“Apa yang terjadi?” Brajawesi, Bangasera, Argaseni, Kartasura, Wintara dan Nilasari terkena jebakan kubah milik Limbur Kancana, kecuali Wulung yang berhasil selamat di saat-saat terakhir. Ukuran tubuh pendekar berkulit legam itu membantunya menghindar hingga kubah hanya meluncur ke tanah kosong yang tadi dipijaknya. “Terkutuk!” Brajawesi menebas kubah dengan kapak sekuat mungkin. Kubah bergetar hingga retak di beberapa bagian, tetapi keadaannya kembali ke keadaan semula. “Kubah merah ini berasal dari kekuatan Limbur Kancana.” Brajawesi tidak bisa melihat keadaan di luar yang tertutup oleh asap tebal. Ia segera berjongkok untuk menghimpun kekuatan. Kapak merahnya tiba-tiba bersinar dan membesar seiring waktu. Argaseni memelotot tajam ketika menyadari dirinya terkurung. Ia segera melesatkan serangan dengan memutar tongkatnya ke sekeliling kubah. Timbul retakan dan lubang kecil, tetapi keadaan kubah kembali seperti sedia kala. “Ternyata kau sudah muncul Limbur Kancana. Kubah sialanmu
Kubah pelindung terus diserang oleh Wulung dengan membabi buta. Keadaan di dalam kubah menjadi panas karena kobaran api yang semakin membesar dan juga bergetar sebab guncangan kuat. Meski demikian, para pendekar tetap berada di tempat, tidak gentar sekalipun.“Bersiaplah.” Limbur Kancana menghilangkan kubah pelindung di saat Wulung akan melesatkan pecut kembali. Kedua kakinya mengentak tanah kuat-kuat hingga berlubang. Tubuhnya meluncur ke atas dengan sangat cepat. Di saat yang sama, ia merapalkan jurus auman harimau putih.Dua ekor harimau putih berukuran besar tiba-tiba muncul dan mengaum dengan keras. Limbur Kancana melompat ke tubuh dua harimau itu, memanggil kujang miliknya. Ia melesatkan serangan ayunan kujang bersamaan dengan serangan auman harimau menuju dada Wulung.Wulung berhasil terdorong mundur selangkah karena tidak menduga akan datangnya serangan. Dadanya terasa sesak hingga ia harus mengalirkan kekuatan untuk menutup lukanya. “Terkutuk!”Wulung memutar pecutnya di atas
Serangan para pendekar golongan putih berhasil melukai mata keempat Jurig Lolong. Darah memancar deras bersamaan dengan tubuh keempat siluman itu yang mendadak bergetar hebat dari atas hingga bawah. Suara teriakan mereka menggelegar hingga mengembus angin kencang dan menerjang ke arah para pendekar. Lambat laun tubuh keempat siluman itu mulai diam seperti batu.“Lakukan sekarang!” Wirayuda berteriak seraya mengacungkan pedang ke atas. Ia mendarat di tanah dan segera mengeluarkan kendi yang diberikan oleh Limbur Kancana saat berada di dalam kubah tadi.Para petinggi golongan putih segera mengirimkan tenaga mereka pada Wirayuda di mana para pendekar berkurumunan dan ikut mengirimkan kekuatan mereka dair bekalang. Ketika tutup kendi dibuka, seketika saja tarikan kuat mengarah pada empat Jurig Lolong.Wulung yang masih bertarung dengan Limbur Kancana terkejut ketika melihat keempat Jurig Lolog tiba-tiba tidak bergerak di mana tubuh mereka mulai tertarik ke arah kendi. “Apa yang terjadi? A
Wulung tiba-tiba terdorong selangkah ketika pecut apinya tiba-tiba terputus. Begitu mendongak ke atas, ia mendapati sebuah kubah berukuran besar langsung mengurungnya. Begitu mendongak, ia mendapati Limbur Kancana berada di pusat kubah.“Terkutuk! Aku lengah!” Wulung segera melesatkan pecut apinya ke seluruh bagian kubah. Api mulai menyelimuti sekeliling, memaksa menghancurkan kubah. Keempat anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari tertawa mengejek ketika melihat Wulung juga ikut terkurung. Mereka kembali memusatkan seluruh pikiran dan kekuatan untuk keluar dari kurungan.Dengan tidak adanya Wulung, para pendekar bisa kembali menarik keempat Jurig Lolong yang tersisa tanpa hambatan, kecuali kekuatan mereka yang semakin melemah.“Kaki dan tangan keempat siluman itu mulai bisa bergerak!” teriak Kolot Raga.Para pendekar mengerahkan kekuatan penuh. Keempat Jurig Lolong berhasil tertarik hingga jarak mereka dengan kubah semakin menipis. Melihat hal itu, Limbur Kancana segera melesat me
