membuat semua orang menderita. Kalian harus membayar dosa-dosa kalian.” Tanah di Jaya Tonggoh terbelah menjadi dua bagian, membentuk sebuah lubang besar menganga. Para pendekar golo
“Kita berhasil mengalahkan mereka!” “Kita menang!” “Kita menang!” “Pertarungan sudah usai!” Para pendekar golongan putih mulai bersorak gembira menyadari para pendekar golongan hitam sudah sepenuhnya lenyap dari Jaya Tonggoh. Mereka melompatlompat kegirangan, saling memeluk dengan rekan mereka masing-masing. Air mata jatuh bersama suara pekikan yang menggema ke seluruh Jaya Tonggoh. Lingga tersenyum, menghadap semua pendekar di dekatnya. “Kita semua menang.” Kesepuluh petinggi golongan putih terkejut ketika melihat Lingga dari dekat. Mereka terdiam selama beberapa waktu, saling menoleh satu sama lain. Mereka tidak menduga jika pewaris kujang emas nyatanya adalah pendekar yang masih sangat muda. “Masa depan kita bergantung pada pendekar muda itu,” ujar Wiryuda dengan perasaan sangat lega. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kita berhasil memenangkan pertempuran ini. Wintara dan Nilasari, bahkan para kelima anggota Cakar Setan dan para siluman berhasil dikalahkan.” “Pemuda itu data
“Lingga!” Lingga terhuyung ke samping tepat saat ia kehilangan kesadaran. Limbur Kancana segera menahan tubuh pemuda itu, membaringkannya di tanah. “Aku akan mengobatinya.” Ganawirya segera mengalirkan kekuatannya ke tubuh Lingga. “Dia hanya kelelahan karena terlalu banyak menggunakan kekuatan.” “Memanggil kujang emas dan menggunakan kekuatan besar pusaka itu pastinya membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit,” ujar Tarusbawa. Tarusbawa menatap kesepuluh petingi golongan putih. “Kabar mengenai kemenangan kita harus disebarkan ke seluruh pelosok tanah Pasundan. Kabar ini akan menjadi titik balik bagi kehidupan para pendekar dan warga. Meski kemenangan berada di tangan kita, tapi tidak menutup kemungkinan jika musuh-musuh baru akan datang dan membawa kekacauan lebih buruk. Kita harus segera mempersiapkan langkah berikutnya.” “Aku mengerti,” ucap Wirayuda, menoleh pada petinggi golongan putih yang lain. “Aku dan Limbur Kancana akan bertugas untuk meliatih Lingga di suatu tempat. Kalia
“Di mana aku?” “Bukankah aku sedang berada di Jaya Tonggoh setelah bertarung dengan pasukan pendekar golongan hitam?” “Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Lingga mengamati keadaan sekeliling. “Aku belum pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku juga tidak pernah melihat bangunan megah itu.” “Tunggu.” Lingga berusaha mengingat-ingat. “Tangga dan batu-batu runcing itu mengingatkanku pada bangunan yang berada di alam lain yang pernah aku naiki.” Lingga melompat ke depan, melihat lebih jelas bangunan bertingkat dengan halaman yang sangat luas. “Benar. Tangga berbatu dan batu-baru runcing itu mengingatkanku pada bangunan di alam lain yang pernah aku naiki. Di tempat itulah aku mendapatkan tugas untuk mendapatkan ketiga mustika untuk bisa menguasai kekuatan kujang emas sepenuhnya.” Lingga bergeser ke samping ketika melihat pasukan berkuda memasuki gerbang istana. Tubuhnya berhasil ditembus oleh beberapa prajurit yang berjalan kaki. Lingga terdiam agak lama. “Apa mungkin aku te