Para pendekar golongan putih terus bergerak ke Jaya Tonggoh. Sementara itu, para pendekar golongan hitam dibuat kocar-kacir. Para siluman hitam masih menghadang di jalan meski tidak melakukan perlawanan. Mereka tidak bisa mendekat karena melihat kendi yang dipegang Limbur Kancana.Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng berjajar di depan di mana Wira dan Danuseka dan para siluman hitam berada di belakang mereka.Dari arah sisi utara Jaya Tonggoh, para pendekar golongan hitam berhamburan, disusul para siluman hitam yang memekik kencang.“Dasar makhluk-makhluk lemah!” Nyi Genit tampak geram melihat para pendekar golongan hitam berlarian ke arahnya.Nyi Genit memejamkan mata sesaat, melihat melalui pandangan para siluman hitam. “Pendekar bernama Limbur Kancana itu sudah kembali. Dia menggunakan kendi pengisap untuk mengisap para pendekar dan para siluman.”“Para pendekar itu sepertinya hendak menyetor nyawa mereka sendi
“Kalahkan mereka!” teriak Wirayuda.Pertarungan antara golongan putih dan golongan hitam akhirnya pecah. Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Baktijaya dan Tapasena melesat ke depan, diikuti oleh para pendekar. Suara teriakan, gertakkan gigi, tanah yang dipijak, debu yang berterbangan dan senjata yang saling beradu terdengar dari mana-mana.Nyi Genit melompat ke salah satu Jurig Lolong, mengawasi pertempuran dari ketinggian. Ia tersenyum saat melihat para siluman bawahannya membantai para pendekar hingga berjatuhan ke tanah. Meski begitu, para pendekar kembali bangkit dan menyerang.Nyi Genit tertawa. “Para pendekar bodoh itu tidak akan bertahan lama. Mereka bisa bertarung karena dorongan dalam jiwa mereka. Setelah dorongan itu menghilang dan mereka melihat dengan jelas kematian teman-teman mereka, mereka akan—”Nyi Genit terkejut ketika menyadari serangan ratusan panah putih yang tertuju padanya. Ia segera mengibaskan selendang untuk menahan serangan tersebut. Akan teta
Angin berembus kencang dari arah Jaya Tonggoh, disusul guncangan kuat ke sekeliling. Perjalanan Galih Jaya, Dharma, Malawati dan para pendekar muda lainnya terhenti karena pepohonan berguncang kuat hingga ranting berjatuhan dan daun berguguran.Asap tebal tampak mengelilingi Jaya Tonggoh dari kejauhan. Kawanan burung dan hewan lain berlari menjauh ke hutan lebih dalam. Untuk sementara waktu, para pendekar terdiam dengan tatapan tertuju ke arah Jaya Tonggoh.“Pertarungan kembali terjadi,” ujar Galih Jaya dengan wajah cemas, mengepal tangan erat-erat. Saat menoleh pada rekan-rekannya, ia melihat raut khawatir dan ketakutan. “Kita harus melanjutkan kembali perjalanan, Galih Jaya.” Dharma menyentuh bahu Galih Jaya. “Aku tidak bermaksud buruk dan meremehkan perjuangan para pendekar yang sedang bertarung di Jaya Tonggoh. Hanya saja, kita harus bisa memikirkan keadaan terburuk dari pertarungan yang sekarang terjadi.”Galih Jaya menarik napas panjang, menatap satu per satu pendekar yang sud
“Benar.” Ajisoka menoleh ke arah Jaya Tonggoh sesaat. “Setelah kami semua pulih dan mendengar penjelasan dari para pendekar yang menjaga kami, kami semua memutuskan untuk pergi ke Jaya Tonggoh untuk ikut dalam pertarungan.”“Kami tidak ingin menjadi beban terus-menerus. Selama kami tidak sadarkan diri, sudah banyak hal yang terjadi, termasuk korban yang terus berjatuhan,” ujar Amarsa.“Syukurlah, kau berhasil selamat, Malawati.” Gendis memeluk Malawati erat. “Kami akan membayar waktu isitrahat kami dengan bergabung dalam pertarungan.”“Sayangnya keadaan tidak menguntung bagi kita,” ujar Dharma, “para pertinggi golongan putih justru memerintahkan kami untuk menjauhkan diri dari pertarungan.”Ajisoka, Amarsa, Gendis, dan para pendekar yang menjadi korban Wintara dan Nilasari saling berpandangan satu sama lain.“Pasukan pendekar golongan hitam berhasil memukul mundur pasukan pendekar golongan putih hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Dilihat dari berbagai sisi, para pendekar golongan putih suda
