Angin berembus kencang dari arah Jaya Tonggoh, disusul guncangan kuat ke sekeliling. Perjalanan Galih Jaya, Dharma, Malawati dan para pendekar muda lainnya terhenti karena pepohonan berguncang kuat hingga ranting berjatuhan dan daun berguguran.Asap tebal tampak mengelilingi Jaya Tonggoh dari kejauhan. Kawanan burung dan hewan lain berlari menjauh ke hutan lebih dalam. Untuk sementara waktu, para pendekar terdiam dengan tatapan tertuju ke arah Jaya Tonggoh.“Pertarungan kembali terjadi,” ujar Galih Jaya dengan wajah cemas, mengepal tangan erat-erat. Saat menoleh pada rekan-rekannya, ia melihat raut khawatir dan ketakutan. “Kita harus melanjutkan kembali perjalanan, Galih Jaya.” Dharma menyentuh bahu Galih Jaya. “Aku tidak bermaksud buruk dan meremehkan perjuangan para pendekar yang sedang bertarung di Jaya Tonggoh. Hanya saja, kita harus bisa memikirkan keadaan terburuk dari pertarungan yang sekarang terjadi.”Galih Jaya menarik napas panjang, menatap satu per satu pendekar yang sud
“Benar.” Ajisoka menoleh ke arah Jaya Tonggoh sesaat. “Setelah kami semua pulih dan mendengar penjelasan dari para pendekar yang menjaga kami, kami semua memutuskan untuk pergi ke Jaya Tonggoh untuk ikut dalam pertarungan.”“Kami tidak ingin menjadi beban terus-menerus. Selama kami tidak sadarkan diri, sudah banyak hal yang terjadi, termasuk korban yang terus berjatuhan,” ujar Amarsa.“Syukurlah, kau berhasil selamat, Malawati.” Gendis memeluk Malawati erat. “Kami akan membayar waktu isitrahat kami dengan bergabung dalam pertarungan.”“Sayangnya keadaan tidak menguntung bagi kita,” ujar Dharma, “para pertinggi golongan putih justru memerintahkan kami untuk menjauhkan diri dari pertarungan.”Ajisoka, Amarsa, Gendis, dan para pendekar yang menjadi korban Wintara dan Nilasari saling berpandangan satu sama lain.“Pasukan pendekar golongan hitam berhasil memukul mundur pasukan pendekar golongan putih hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Dilihat dari berbagai sisi, para pendekar golongan putih suda
Di dalam gua, Sekar Sari, Indra, Jaka, Arya, dan para murid padepokan merasakan guncangan sangat hebat berkali-kali. Sementara itu, para tabib masih tidak sadarkan diri.Arya melompat ke atas, bersembunyi di balik reruntuhan batu di sela-sela aru sungai yang akan jatuh menjadi air terjun. Ia melihat jalannya pertarungan di mana para pendekar golongan putih sudah sangat terdesak. Wintara dan Nilasari beberapa kali mengubah para pendekar yang tumbang menjadi pasukan siluman mereka, tetapi Ganawirya dengan dibantu beberapa pendekar kembali berhasil mengubah para pendekar kembali.“Guru Ganawirya dan para pendekar golongan putih tengah bertarung mati-matian dengan para pendekar golongan hitam. Mereka sudah sangat terdesak dan nyaris kalah. Anehnya, aku tidak melihat Kakang Guru dan Tuan Guru. Sepertinya mereka sedang menyiapkan rencana.”Arya terdiam saat Wintara dan Nilasari dalam wujud ular raksasa menghantam para pendekar ke sisi Jaya Tonggoh meski para pendekar kembali bangkit. “Para
Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Bakti Jaya dan Tapasena sudah terbaring di tanah bersama para pendekar golongan putih yang lain. Sementara itu, Ganawirya dan Wirayuda masih berjuang untuk menghadapi rentetan serangan dari para pendekar golongan hitam meski sudah sangat terdesak dan penuh luka.Ganawirya tengah bertarung dengan Argaseni, Bangasera, Brajawesi, Munding Hideung dan Bangkong Bodas. Hampir sekujur tubuhnya sudah dipenuhi dengan darah. Di sisi lain, Wirayuda tengah bergelut dengan Nyi Genit, Kartasura, Wulung, Simeut Koneng dan lima Jurig Lolong meski akhirnya terpental hingga mendarat di tanah dengan cukup kuat. Ganawirya menyusul setelah tidak mampu menahan serangan gabungan.Nyi Genit tertawa, menatap seluruh pendekar yang sudah terbaring tak berdaya di tanah. “Mencoba hingga berkali-kali pun kalian akan tetap kalah. Kalian hanya menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup.”Nyi Genit mengamati keadaan sekeliling, mencari keberadaan Tarusbawa dan Limbur Kancana yang me
