Sekar Sari bergegas mencari jalan yang dimaksud. Gadis itu memasuki gua lebih dalam, memasuki satu per satu ruangan. Di saat yang sama, kekuatannya seperti terus terisap hingga membuatnya beberapa kali berhenti karena kelelahan.Sekar Sari terjatuh ketika baru saja memasuki sebuah ruangan. Keringat bercucuran di dahi gadis berselendang merah itu. Banyak ruangan yang sudah dimasukinya. Sayangnya tidak ada tanda dinding tengkorak seperti yang dikatakan sosok itu.“Sebenarnya di mana dinding tengkorak itu? Apa mungkin sosok itu berbohong?” Sekar Sari kembali berdiri, terpejam sesaat untuk memulihkan diri. Ia berjalan hingga ke tengah ruangan. Beberapa lemari berisi kendi, kotak kayu berdiri di dekat dinding, sedang sisa kerangka manusia dan hewan berserakan di sudut-sudut ruangan.“Aku rasa sosok itu tidak mungkin berbohong. Dia mengatakan ‘seingatku’. Itu berarti ada kemungkinan jika ruangan berdinding tengkorak itu digantikan dengan sesuatu yang lain.”Sekar Sari berjalan menuju dindin
“Jurus selendang bidadari.” Sekar Sari melompat ke atas dengan gerakan memutar. Seluruh bagian selendangnya tiba-tiba tertarik ke arahnya, membentuk sebuah kubah pelindung dalam rupa kuncup bunga. Selendang-selendang itu kemudian menyebar ke sekeliling dan menepis semua serangan hingga tulang belulang dan tengkorak terpental ke sekeliling.“Ini kesempatanku.” Sekar Sari mengentak udara dengan kuat, melesat menuju titik lubang yang perlahan diselimuti kembali oleh tengkorak dan tulang belulang. Seluruh bagian selendangnya mengelinginginya dan menepis serangan yang kembali datang.Sekar Sari segera menghimpun kekuatan, menyatukan kedua tangan di depan dada. Seluruh bagian selendangnya tiba-tiba diselimuti cahaya keperakan. Dalam gerakan sangat cepat, gadis itu melesatkan serangan ke arah dinding tengkorak dan tulang belulang dengan kedua tangan. Di saat yang sama seluruh bagian selendangnya ikut menyerang.Sekar Sari menambah kekuatan ketika dinding mulai retak dan menciptakan sebuah lu
Serangan Nyi Genit melesat cepat melintasi permukaan air danau. Wintara dan Nilasari yang menyadari hal itu segera melompat ke atas, lantas melayangkan serangan jarak jauh. Tumbukan serangan-serangan itu seketika meledak dan menyebarkan gelombang kekuatan ke sekeliling hingga permukaan air memercik. Sementara itu, kelima anggota Cakar Setan tetap memustakan pikiran pada pemulihan diri mereka masing-masing. Tubuh mereka melayang di atas permukaan air danau di mana tubuh mereka diselimuti cahaya merah kehitaman. Wintara dan Nilasari mendarat di pinggiran danau, mengawasi keadaan sekeliling di mana asap putih masih menyelimuti sekeliling. “Siapa yang berani menyerang kita, Kakang?” Nilasari menggerakkan selendangnya ke depan dan belakang. Sapuan angin seketika menerbangkan asap ke samping kiri dan kanan sehingga pemandangan di depan terlihat lebih jelas. Wintara mengamati kelima anggota Cakar Setan yang masih memulihkan diri. “Aku tidak mendapati tanda-tanda jika kelima anggota Cakar
Wintara memelotot tajam pada Nilasari. “Jangan membuatku marah lebih dari ini, Nilasari. Tunjukkan rasa hormatmu pada Nyi Genit.”Nilasari menoleh ke sisi lain. “Baiklah, Kakang.”Nyi Genit tertawa puas saat melihat kekalahan di wajah Nilasari. Ia segera melepaskan jeratan selendangnya di tubuh dua siluman kembar itu. “Berlututlah dan berterimakasihlah padaku sekarang juga.”Wintara dan Nilasari segera berlutut, nyaris bersujud hingga kening mereka hampir menyentuh permukaan air danau. “Terima kasih karena sudah menolong kami, Nyi.”“Berdirilah dan mendekatlah padaku,” perintah Nyi Genit. Wintara dan Nilasari segera bangkit, berjalan mendekat ke arah Nyi Genit.“Apa kalian berdua sudah mendapatkan racun kalong setan?”“Kami sudah mendapatkan, Nyi,” jawab Wintara seraya mengambil kendi dari balik pinggangnya. “Munding Hideung dan Bangkong Bodas yang sudah memberikannya pada kami” “Dengarkan aku baik-baik. Racun kalong setan itu berbeda dari racun kalong setan yang aku berikan pada ke