Lingga terpental ke belakang setelah serangannya menumbuk dengan serangan tiruan Kartasura. Pertarungan mereka sudah berlangsung cukup lama, bahkan lebih lama dibanding pertarungannya dengan Ki Petot dan Wira. Setiap kali Lingga akan mengalahkan tiruan Kartasura, bayangan peristiwa saat pertarungan di Ledok Beurit lima tahun lalu tiba-tiba muncul.Lingga mengendalikan napas yang sudah terengah-engah. Tatapannya tertuju pada tiruan Kartasura yag tersenyum merendahkan ke arahnya. Bayangan saat bertarung dengan pendekar itu, disusul bayangan keadaan Ki Petot yang terluka parah lima tahun lalu lagi-lagi bermunculan hingga membuatnya melangkah mundur.Tiruan Kartasura tertawa meremahkan. “Karena kaulah Aji Panday meninggal, Lingga. Kalau saja kau tidak muncul dan menghalangiku untuk mengambil kujang emas, pasti tua bangka itu masih tetap hidup sampai sekarang. Kau adalah pembunuh! Kau adalah pembunuh!”Lingga merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Tan
Tiruan Geni, Jaya, dan Barma seketika mengelingi Lingga. Mata mereka merah menyala seiring dengan warna senjata mereka.Lingga mengamati ketiganya bergantian dengan keadaan bersiaga penuh. Suasana di sekelilingnya mendadak menekannya dengan kuat. Bayangan Geni, Jaya, Barma dan seluruh murid padepokan yang marah padanya saat kejadian di Lebak Angin kembali bermunculan.Lingga merasakan dadanya terasa sangat sesak. Ia seperti berada di puncak gunung tertinggi. Kedua kakinya bergetar hebat hingga kuda-kudanya berubah. Saat akan kembali bersiap, tiruan Geni, Jaya, Barma tiba-tiba menyerangnya dengan senjata-senjata mereka.Lingga menahan serangan itu dengan kedua tangan menyilang di atas kepala. Saat akan melompat ke atas, serangan kembali datang hingga keduanya kakinya menekuk dan membuatnya nyaris ambruk di lantai.Lingga menggunakan jurus harimau mencari mangsa untuk lolos dari kurungan tiruan Geni, Jaya, dan Bharma. Ia segera bersiap dengan jurus harimau putih dengan kedua tangan dan
Lingga segera membungkuk hormat ketika melihat Prabu Nilakendra sudah berada di depannya. Sayangnya, wajah pria itu masih terhalang oleh cahaya putih.“Ketenangan batin yang kau peroleh saat ini bisa berubah sesuai dengan keadaanmu, Lingga. Semakin banyak kau menghadapi peristiwa yang menguras hati, pikiran dan jiwamu, semakin sulit juga kau mempertahankan ketenangan batin. Semua kembali pada kemampuanmu dalam mengendalikan dirimu,” ujar Prabu Nilakendra seraya berbalik menghadap kujang emas yang terbang di atas kursi singgasana. “Angkatlah kepalamu dan ikuti aku.”Lingga mulai mendongak, berjalan mengikuti Prabu Nilakendra. Dua cahaya putih dan emas tiba-tiba muncul di sisi kiri dan kanan pemilik kujang pusakan tersebut.“Dengan keadaanmu saat ini, kau bisa meraih pusaka kujang emas dan menggunakannya dalam keadaan sadar.”Lingga terkejut meski di saat yang sama bahagia ketika mendengarnya. “Dengan ini, aku bisa membantu para pendekar untuk mengalahkan dua siluman ular itu sekaligus
Para pendekar terus terdesak hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Mereka bahu membahu menahan dan menghindari serangan yang terus dilancarkam oleh Argaseni, Kartasura, Brajawesi, Bangasera, Wintara dan juga Nilasari. Para pendekar terus bertumbangan di mana hanya tersisa setengah yang masih sadarkan diri dan bertarung.Wirayuda dan keenam petinggi golongan putih yang lain mati-matian melindungi para pendekar dari serangan yang terus berdatangan. Tak sedikit dari mereka terkena serangan hingga menambah deretan luka. Saat serangan besar meluncur ke arah mereka, harimau raksasa milik Limbur Kancana seketika mengubah wujud menjadi kubah pelindung.Limbur Kancana kembali ke tempat para pendekar berada. Ia mengamati banyak pendekar yang sudah terbaring tak berdaya, termasuk ketujuh petinggi golongan putih yang sudah berada di ambang batas. Dengan keadaan seperti ini, para pendekar tidak mungkin bisa bertahan dan ia pun akan kesulitan untuk melawan banyak musuh sekaligus.Ganawirya dan beberapa tiru