Di dalam gua, Sekar Sari, Indra, Jaka, Arya, dan para murid padepokan merasakan guncangan sangat hebat berkali-kali. Sementara itu, para tabib masih tidak sadarkan diri.Arya melompat ke atas, bersembunyi di balik reruntuhan batu di sela-sela aru sungai yang akan jatuh menjadi air terjun. Ia melihat jalannya pertarungan di mana para pendekar golongan putih sudah sangat terdesak. Wintara dan Nilasari beberapa kali mengubah para pendekar yang tumbang menjadi pasukan siluman mereka, tetapi Ganawirya dengan dibantu beberapa pendekar kembali berhasil mengubah para pendekar kembali.“Guru Ganawirya dan para pendekar golongan putih tengah bertarung mati-matian dengan para pendekar golongan hitam. Mereka sudah sangat terdesak dan nyaris kalah. Anehnya, aku tidak melihat Kakang Guru dan Tuan Guru. Sepertinya mereka sedang menyiapkan rencana.”Arya terdiam saat Wintara dan Nilasari dalam wujud ular raksasa menghantam para pendekar ke sisi Jaya Tonggoh meski para pendekar kembali bangkit. “Para
Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Bakti Jaya dan Tapasena sudah terbaring di tanah bersama para pendekar golongan putih yang lain. Sementara itu, Ganawirya dan Wirayuda masih berjuang untuk menghadapi rentetan serangan dari para pendekar golongan hitam meski sudah sangat terdesak dan penuh luka.Ganawirya tengah bertarung dengan Argaseni, Bangasera, Brajawesi, Munding Hideung dan Bangkong Bodas. Hampir sekujur tubuhnya sudah dipenuhi dengan darah. Di sisi lain, Wirayuda tengah bergelut dengan Nyi Genit, Kartasura, Wulung, Simeut Koneng dan lima Jurig Lolong meski akhirnya terpental hingga mendarat di tanah dengan cukup kuat. Ganawirya menyusul setelah tidak mampu menahan serangan gabungan.Nyi Genit tertawa, menatap seluruh pendekar yang sudah terbaring tak berdaya di tanah. “Mencoba hingga berkali-kali pun kalian akan tetap kalah. Kalian hanya menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup.”Nyi Genit mengamati keadaan sekeliling, mencari keberadaan Tarusbawa dan Limbur Kancana yang me
Asap mengepul ke sekeliling untuk sementara waktu. Nyi Genit dengan segera mengibaskan kedua selendangnya hingga asap menghilang.“Terkutuk!” Nyi Genit melesat turun. Setengah bagian tubuhnya menjadi keriput. “Aku terlalu banyak menggunakan kekuatanku. Aku tidak mengira pertarungan kali ini membutuhkan banyak kekuatan.”Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng mendarat di tanah.Tongkat perak yang tertancap di tanah seketika meluncur ke arah utara Jaya Tonggoh.“Para pendekar, tiga Jurig Lolong, dan hampir setengah dari siluman hitam menghilang.” Nyi Genit mendengkus, memelotot tajam. “Mereka berhasil terisap oleh jurus dari tombak perak. Tapi keadaan para pendekar bodoh itu tentu—”“Apa?” Nyi Genit terkejut ketika melihat sebuah kubah pelindung. “Mereka berhasil selamat dengan berlindung di kubah pelindung itu. Padahal jurus yang kugunakan tergolong jurus yang cukup kuat.”“Limbur Kancana menggunakan kend
Tubrukan dua kekuatan itu seketika menciptakan gelombang dahsyat ke sekeliling, disusul angin kencang dan asap yang menyebar ke sekitar. Para pendekar golongan putih terpental ke belakang. Ganawirya mengerahkan kekuatannya untuk melindungi Limbur Kancana, Tarusbawa serta seluruh pendekar. Di saat yang sama, para golongan hitam ikut terdorong mundur meski dilindungi oleh dua Jurig Lolong.Di balik asap yang masih menyebar ke sekeliling, tiga bayangan bergerak sangat cepat menuju kerumunan para pendekar golongan putih. Jejak kaki mulai terdengar bersahutan dari arah utara. Banyak bayangan berkelebat cepat menuju arah Jaya Tonggoh.Seseorang menghempaskan asap dengan dua buah kipas di tangannya. Dalam waktu singkat, keadaan kembali seperti semula.Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simet Koneng terkejut ketika melihat tiga orang asing yang berada di barisan para pendekar golongan putih. “Kalian bertiga,” gumam Wirayuda yang mas