“Kita berhasil,” ujar Galisaka sembari mendekat ke arah Ekawira dan Jatiraga. Ia berjongkok untuk memeriksa keadaan kedua pendekar itu. “Mereka hanya tidak sadarkan diri untuk sementara waktu.”Galisaka kembali berdiri, memanggil kendi yang mengurung Kolot Raga dan Tapasena. Ia membuka kembali tutup kendi ramuan pengubah wujud, lalu mendekatkan lubangnya pada lubang kendi pertama. Dalam sekejap, asap putih memasuki kendi tempat Kolot Raga dan Tapasena terkurung hingga kendi itu berguncang beberapa kali. Kolot Raga dan Tapasena seketika keluar dari kendi, berguling-guling di atas tanah dengan kedua tangan memegangi leher. Tubuh mereka mulai kembali seperti semula hingga akhirnya mereka tidak sadarkan diri.“Kita tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu mereka sampai sadarkan diri. Kita harus segera menyadarkan mereka dan mencari keberadaan Wintara dan Nilasari.” Baktijaya segera berjongkok, menotok tiga titik di bagian dada Ekawira, Jatiraga, Kolot Raga dan Tapasena. Ekawira, Ja
Lingga segera berdiri, mengamati air yang bergejolak di sekelilingnya. Ia terkejut ketika air terjun di dekatnya tiba-tiba menyusut hingga akhirnya menghilang. Sebuah lubang cukup besar mendadak muncul di bekas aliran air terjun.“Lubang apa itu?” Lingga melompat ke dekat lubang, melongokkan kepala ke dalam. Ia terkejut ketika melihat sebuah pemandangan hutan di mana banyak titik api dan asap mengepul di beberapa tempat. “Aku merasakan hawa keberadaan paman.”Lingga mengalirkan tenaga dalamnya ke arah lubang. Dalam sekejap pemandangan beralih pada keadaan Limbur Kancana yang tengah berdiri di puncak pohon dengan mata tertutup. Tak jauh dari Limbur Kancana, terdapat dua pendekar yang tengah bertarung dengan seorang siluman dengan tanduk kerbau dan sabit api di tangannya.“Mungkinkah ini peristiwa yang sedang terjadi di luar sana?” Lingga mengalihkan pandangan ke sisi lain. Ia melihat para pendekar tengah bertarung dengan sekumpulan siluman ular. “Sepertinya ini adalah pertempuran besar
Di tempat berbeda, Kolot Raga dan Tapasena masih bertarung dengan Munding Hideung selagi Limbur Kancana menyiapkan kendi untuk mengurung Munding Hideung. Pedang dan sabit api saling menghantam satu sama lain, disusul oleh cambuk yang bergerak cepat melewati sela-sela pepohonan dan saling beradu dengan sabit api.Kolot Raga dan Tapasena melirik ke sekeliling sesaat, kemudian melesat cepat ke arah depan dengan sebuah serangan. Serangan mereka mampu menangkis empat sabit api hingga terpental ke belakang.Empat sabit api kembali menyatu menjadi sebuah sabit api berukuran besar di tangan Munding Hideung. Siluman kerbau itu memutar-mutar sabit dan dalam satu entakan kuat melesatkannya ke arah Kolot Raga dan Tapasena.Kolot Raga dan Tapasena tiba-tiba menghilang bersamaan dengan munculnya dua tiruan Limbur Kancana di samping mereka. Keduanya kembali muncul di belakang Munding Hideung dan dengan segera melesatkan serangan bertubi-tubi.Munding Hideung terlempar ke depan dengan kuat. Siluman i
Bangkong Bodas melompat tinggi ke udara dengan serangan bertubi-tubi ke arah empat harimau yang masih mengikat pergerakan Munding Hideung. Empat harimau itu terdorong ke belakang hingga akhirnya menghilang.Bangkong Bodas kembali tertawa sembari mendekat ke arah Munding Hideung. “Pendekar Hitam itu bukanlah Pendekar Hitam yang menangkapku saat di hutan siluman. Dia sosok yang berbeda.” Munding Hideung dan Bangkong Bodas tiba-tiba melompat ke belakang ketika serangan menerjang ke arah mereka. Kolot Raga dan Tapasena muncul dari atap pohon sembari melayangkan serangan susulan. Ayunan pedang api dan lesatan cambuk menerjang ke arah dua siluman itu, tetapi kembali berhasil dihindari dengan tendangan. “Kau selalu saja datang terlambat, Bangkong Bodas,” ujar Munding Hideung seraya mengawasi keadaan sekeliling.“Kau salah, Munding Hideung. Aku datang di saat yang tepat. Saat ini penjagaan hutan siluman diserahkan pada Simet Koneng dan para siluman.”“Lalu
