“Dasar pria kurang ajar!” Puspa Sari melesatkan selendang ke arah dua pria itu. Ia tersenyum saat kedua pria itu terlempar dan ambruk di dapur.Puspa Sari melompat ke depan, menatap tajam kedua pria itu. “Pergi dari tempat ini sekarang juga atau aku akan menghajar kalian!”“Kurang ajar kau gadis jelek!” teriak salah satu penjahat.“Siapa yang kau sebut gadis jelek?” Puspa Sari tampak murka.Jatnika mengentakkan kedua kaki, melesatkan serangan pada kedua pria itu hingga mereka keluar dari warung dan ambruk di tanah.“Kalian memang pantas mendapatkannya.” Puspa Sari tertawa.“Terima kasih, Nyai, Kakang,” ujar pelayan wanita.“Terima kasih karena sudah menyelamatkan keponakanku.” Seorang pelayan wanita yang lebih tua mendekat, memeriksa keadaan pelayan tadi. “Kalian tidak perlu membayar makanan kalian sebagai terima kasih kami. Kami juga akan menyiapkan perbekalan untuk kalian. Tunggu sebentar.”“Benarkah?” Puspa Sari tersenyum. “Terima kasih, Nyai.”Jatnika mengintip keadaan luar di dek
Sesosok pendekar berbaju hitam tiba-tiba melesat dari dalam pepohonan menuju Wira dan Danuseka. Ia tersenyum seraya melayangkan serangan.Wira dan Danuseka menepis serangan, kemudian melayangkan serangan jarak jauh bersamaan dengan kaki mereka yang mendarat di batu.Sosok itu menepis serangan dengan kedua tangan kosong, lantas mengambalikan serangan tersebut dengan mudah.“Dia kembali mengembalikan serangan,” ujar Wira dan Danuseka seraya menepis serangan. Mereka mengentak tubuh, bergerak ke arah sosok itu dan bersiap untuk menyerang.Sosok itu menangkap tangan Wira dan Danuseka sebelum mereka berhasil melayangkan serangan. “Cukup.”Darmasena melepaskan tangan Wira dan Danuseka, membuka penyamarannya.“Darmasena,” ujar Wira dan Danuseka bersamaan. Keduanya segera menghimpun kekuatan untuk kembali melesatkan serangan.Darmasena tersenyum kecut, menepis tangan Wira dan Danuseka, lantas melesatkan serangan dengan cukup kuat.Wira dan Danuseka sontak terdorong ke belakang meski mereka mer
Jatnika dan Puspa Sari memasuki perkampungan setelah melewati pemeriksaan yang sangat ketat dari para pendekar golongan putih. Suasana perkampungan tampak ramai dengan para pengembara dan pedagang. Terlihat warung makanan yang dipenuhi oleh banyak pengunjung, begitupun dengan deretan kedai dan tempat hiburan.“Kita harus mencari penginapan secepatnya, Puspa Sari,” ujar Jatnika seraya mengamati keramaian. “Aku akan bertanya pada warga mengenai penginapan murah.”Puspa Sari mengawasi keadaan sekeliling. Gadis itu mendekat pada kerumunan warga yang berkumpul di sebuah lapangan. Ia melihat beberapa pria tengah berlomba untuk melempar bola ke dalam keranjang.“Permainan itu cukup menarik. Aku bisa memasukkan bola-bola itu dengan mudah untuk mendapatkan hadiah yang besar. Aku bisa menggunakan hadiah itu sebagai bekal perjalanan.” Puspa Sari mendekat ke sisi lapang. “Aku akan mendaftar.”“Aku sudah menemukan penginapan untuk kita bermalam.” Jatnika menarik tangan Puspa Sari. “Jangan bermain-
Kelima pendekar itu bergerak ke arah yang berbeda, mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Suasana tampak hening, berbanding terbalik dengan keadaan perkampungan yang ramai dengan warga yang tengah berkerumunan di tempat hiburan.Seorang pendekar tiba-tiba berteriak, “Aku melihat bekas pertarungan di tempat ini.”Keempat pendekar lain segera mendekat, memeriksa keadaan.“Goresan di tanah, pohon, dan ranting-ranting patah itu menjadi bukti jika terjadi pertempuran beberapa waktu lalu. Aku juga mendapati kain yang biasanya dijadikan sebagai tempat ramuan obat.”“Segera cari tahu siapa yang kemungkinan bertarung di tempat ini secepatnya, dan cari petunjuk lain secepatnya. Segera laporkan jika kalian mendapatkan keanehan.” Pemimpin dari para pendekar itu memerintah, mendekat ke sebuah pohon. Ia memeriksa satu per satu pohon yang di dekat tempat pertempuran.“Apa ini?” Pendekar itu berhenti di sebuah pohon, menerangi dengan obor. Goresan-goresan ini merupakan sebuah pesan. “Nyi Genit