“Sekarang pergi dari hadapanku dan hancurkan para pendekar golongan putih. Buktikan jika kalian berdua layak di hadapan Gusti Totok Surya,” perintah Nyi Genit. Wintara dan Nilasari mengangguk, melompat ke atas dan secara tiba-tiba menghilang dari hadapan Nyi Genit. Keduanya kembali muncul di perbatasan hutan siluman, tepatnya di puncak sebuah pohon. “Hutan siluman ini penuh dengan racun kalong setan. Hanya dengan berdiam diri di sini, kita bisa memperoleh kekuatan,” ucap Wintara.“Kakang, segera keluarkan racun kalong setan dan lakukan seperti yang sudah kita rencanakan. Aku tidak sabar untuk membalas para pendekar bodoh itu.”“Baiklah.” Wintara mengeluarkan kendi racun kalong setan. Ia menggerakkan satu tangannya untuk menarik sesuatu dari dalam kendi. Sebuah batu berwarha hitam kemerahan tertarik keluar dan Wintara dengan segera menelannya. Wintara merasakan kekuatan yang meluap di sekujur tubuhnya. Mustika siluman dalam dadanya mendadak bersinar terang. Seluruh sisik ular di ked
Sekar Sari berjalan agak cepat menuju bekas pertarungan, mengawasi keadaan sekeliling, melompat ke puncak pohon. “Aku secara samar merasakan hawa kehadiran Nyi Genit dan seseorang yang asing bagiku di tempat ini.” Sekar Sari tercekat ketika melihat sebuah titik cahaya di balik rerimbunan pohon. Setelah mengawasi keadaan dan memastikan aman, gadis itu melompati satu per satu dahan pohon hingga berada di sebuah tanah lapang. “Itu ….” Sekar Sari terdiam ketika melihat seseorang tengah bersemedi di dalam sebuah kubah. “Siapa sosok itu? Apa mungkin dia yang bernama Tarusbawa? Tapi bagaimana jika dugaanku salah?”Sekar Sari tiba-tiba melompat ke dahan samping ketika merasakan hawa kehadiran seseorang di belakangnya. “Tiruan Kakang Guru?”Sekar Sari dengan cepat menahan tubuh tiruan itu yang akan terjatuh ke bawah. Sosok tiruan itu mulai menghilang dari bagian bawah dan terus naik hingga ke atas. “Ini pasti karena racun kalong setan.”Sekar Sari segera membuka kendi penawar racun kalong se
Sekar Sari segera membungkuk hormat. “Benar, Tuan Guru. Namaku Sekar Sari, murid dari Guru Ganawirya dan Kakang Guru Limbur Kancana.”“Bagaimana kau bisa selamat dari gua Nyi Genit?” tanya Tarusbawa, “aku mendengar dari Limbur Kancana jika kau sengaja diculik oleh siluman-siluman suruhan Nyi Genit.”Sekar Sari mengambil kendi pengisap, menunjukkan pada Tarusbawa. “Aku berhasil selamat setelah memasuki kendi ini, Tuan Guru. Aku juga berhasil mendapatkan racun kalong setan, penawar racun kalong setan serta gulungan-gulungan dan kendi-kendi yang dibuat oleh Nyi Genit sebelum keluar dari gua. Aku dibantu oleh seseorang untuk mendapatkannya sekaligus keluar dari gua.”“Seseorang?” Tarusbawa menatap kendi miliknya yang berada di tangan Sekar Sari. Kendi itu adalah miliknya yang berasal dari alam lain sehingga bisa memiliki kekuatan mengisap benda apa pun. “Seseorang itu terjebak di sebuah kendi yang berada di samping penjara yang mengurungku. Dia mengatakan bahwa dia sudah lama terkurung d
Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang bersama Tarusbawa. Ia terkejut ketika mendapati Sekar Sari. “Sekar Sari, kau berhasil melarikan diri dari hutan siluman? Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Iya, Kakang Guru. Aku baik-baik saja sekarang. Banyak hal yang sudah terjadi padaku, tapi aku bersyukur karena aku bisa keluar dari hutan siluman tanpa terluka parah.”“Syukurlah, Raka Tarusbawa menolongmu.” Limbur Kancana merasa sangat lega. Ia begitu khawatir karena tidak bisa menghubungi Tarusbawa, ditambah tidak bisa melihat bagaimana keadaan tiruan-tiruannya. “Bukan aku yang sudah menolong Sekar Sari, tapi Sekar Sari-lah yang sudah menolongku,” kata Tarusbawa.“Benarkah itu, Sekar Sari?” Limbur Kancana kembali terkejut. “Nyi Genit memenjarakanku di sebuh penjara. Untungnya aku berhasil lolos denga bantuan kendi yang diberikan Kakang Guru padaku. Selain itu, aku juga berhasil mendapatkan racun kalong setan, penawar racun kalong setan sekaligus kendi ramuan dan gulungan-
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me