“Di mana aku?” “Bukankah aku sedang berada di Jaya Tonggoh setelah bertarung dengan pasukan pendekar golongan hitam?” “Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Lingga mengamati keadaan sekeliling. “Aku belum pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku juga tidak pernah melihat bangunan megah itu.” “Tunggu.” Lingga berusaha mengingat-ingat. “Tangga dan batu-batu runcing itu mengingatkanku pada bangunan yang berada di alam lain yang pernah aku naiki.” Lingga melompat ke depan, melihat lebih jelas bangunan bertingkat dengan halaman yang sangat luas. “Benar. Tangga berbatu dan batu-baru runcing itu mengingatkanku pada bangunan di alam lain yang pernah aku naiki. Di tempat itulah aku mendapatkan tugas untuk mendapatkan ketiga mustika untuk bisa menguasai kekuatan kujang emas sepenuhnya.” Lingga bergeser ke samping ketika melihat pasukan berkuda memasuki gerbang istana. Tubuhnya berhasil ditembus oleh beberapa prajurit yang berjalan kaki. Lingga terdiam agak lama. “Apa mungkin aku te
“Di mana aku?” Lingga mengerjap-ngerjapkan mata, duduk dengan satu tangan memegang kepala yang berdenyut-denyut kencang.Lingga menoleh ke samping. “Talaga Asri. Aku berada di dalam gua. Tapi, keadaan gua sudah nyaris hancur. Mungkinkah gua ini menjadi salah satu tempat pertempuran?”“Lingga, akhirnya kau sadar,” ujar Geni yang mendekat bersama Jaya dan Barma. Murid padepokan lain segera mendekat.Sekar Sari dengan buru-buru melompat, tersenyum. “Kakang, syukurlah kau sudah sadar. Kami semua sangat mengkhawatirkanmu.”Lingga mengamati teman-teman seperguruannya. Ia berdiri dengan bantuan, Geni, Jaya, dan Barma. “Apa kalian baik-baik saja?”“Kami berhasil selamat karena bantuanmu, Lingga.” Geni menggeleng. “Maksudku, kami semua termasuk para pendekar selamat karena bantuanmu.”Ganawirya mendadak muncul di tengah kerumunan para murid padepokan, menggantikan posisi Geni, Jaya, dan Barma. “Lingga, duduklah. Aku akan memeriksa keadaanmu. Dan kalian semua, bersiaplah untuk pertemuan yang se
“Ampun, Gusti.” Nyi Genit bersujud. “Dengan kekuatan hamba sekarang, hamba tidak bisa banyak bergerak. Hamba juga akan sangat mudah dikalahkan oleh para pendekar, bahkan pendekar kecil sekalipun.”Totok Surya menggeram penuh amarah, menyentuh dadanya. “Saya akan membagi sedikit kekuatan saya pada kamu, Genit. Terimalah jika kamu memang tetap ingin hidup.”“Terima kasih, Gusti. Aku akan menerimanya dengan senang hati.” Nyi Genit tersenyum.Totok Surya berdiri dari kursi singgasana, melesatkan serangan ke arah Nyi Genit. “Jika kau sangat menginginkan kekuatan ini, kau akan bisa menahan rasa sakitnya, Genit.”“Ah!” Nyi Genit tiba-tiba menjerit sangat keras, memegang leher yang seperti tengah dicekik, berguling-guling hingga jatuh ke lantai bawah. Tubuhnya mendadak diselimuti oleh api hitam kemerahan.Totok Surya tertawa terbahak-bahak dan seketika berhenti ketika merasakan lukanya kembali terasa. “Aku terlalu banyak menggunakan kekuatanku. Terkutuklah kau, Nilakendra. Kau sudah mengutukk
Keharuan dan kenangan masa lalu seketika menyesaki perasaan Lingga. Matanya tampak bercaka-kaca, menunjukkan kerinduan, amarah, dan penyesalan. Lingga bisa membayangkan kehidupan lamanya di padepokan kecil ini. Pendekar muda itu bahkan bisa melihat sosok dirinya yang sedang dikejar-kejar oleh Ki Petot. Waktu terasa berjalan sangat cepat hingga ia kini kembali datang dalam sosok berbeda. Lingga juga bisa membayangkan halaman yang dipenuhi murid-murid padepokan untuk berlatih, bangunan kayu yang dijadikan sebagai rumah dan tempat berkumpulnya para murid dan kamar Ki Petot serta ruangan kecil di dekat dapur yang menjadi kamarnya. Menoleh ke atas, Lingga melihat beberapa pohon yang sempat ia gunakan sebagai tempat persembunyian ketika para murid berlatih. Ia akan mencacat dan menggambar gerakan dan jurus di gulungan-gulungan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Bayangan masa lalu akhirnya hanya akan menjadi masa lalu. Padepokan Maung Bodas yang menjadi tempatnya tumbuh kini tak ubahn