Munding Hideung menggerakkan satu jarinya ke bawah. Sabit api tiba-tiba muncul dari balik pohon dan langsung menyerang Kolot Raga dan Tapasena hingga kedua petinggi golingan putih itu berhasil dipukul mundur. Sabit api terus memutar, memotong cambuk hingga Munding Hideung dan Bangkong Bodas berhasil terlepas.Tiruan-tiruan Limbur Kancana segera bermunculan dan menyerang Munding Hideung dan Bangkong Bodas. Di saat yang sama, Limbur Kancana kembali mengerahkan kekuatan untuk menarik kedua siluman itu ke dalam kendi.Limbur Kancana tiba-tiba tercekat ketika mendapati sekelebat penglihatan dari salah satu tiruannya di suatu tempat yang melihat tanah berguncang dengan keadaan tak biasa. “Apa mungkin itu adalah Wintara dan Nilasari? Dari ciri-ciri yang kulihat, tempat itu berada di sekitar perbatasan antara hutan ini dengan hutan siluman. Ini gawat.”Munding Hideung dan Bangkong Bodas berusaha untuk bertahan dari isapan kendi. Kedua siluman itu segera menarik diri ke arah berlawanan. Di saa
Munding Hideung segera berjongkok, menempatkan kedua telapak tangan di tanah. Ia merasakan aliran kekuatan yang berada di balik tanah. “Aku sempat merasakan hawa keberadaan Brajawesi di sekitar tempat ini. Aku tidak mengira jika dia terkurung di tempat ini bersama anggota Cakar Setan yang lain. Apakah ini ulah si Pendekar Hitam?”“Kau benar.” Bangasera tiba-tiba terbatuk, menekan dadanya untuk mengurangi rasa sakit. “Lebih tepatnya ini adalah ulah dari Tarusbawa. Dia sengaja mengurung anggota Cakar Setan agar kami tidak ikut terlibat dalam pertarungan ini.”“Tarusbawa?” Munding Hideung terdiam sesaat. Untuk kedua kalinya ia merasakan getaran kuat dari bawah tanah. “Aku sepertinya pernah mendengar nama itu sebelumnya.”“Tarusbawa adalah salah satu dari pendekar Sayap Putih. Dia jugalah sosok Pendekar Hitam yang menyerang dengan rantai putih dan tombak perak,” terang Bangasera.“Pendekar Sayap Putih?” Munding Hideung dan Bangkong Bodas sontak terkejut.“Ini aneh sekali. Sosok Pendekar H
Sementara itu, Bangkong Bodas melesatkan serangan angin dari mulut ke arah rantai putih berkali-kali. Siluman itu menghindar dengan gesit dari serangan ranati, melompat tinggi, mendarat di atas rantai, kemudian berlari menuju arah kubah. Bangkong Bodas mengeluarkan racun kalong setan dari tubuhnya. Asap hitam seketika menyebar sehingga kedua rantai mulai tertarik mundur ke arah kubah. “Rantai itu nyatanya sudah diselimuti penawar racun kalong setan.” “Bergunalah sedikit, Bangasera,” ucap Munding Hideung di saat dirinya mengendalikan sabit api untuk menghancurkan bebatuan yang terus meluncur dari langit. Ia melompat mundur, mendarat di dekat Bangasera, lalu melemparkan kendi racun kalong setan pada Bangasera. “Tutup mulutmu, Munding Hideung!” Bangasera menangkap kendi dengan segera, duduk bersemedi, membiarkan asap racun kalong setan mengelilinginya. Bebatuan besar masih terus bermunculan dari langit. Munding Hideung kembali melesatkan sabit apinya untuk mengatasi serangan tersebut.
Nyi Genit perlahan membuka mata. “Apa yang ingin kau sampaikan, Simet Koneng?” Simet Koneng menunduk dalam, merasa gemetar karena kabar yang akan disampaikannya bisa saja membuat Nyi Genit marah besar. “Munding Hideung memberitahuku bahwa ada kemungkinan pendekar yang bernama Tarusbawa berada di hutan ini.”“Tarusbawa?” Nyi Genit segera melompat dari tempat semedi. Tatapannya memelot jauh ke depan. Sejak tadi, ia merasakan kekuatan besar yang timbul dan menghilang di hutan ini. “Dia adalah pendekar yang tergabung dalam pendekar Sayap Putih. Dia bukanlah pendekar yang bisa dikalahkan dengan mudah. Tarusbawa sudah menghilang berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku tidak tahu jika dia akan muncul di saat-saat seperti ini.”Simet Koneng mendongak. “Keberadaan Tarusbawa di hutan ini bisa menjadi jawaban kenapa banyak siluman yang menghilang.”“Kurang ajar!” Nyi Genit memekik kencang gua dan tanah bergetar hebat. “Bisa jadi Tarusbawa adalah sosok yang menyelinap masuk dan
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me