Golongan putih sudah memasuki masa-masa baru. Mereka mulai bersatu setelah peristiwa pertarungan di Jaya Tonggoh. Rombongan pendekar, tabib, serta warga terlihat memadati beberapa padepokan dan beberapa gunung untuk memulai pelatihan.Di saat yang sama, Nyi Genit terus bergerak di tengah kegelapan hutan, melompati satu per satu dahan pohon. Ia bertemu dengan beberapa siluman yang menyamar menjadi manusia, lalu memerintahkan mereka untuk mengumpulkan siluman lain. Dalam waktu cukup singkat, ia berhasil mengumpulkan bawahan sebanyak lima puluh siluman dari berbagai jenis.Nyi Genit mengamati kepergian tiga siluman di langit. Siluman wanita itu mengembus napas panjang, duduk di sebuah batang pohon yang tumbang untuk beristirahat. “Sungguh menyebalkan. Aku masih merasakan rasa sakit karena pertarungan waktu itu. Aku beruntung karena Gusti Totok Surya menyelamatkanku di saat-saat terakhir. Aku tidak tahu bagaimana nasib Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simuet Koneng sekarang. Aku harap
“Kau benar.” Nyi Genit berbalik, menoleh pada langit yang bertabur bintang. “Untuk sekarang, kau hanya bisa membesarkan kedua tangan dan lenganmu. Semakin kau bertambah kuat, kau akan mampu mengubah wujudmu menjadi Jurig Lolong.” “Terima kasih, Nyi.” Darmasena membungkuk, mengamati kedua tangannya. “Aku akan menggunakan kekuatan ini sebaik mungkin.” Nyi Genit berbalik. “Katakan, apa yang sedang dilakukan oleh pemuda bernama Lingga, Tarusbawa, Limbur Kancana, dan yang lain?” Darmasena menjelaskan, “Aku tidak mengetahui keberadaan Lingga, Tarusbawa, dan Limbur Kancana, Nyi. Kabar mengenai mereka sangat dirahasiakan oleh para pendekar golongan putih. Aku hanya mendengar jika para petinggi golongan putih sedang melakukan pelatihan pada para pendekar terpilih di gunung Padaherang. Para pendekar muda dan anak-anak juga dilatih di beberapa padepokan terpilih dengan pengawasan ketat. Selain itu, para tabib berlatih di bawah bimbingan Ganawirya di Lebak Angin, dan para tabib baru berlatih di
“Cepatlah, Kakang. Aku sudah sangat lapar. Aku belum makan sejak semalam karena kau melepaskan buruanmu.” Puspa Sari berhenti sejenak, mengembus napas panjang. Mencium bau masakan membuat perutnya semakin keroncongan.“Jangan terlalu terburu-buru, Puspa Sari. Aku yakin kampung ini memiliki banyak makanan untuk kita santap,” ujar pemuda tinggi bernama Jatnika.“Kau selalu saja lambat dalam hal apa pun, Kakang,” ketus Puspa Sari seraya kembali berjalan, menoleh ke kanan dan kiri, mengamati satu per satu warung. “Warung mana yang memiliki makanan yang lezat?”“Aku bukan lambat, aku hanya berusaha memutuskan segala sesuatunya dengan tepat.”Puspa Sari dan Jatnika melewati lalu lalang manusia yang semakin ramai. Terlihat para pengembara memasuki perkampungan dari berbagai pintu masuk. Suasana perkampungan semakin ramai dengan para penjual yang menjajakan dagangan.“Kakang, warung itu sepertinya menyediakan makanan yang lezat.” Puspa Sari menunjuk sebuah warung yang berada di tengah perkamp
“Dasar pria kurang ajar!” Puspa Sari melesatkan selendang ke arah dua pria itu. Ia tersenyum saat kedua pria itu terlempar dan ambruk di dapur.Puspa Sari melompat ke depan, menatap tajam kedua pria itu. “Pergi dari tempat ini sekarang juga atau aku akan menghajar kalian!”“Kurang ajar kau gadis jelek!” teriak salah satu penjahat.“Siapa yang kau sebut gadis jelek?” Puspa Sari tampak murka.Jatnika mengentakkan kedua kaki, melesatkan serangan pada kedua pria itu hingga mereka keluar dari warung dan ambruk di tanah.“Kalian memang pantas mendapatkannya.” Puspa Sari tertawa.“Terima kasih, Nyai, Kakang,” ujar pelayan wanita.“Terima kasih karena sudah menyelamatkan keponakanku.” Seorang pelayan wanita yang lebih tua mendekat, memeriksa keadaan pelayan tadi. “Kalian tidak perlu membayar makanan kalian sebagai terima kasih kami. Kami juga akan menyiapkan perbekalan untuk kalian. Tunggu sebentar.”“Benarkah?” Puspa Sari tersenyum. “Terima kasih, Nyai.”Jatnika mengintip keadaan luar di dek
