Lingga mengamati kujang emas di tangannya yang bersinar terang. Ingatannya seketika ditarik ke masa silam ketika dirinya berhasil membangkitkan pusaka kujang emas untuk pertama kali di Legok Beurit. Matanya dipenuhi genangan air mata ketika teringat dengan Ki Petot. “Aki, aku berhasil membangkitkan kujang emas. Terima kasih atas semua pengorbananmu selama ini. Aku akan melakukan tugas ini dengan baik, Ki. Aku berjanji.” Cahaya terang mengelilingi Lingga hingga para pendekar tidak bisa melihat Lingga dengan jelas karena cahaya yang menyilaukan. Sementara itu, ketiga Jurig Lolong dan para siluman memekik kesakitan ketika terkena cahaya Lingga. “Apa ini?” Nyi Genit menutupi cahaya dengan selendang kuningnya, bergerak mundur. “Aku merasakan kekuatan sangat besar yang melup-luap.” Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng, Wintara, dan Nilasari terus mundur. “Kakang, apa ini?” Nilasari menutup wajah dengan selendang. “Aku kesakitan bahkan dari jarak sejauh ini. Cahaya apa itu seb
Para pendekar golongan putih tampak takjub ketika melihat Lingga dan kekuatan kujang emasnya yang bisa mengurung pasukan golongan hitam ke langit dengan sangat mudah. Lingga terbang mengelilingi dua batu yang akan menyatu. Kujang emasnya bersinar sangat terang sehingga suasana Jaya Tonggoh dan sekitarnya seperti siang hari. Dua batu yang akan menyatu diselimuti cahaya kuning keemasan. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng berusaha untuk melepaskan diri di saat kekuatan mereka semakin berkurang. Akan tetapi, mereka tidak bisa lepas sedikit pun dari dua batu yang dengan cepat menyatu. Lingga terbang melesat ke atas bersama bongkahan batu raksasa yang mengurung pasukan golongan hitam. “Kalian sudah terlalu banyak melakukan kejahatan dan membuat semua orang menderita. Kalian harus membayar dosa-dosa kalian.” Tanah di Jaya Tonggoh terbelah menjadi dua bagian, membentuk sebuah lubang besar menganga. Para pendekar golo
“Kita berhasil mengalahkan mereka!” “Kita menang!” “Kita menang!” “Pertarungan sudah usai!” Para pendekar golongan putih mulai bersorak gembira menyadari para pendekar golongan hitam sudah sepenuhnya lenyap dari Jaya Tonggoh. Mereka melompatlompat kegirangan, saling memeluk dengan rekan mereka masing-masing. Air mata jatuh bersama suara pekikan yang menggema ke seluruh Jaya Tonggoh. Lingga tersenyum, menghadap semua pendekar di dekatnya. “Kita semua menang.” Kesepuluh petinggi golongan putih terkejut ketika melihat Lingga dari dekat. Mereka terdiam selama beberapa waktu, saling menoleh satu sama lain. Mereka tidak menduga jika pewaris kujang emas nyatanya adalah pendekar yang masih sangat muda. “Masa depan kita bergantung pada pendekar muda itu,” ujar Wiryuda dengan perasaan sangat lega. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kita berhasil memenangkan pertempuran ini. Wintara dan Nilasari, bahkan para kelima anggota Cakar Setan dan para siluman berhasil dikalahkan.” “Pemuda itu data
“Lingga!” Lingga terhuyung ke samping tepat saat ia kehilangan kesadaran. Limbur Kancana segera menahan tubuh pemuda itu, membaringkannya di tanah. “Aku akan mengobatinya.” Ganawirya segera mengalirkan kekuatannya ke tubuh Lingga. “Dia hanya kelelahan karena terlalu banyak menggunakan kekuatan.” “Memanggil kujang emas dan menggunakan kekuatan besar pusaka itu pastinya membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit,” ujar Tarusbawa. Tarusbawa menatap kesepuluh petingi golongan putih. “Kabar mengenai kemenangan kita harus disebarkan ke seluruh pelosok tanah Pasundan. Kabar ini akan menjadi titik balik bagi kehidupan para pendekar dan warga. Meski kemenangan berada di tangan kita, tapi tidak menutup kemungkinan jika musuh-musuh baru akan datang dan membawa kekacauan lebih buruk. Kita harus segera mempersiapkan langkah berikutnya.” “Aku mengerti,” ucap Wirayuda, menoleh pada petinggi golongan putih yang lain. “Aku dan Limbur Kancana akan bertugas untuk meliatih Lingga di suatu tempat. Kalia