Kabar kemenangan pasukan pendekar golongan putih dari golongan hitam serta munculnya pemuda pewaris kujang emas dengan cepat menyebar ke seluruh tanah Pasundan.Kabar ini menjadi berita kedua setelah kejadian berbulan-bulan lalu di mana pemuda pewaris kujang emas pertama kali muncul ke rimba persilatan. Berbeda dengan sebelumnya, warga lebih menyambut baik peristiwa ini karena bersatunya seluruh pendekar golongan putih.Begitu para petinggi golongan putih kembali ke tempat masing-masing, semua rencana yang sudah disusun segera dilakukan. Para pendekar terbaik dari seluruh padepokan di tanah Pasundan berbondong-bondong pergi untuk berlatih di bawah arahan kesepuluh petinggi golongan putih di gunung Padaherang. Para tabib terbaik pun berbondong-bondong pergi menuju Lebak Angin untuk berlatih di bawah bimbingan Ganawirya.Para bawahan kesepuluh petinggi golongan putih mulai mengumpulkan anak-anak dan remaja untuk berlatih silat dan pengobatan di berbagai padepokan yang sudah ditunjuk. Pa
Golongan putih sudah memasuki masa-masa baru. Mereka mulai bersatu setelah peristiwa pertarungan di Jaya Tonggoh. Rombongan pendekar, tabib, serta warga terlihat memadati beberapa padepokan dan beberapa gunung untuk memulai pelatihan.Di saat yang sama, Nyi Genit terus bergerak di tengah kegelapan hutan, melompati satu per satu dahan pohon. Ia bertemu dengan beberapa siluman yang menyamar menjadi manusia, lalu memerintahkan mereka untuk mengumpulkan siluman lain. Dalam waktu cukup singkat, ia berhasil mengumpulkan bawahan sebanyak lima puluh siluman dari berbagai jenis.Nyi Genit mengamati kepergian tiga siluman di langit. Siluman wanita itu mengembus napas panjang, duduk di sebuah batang pohon yang tumbang untuk beristirahat. “Sungguh menyebalkan. Aku masih merasakan rasa sakit karena pertarungan waktu itu. Aku beruntung karena Gusti Totok Surya menyelamatkanku di saat-saat terakhir. Aku tidak tahu bagaimana nasib Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simuet Koneng sekarang. Aku harap
“Kau benar.” Nyi Genit berbalik, menoleh pada langit yang bertabur bintang. “Untuk sekarang, kau hanya bisa membesarkan kedua tangan dan lenganmu. Semakin kau bertambah kuat, kau akan mampu mengubah wujudmu menjadi Jurig Lolong.” “Terima kasih, Nyi.” Darmasena membungkuk, mengamati kedua tangannya. “Aku akan menggunakan kekuatan ini sebaik mungkin.” Nyi Genit berbalik. “Katakan, apa yang sedang dilakukan oleh pemuda bernama Lingga, Tarusbawa, Limbur Kancana, dan yang lain?” Darmasena menjelaskan, “Aku tidak mengetahui keberadaan Lingga, Tarusbawa, dan Limbur Kancana, Nyi. Kabar mengenai mereka sangat dirahasiakan oleh para pendekar golongan putih. Aku hanya mendengar jika para petinggi golongan putih sedang melakukan pelatihan pada para pendekar terpilih di gunung Padaherang. Para pendekar muda dan anak-anak juga dilatih di beberapa padepokan terpilih dengan pengawasan ketat. Selain itu, para tabib berlatih di bawah bimbingan Ganawirya di Lebak Angin, dan para tabib baru berlatih di
“Cepatlah, Kakang. Aku sudah sangat lapar. Aku belum makan sejak semalam karena kau melepaskan buruanmu.” Puspa Sari berhenti sejenak, mengembus napas panjang. Mencium bau masakan membuat perutnya semakin keroncongan.“Jangan terlalu terburu-buru, Puspa Sari. Aku yakin kampung ini memiliki banyak makanan untuk kita santap,” ujar pemuda tinggi bernama Jatnika.“Kau selalu saja lambat dalam hal apa pun, Kakang,” ketus Puspa Sari seraya kembali berjalan, menoleh ke kanan dan kiri, mengamati satu per satu warung. “Warung mana yang memiliki makanan yang lezat?”“Aku bukan lambat, aku hanya berusaha memutuskan segala sesuatunya dengan tepat.”Puspa Sari dan Jatnika melewati lalu lalang manusia yang semakin ramai. Terlihat para pengembara memasuki perkampungan dari berbagai pintu masuk. Suasana perkampungan semakin ramai dengan para penjual yang menjajakan dagangan.“Kakang, warung itu sepertinya menyediakan makanan yang lezat.” Puspa Sari menunjuk sebuah warung yang berada di tengah perkamp