Wira seketika terpenlanting ke belakang, muntah darah berkali-kali. Ia nyaris terjatuh dari tebing jika tidak mencengkeram tanah dengan kuku-kukunya. “Serangannya bertambah kuat dibandingkan sebelumnya.”Danuseka melesatkan serangan jarak jauh ke arah Darmasena. Akan tetapi, serangannya berhasil ditangkis dengan mudah oleh pria itu. “Kecurigaanku benar. Kedua tangan Darmasena serupa dengan kedua tangan Jurig Lolong.”Danuseka melompat ke pinggiran tebing, menarik Wira ke atas.“Menjauh dariku, Danuseka!” ketus Wira seraya menyeka darah. Ia menghimpun kekuatan dan melesat ke arah Darmasena.Darmasena mengentak kedua kaki hingga tanah berlubang, bersiap menghadapi Wira. Akan tetapi, tanda diduga Nyi Genit tiba-tiba muncul dan melesatkan serangan pada Wira dan Darmasena. Serangannya berhasil membuat kedua pria itu mundur.“Nyi Genit.” Darmasena terkejut, membungkuk hormat. “Maafkan aku, Nyi.”Wira dan Danuseka menatap Nyi Genit lekat-lekat. Mereka masih belum percaya jika wanita yang mer
Jatnika, Puspa Sari, para pemuda, dan gadis pergi menuju perkampungan. Setelah sarapan dan mempersiapkan perbekalan, mereka pergi ke sisi perkampungan.“Rombongan sudah dekat. Kita harus segera bersiap,” ujar seorang pemuda seraya menunjuk rombongan yang melaju ke arah perkampungan. “Kain hijau itu menjadi tanda jika rombongan itu akan membawa para tabib baru ke tempat pelatihan, sedangkan kain merah itu menjadi tanda untuk pelatihan pendekar.”Sebuah rombongan berkain hijau tiba di dekat pintu perkampungan. Salah satu dari anggota rombongan yang duduk di dekat kuda bertanya, “Apa di antara kalian ada akan bergabung ke dalam pelatihan tabib di Lebak Angin?”“Kami berenam akan mengikuti pelatihan tabib. Tolong antarkan kami ke Lebak Angin, Paman,” ujar Jatnika.“Perjalanan akan memakan waktu satu hari untuk sampai ke kota terdekat. Ketika kalian sudah berada di sana, kalian akan pergi ke lokasi pelatihan bersama tiruan salah satu pendekar hebat. Ikuti semua peraturan yang aku buat.”“K
Limbur Kancana memberikan gulungan pesan pada Ganawirya. “Kita mendapatkan pesan jika seorang pemuda bertarung dengan salah satu bawahan Nyi Genit yang memiliki tangan serupa siluman semalam. Pemuda itu mengatakan Nyi Genit berhasil keluar dari penjara di Jaya Tonggoh.”“Apa ini mungkin, Raka?” tanya Ganawirya memastikan, berdiri di samping Limbur Kancana. “Jaya Tonggoh dijaga sangat ketat oleh para pendekar. Kita juga memasang perangkap siluman di seluruh Jaya Tonggoh dan wilayah sekitarnya. Dengan keadaan Nyi Genit yang melemah, aku kira sulit baginya untuk lolos, kecuali … jika dia berhasil keluar dari penjara sebelum penjara tertutup.”“Satu-satunya orang yang bisa menolong Nyi Genit hanyalah Totok Surya.” Limbur Kancana memejamkan mata, mencari penglihatan dari seluruh tiruannya yang tersebar. Ketika membuka mata, ia mendapati kulit pohon di tangannya. “Pemuda itu mencatat pesannya di kulit pohon ini.”Limbur Kancana memberikan kulit pohon itu pada Ganawirya. “Aku mendapatkan pes
Lingga mendarat di sebuah batu, kembali menangkis serangan yang datang dari berbagai arah. Tubuhnya bergerak cepat seirama dengan serangan.Dua buah rantai putih mendadak muncul dari sisi kiri dan kanan. Lingga melompat dan kembali menangkis serangan. Akan tetapi, rantai putih itu terus menyerangnya.Lingga melompat tinggi, mengentak udara hingga tubuhnya meluncur cepat ke hulu sungai. Kedua rantai itu mengikutinya dan terus menyerangnya. Air sungai terciprat hingga ke sisi kiri dan kanan.Lingga terus bergerak seraya menangkis serangan. Ia melompat tinggi ke udara dengan tubuh yang diselimuti oleh cahaya putih. Ketika sampai di titik tertinggi, ia melesatkan serangan berupa anak panah ke arah datangnya dua rantai.Sebuah dentuman besar tercipta ketika dua serangan itu saling menumbuk. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan. Air kembali terciprat ke sekeliling.Lingga berbalik ketika merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia segera menyilangkan kedua tangan di dep