Asap mengepul ke sekeliling untuk sementara waktu. Nyi Genit dengan segera mengibaskan kedua selendangnya hingga asap menghilang.“Terkutuk!” Nyi Genit melesat turun. Setengah bagian tubuhnya menjadi keriput. “Aku terlalu banyak menggunakan kekuatanku. Aku tidak mengira pertarungan kali ini membutuhkan banyak kekuatan.”Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng mendarat di tanah.Tongkat perak yang tertancap di tanah seketika meluncur ke arah utara Jaya Tonggoh.“Para pendekar, tiga Jurig Lolong, dan hampir setengah dari siluman hitam menghilang.” Nyi Genit mendengkus, memelotot tajam. “Mereka berhasil terisap oleh jurus dari tombak perak. Tapi keadaan para pendekar bodoh itu tentu—”“Apa?” Nyi Genit terkejut ketika melihat sebuah kubah pelindung. “Mereka berhasil selamat dengan berlindung di kubah pelindung itu. Padahal jurus yang kugunakan tergolong jurus yang cukup kuat.”“Limbur Kancana menggunakan kend
Tubrukan dua kekuatan itu seketika menciptakan gelombang dahsyat ke sekeliling, disusul angin kencang dan asap yang menyebar ke sekitar. Para pendekar golongan putih terpental ke belakang. Ganawirya mengerahkan kekuatannya untuk melindungi Limbur Kancana, Tarusbawa serta seluruh pendekar. Di saat yang sama, para golongan hitam ikut terdorong mundur meski dilindungi oleh dua Jurig Lolong.Di balik asap yang masih menyebar ke sekeliling, tiga bayangan bergerak sangat cepat menuju kerumunan para pendekar golongan putih. Jejak kaki mulai terdengar bersahutan dari arah utara. Banyak bayangan berkelebat cepat menuju arah Jaya Tonggoh.Seseorang menghempaskan asap dengan dua buah kipas di tangannya. Dalam waktu singkat, keadaan kembali seperti semula.Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simet Koneng terkejut ketika melihat tiga orang asing yang berada di barisan para pendekar golongan putih. “Kalian bertiga,” gumam Wirayuda yang mas
Jaya Sasana memekik kencang hingga suaranya terdengar hingga ke sisi Jaya Tonggoh dan sekitarnya. Wira dan Danuseka yang tengah berada di sisi sungai seketika menoleh ke arah Jaya Tonggoh ketika mendengar teriakan itu.Jaya Sasana melompat tinggi bersamaan dengan para pendekar yang melesat maju. Pendekar berusia empat puluh tahunan dengan tubuh tinggi tegap itu segera menghimpun kekuatan, memanggil kesepuluh tiruan, lalu bergerak cepat menyusul para pendekar. Di saat yang sama, golongan hitam ikut menyerang.Seorang pendekar dengan rambut panjang menoleh pada Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Bakti Jaya, dan Tapasena, tersenyum. “Akan sampai kapan kalian terduduk menyedihkan seperti itu? Aku datang bukan untuk melihat kalian bersantai.”“Tutup mulutmu, Manggala Putra,” ujar Ekawira, “di saat kau tertidur pulas, kami semua sudah mempertaruhkan nyawa untuk menghadapi kedua siluman itu dan juga pasukan musuh. Kau sebaiknya segera menyusul Jaya Sasana dan para pendekar ya
“Suara siapa itu?” tanya Candra Kirana seraya berdiri dari tanah. Ia merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat.“Suasana ini membuatku tidak nyaman.” Manggala Putra mengawasi keadaan sekeliling, mengeratkan pegangan pada tombaknya.Jaya Sasana mengarahkan pedangnya ke atas, menghimpun kekuatan, menajamkan seluruh indranya untuk mengetahui dari mana suara itu berasal. Pedanganya tiba-tiba menunjuk arah langit. “Di sana. Suara itu muncul dari arah langit.”Semua perhatian para pendekar golongan putih seketika mendongak ke langit. Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, Simeut Koneng tertawa meremehkan. Tarusbawa berdiri dengan bantuan Indra dan Meswara. Ia mengerahkan kekuatannya, tetapi kekuatannya sudah sepenuhnya terkunci. “Suara ini berasal dari Totok Surya. Dia adalah pemimpin para pendekar golongan hitam.”“Totok Surya.” Para pendekar terkejut ketika mendengar nama tersebut, ditambah keadaan yang semakin mencekam dengan angin dan