Sesosok pendekar berbaju hitam tiba-tiba melesat dari dalam pepohonan menuju Wira dan Danuseka. Ia tersenyum seraya melayangkan serangan.Wira dan Danuseka menepis serangan, kemudian melayangkan serangan jarak jauh bersamaan dengan kaki mereka yang mendarat di batu.Sosok itu menepis serangan dengan kedua tangan kosong, lantas mengambalikan serangan tersebut dengan mudah.“Dia kembali mengembalikan serangan,” ujar Wira dan Danuseka seraya menepis serangan. Mereka mengentak tubuh, bergerak ke arah sosok itu dan bersiap untuk menyerang.Sosok itu menangkap tangan Wira dan Danuseka sebelum mereka berhasil melayangkan serangan. “Cukup.”Darmasena melepaskan tangan Wira dan Danuseka, membuka penyamarannya.“Darmasena,” ujar Wira dan Danuseka bersamaan. Keduanya segera menghimpun kekuatan untuk kembali melesatkan serangan.Darmasena tersenyum kecut, menepis tangan Wira dan Danuseka, lantas melesatkan serangan dengan cukup kuat.Wira dan Danuseka sontak terdorong ke belakang meski mereka mer
Jatnika dan Puspa Sari memasuki perkampungan setelah melewati pemeriksaan yang sangat ketat dari para pendekar golongan putih. Suasana perkampungan tampak ramai dengan para pengembara dan pedagang. Terlihat warung makanan yang dipenuhi oleh banyak pengunjung, begitupun dengan deretan kedai dan tempat hiburan.“Kita harus mencari penginapan secepatnya, Puspa Sari,” ujar Jatnika seraya mengamati keramaian. “Aku akan bertanya pada warga mengenai penginapan murah.”Puspa Sari mengawasi keadaan sekeliling. Gadis itu mendekat pada kerumunan warga yang berkumpul di sebuah lapangan. Ia melihat beberapa pria tengah berlomba untuk melempar bola ke dalam keranjang.“Permainan itu cukup menarik. Aku bisa memasukkan bola-bola itu dengan mudah untuk mendapatkan hadiah yang besar. Aku bisa menggunakan hadiah itu sebagai bekal perjalanan.” Puspa Sari mendekat ke sisi lapang. “Aku akan mendaftar.”“Aku sudah menemukan penginapan untuk kita bermalam.” Jatnika menarik tangan Puspa Sari. “Jangan bermain-
Kelima pendekar itu bergerak ke arah yang berbeda, mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Suasana tampak hening, berbanding terbalik dengan keadaan perkampungan yang ramai dengan warga yang tengah berkerumunan di tempat hiburan.Seorang pendekar tiba-tiba berteriak, “Aku melihat bekas pertarungan di tempat ini.”Keempat pendekar lain segera mendekat, memeriksa keadaan.“Goresan di tanah, pohon, dan ranting-ranting patah itu menjadi bukti jika terjadi pertempuran beberapa waktu lalu. Aku juga mendapati kain yang biasanya dijadikan sebagai tempat ramuan obat.”“Segera cari tahu siapa yang kemungkinan bertarung di tempat ini secepatnya, dan cari petunjuk lain secepatnya. Segera laporkan jika kalian mendapatkan keanehan.” Pemimpin dari para pendekar itu memerintah, mendekat ke sebuah pohon. Ia memeriksa satu per satu pohon yang di dekat tempat pertempuran.“Apa ini?” Pendekar itu berhenti di sebuah pohon, menerangi dengan obor. Goresan-goresan ini merupakan sebuah pesan. “Nyi Genit
Wira seketika terpenlanting ke belakang, muntah darah berkali-kali. Ia nyaris terjatuh dari tebing jika tidak mencengkeram tanah dengan kuku-kukunya. “Serangannya bertambah kuat dibandingkan sebelumnya.”Danuseka melesatkan serangan jarak jauh ke arah Darmasena. Akan tetapi, serangannya berhasil ditangkis dengan mudah oleh pria itu. “Kecurigaanku benar. Kedua tangan Darmasena serupa dengan kedua tangan Jurig Lolong.”Danuseka melompat ke pinggiran tebing, menarik Wira ke atas.“Menjauh dariku, Danuseka!” ketus Wira seraya menyeka darah. Ia menghimpun kekuatan dan melesat ke arah Darmasena.Darmasena mengentak kedua kaki hingga tanah berlubang, bersiap menghadapi Wira. Akan tetapi, tanda diduga Nyi Genit tiba-tiba muncul dan melesatkan serangan pada Wira dan Darmasena. Serangannya berhasil membuat kedua pria itu mundur.“Nyi Genit.” Darmasena terkejut, membungkuk hormat. “Maafkan aku, Nyi.”Wira dan Danuseka menatap Nyi Genit lekat-lekat. Mereka masih belum percaya jika wanita yang mer