“Di mana aku?” “Bukankah aku sedang berada di Jaya Tonggoh setelah bertarung dengan pasukan pendekar golongan hitam?” “Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Lingga mengamati keadaan sekeliling. “Aku belum pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku juga tidak pernah melihat bangunan megah itu.” “Tunggu.” Lingga berusaha mengingat-ingat. “Tangga dan batu-batu runcing itu mengingatkanku pada bangunan yang berada di alam lain yang pernah aku naiki.” Lingga melompat ke depan, melihat lebih jelas bangunan bertingkat dengan halaman yang sangat luas. “Benar. Tangga berbatu dan batu-baru runcing itu mengingatkanku pada bangunan di alam lain yang pernah aku naiki. Di tempat itulah aku mendapatkan tugas untuk mendapatkan ketiga mustika untuk bisa menguasai kekuatan kujang emas sepenuhnya.” Lingga bergeser ke samping ketika melihat pasukan berkuda memasuki gerbang istana. Tubuhnya berhasil ditembus oleh beberapa prajurit yang berjalan kaki. Lingga terdiam agak lama. “Apa mungkin aku te
“Di mana aku?” Lingga mengerjap-ngerjapkan mata, duduk dengan satu tangan memegang kepala yang berdenyut-denyut kencang.Lingga menoleh ke samping. “Talaga Asri. Aku berada di dalam gua. Tapi, keadaan gua sudah nyaris hancur. Mungkinkah gua ini menjadi salah satu tempat pertempuran?”“Lingga, akhirnya kau sadar,” ujar Geni yang mendekat bersama Jaya dan Barma. Murid padepokan lain segera mendekat.Sekar Sari dengan buru-buru melompat, tersenyum. “Kakang, syukurlah kau sudah sadar. Kami semua sangat mengkhawatirkanmu.”Lingga mengamati teman-teman seperguruannya. Ia berdiri dengan bantuan, Geni, Jaya, dan Barma. “Apa kalian baik-baik saja?”“Kami berhasil selamat karena bantuanmu, Lingga.” Geni menggeleng. “Maksudku, kami semua termasuk para pendekar selamat karena bantuanmu.”Ganawirya mendadak muncul di tengah kerumunan para murid padepokan, menggantikan posisi Geni, Jaya, dan Barma. “Lingga, duduklah. Aku akan memeriksa keadaanmu. Dan kalian semua, bersiaplah untuk pertemuan yang se
“Ampun, Gusti.” Nyi Genit bersujud. “Dengan kekuatan hamba sekarang, hamba tidak bisa banyak bergerak. Hamba juga akan sangat mudah dikalahkan oleh para pendekar, bahkan pendekar kecil sekalipun.”Totok Surya menggeram penuh amarah, menyentuh dadanya. “Saya akan membagi sedikit kekuatan saya pada kamu, Genit. Terimalah jika kamu memang tetap ingin hidup.”“Terima kasih, Gusti. Aku akan menerimanya dengan senang hati.” Nyi Genit tersenyum.Totok Surya berdiri dari kursi singgasana, melesatkan serangan ke arah Nyi Genit. “Jika kau sangat menginginkan kekuatan ini, kau akan bisa menahan rasa sakitnya, Genit.”“Ah!” Nyi Genit tiba-tiba menjerit sangat keras, memegang leher yang seperti tengah dicekik, berguling-guling hingga jatuh ke lantai bawah. Tubuhnya mendadak diselimuti oleh api hitam kemerahan.Totok Surya tertawa terbahak-bahak dan seketika berhenti ketika merasakan lukanya kembali terasa. “Aku terlalu banyak menggunakan kekuatanku. Terkutuklah kau, Nilakendra. Kau sudah mengutukk
Keharuan dan kenangan masa lalu seketika menyesaki perasaan Lingga. Matanya tampak bercaka-kaca, menunjukkan kerinduan, amarah, dan penyesalan. Lingga bisa membayangkan kehidupan lamanya di padepokan kecil ini. Pendekar muda itu bahkan bisa melihat sosok dirinya yang sedang dikejar-kejar oleh Ki Petot. Waktu terasa berjalan sangat cepat hingga ia kini kembali datang dalam sosok berbeda. Lingga juga bisa membayangkan halaman yang dipenuhi murid-murid padepokan untuk berlatih, bangunan kayu yang dijadikan sebagai rumah dan tempat berkumpulnya para murid dan kamar Ki Petot serta ruangan kecil di dekat dapur yang menjadi kamarnya. Menoleh ke atas, Lingga melihat beberapa pohon yang sempat ia gunakan sebagai tempat persembunyian ketika para murid berlatih. Ia akan mencacat dan menggambar gerakan dan jurus di gulungan-gulungan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Bayangan masa lalu akhirnya hanya akan menjadi masa lalu. Padepokan Maung Bodas yang menjadi tempatnya tumbuh kini tak ubahn