"Apakah kamu juga akan pergi ke Kota Hu Jian?" tanya Shu Zhen dengan suara yang tenang, hampir dingin.Guo Xiang merasakan kekosongan dalam diri pemuda ini, seolah-olah perasaan tidak memiliki tempat dalam hatinya. Sebuah getaran tak nyaman merayap di tulang punggungnya. "Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada pemuda yang tak berperasaan seperti ini? Mengapa ini begitu menyebalkan?""Nona Guo?" panggil Shu Zhen lagi, lebih lembut."Panggil saja aku Guo Xiang! Aku tidak suka dipanggil Nona," jawabnya dengan nada tajam, kecewa karena Shu Zhen tampaknya tidak merasakan apa yang dia rasakan."Apakah aku benar memilih jalan ini? Mengharapkan pemuda ini sebagai pasanganku? Meskipun Kitab Ramalan Surgawi meramalkannya, aku berhak menolak takdirku! Ah, pusingnya!" pikir Guo Xiang dalam hati."Bagaimana kalau aku memanggilmu Xiang'er saja? Kamu bisa memanggilku Zhen'ge... hahaha! Tentu saja, jika kamu tidak keberatan," Shu Zhen berkata dengan enteng, senyum tipis terlukis di wajahnya.Waj
"Tentu saja, bodoh!" jawab Guo Xiang sambil tertawa lepas dan melesat menggunakan ilmu gin-kang. "Kejar aku kalau bisa!" serunya, tubuhnya sekejap menghilang dari pandangan Shu Zhen."Wow! Cepat sekali!" kata Shu Zhen kagum, melihat bayangan merah Guo Xiang yang semakin jauh. Ia segera mengerahkan tenaga dan mengejarnya, bayangan biru miliknya berpadu dengan bayangan merah Guo Xiang di antara teriakan dan tawa riang mereka yang menggema.Udara malam mulai dingin ketika mereka akhirnya tiba di Kota Hu Jian. Cahaya lampu-lampu kota yang berkelip menyambut mereka, membingkai suasana malam yang penuh kehidupan."Kita harus mencari penginapan, Nona Guo!" ucap Shu Zhen, matanya berkeliling mencari tanda-tanda penginapan. "Tidak ada yang bisa kita lakukan malam ini selain mencari makanan enak setelah membersihkan diri di penginapan, bagaimana menurutmu?" tawarnya sambil tersenyum.Guo Xiang mengangguk setuju, tubuhnya mulai lelah dan lengket oleh keringat. "Tapi kalau penuh, kamarnya harus t
“Bagaimana? Kamu suka tidak?” tanya Guo Xiang sambil tersenyum, matanya berbinar melihat Shu Zhen memegang pakaian baru. Ada dua pasang pakaian pendekar dan satu pasang pakaian santai untuk bangsawan di tangannya, semuanya terbuat dari sutra berkualitas tinggi.“Apa tidak kemahalan, Nona Guo?” tanya Shu Zhen, ragu-ragu. Dia merasakan kelembutan sutra di ujung jari-jarinya, dan hati kecilnya berteriak menolak menerima hadiah ini. Mereka hanya teman seperjalanan, tidak lebih.“Tentu saja tidak!” Guo Xiang menjawab tegas, senyumnya berubah serius. “Pakaian harus dari bahan yang kuat agar tahan lama. Aku belikan ini untukmu, jangan menolak atau aku akan marah dan tidak bicara lagi padamu!”Mau tak mau, Shu Zhen menerima pakaian itu, meski hatinya tetap gelisah memikirkan biaya yang dikeluarkan Guo Xiang.“Yuk, kita makan! Perutku sudah keroncongan. Makan apa enaknya?” ajak Guo Xiang setelah mereka keluar dari toko.“Makan di Kedai Makanan tepi laut saja, yuk!” Shu Zhen tersenyum, merasa ke
Para pelayan Kedai Makanan itu gemetar di tempatnya, wajah mereka pucat pasi saat Guo Xiang memerintahkan dengan suara dingin, "Bungkus semua makanan yang telah kami pesan!" Mereka berlarian ke dalam dapur, tangan-tangan mereka bergerak cepat namun gemetar, takut akan apa yang mungkin terjadi jika mereka bergerak lambat.Keringat dingin mengalir di dahi mereka, jantung mereka berdetak kencang, seakan-akan bisa meledak kapan saja. Pandangan mereka sesekali mencuri pandang ke arah Guo Xiang dan Shu Zhen, dua sosok yang menimbulkan ketakutan dalam dada mereka.Guo Xiang memperingatkan dengan nada mengancam, "Aku tidak ingin ada yang tahu kami ada di sini. Kalau sampai ada yang berani buka mulut, aku akan mencari kalian semua!" Kata-katanya tajam seperti pedang, menancap dalam di hati para pelayan yang hanya bisa mengangguk ketakutan.Setelah meninggalkan sejumlah uang di atas meja, Guo Xiang dan Shu Zhen berlalu dari Kedai Makanan Kuda Laut, meninggalkan suasana mencekam di belakang mere
Desas-desus dunia persilatan menyebut Pulau Racun Api dikelilingi racun mematikan, namun kenyataannya tidak begitu. Pulau ini memancarkan keindahan, dengan pepohonan hijau yang rimbun. Tantangannya bukan pada pulau itu sendiri, melainkan pada jalur menuju ke sana. Karang-karang tajam yang menghantam perahu hingga hancur membuat perjalanan sangat berbahaya.Guo Xiang, yang telah beberapa kali ke sana, sudah hafal jalur aman menuju pulau ini.Saat perahu mereka tiba dan ditarik ke daratan, sosok berpakaian serba merah muncul dari balik kabut tipis yang menyelimuti pulau, membuat suasana terasa lebih dingin dan misterius."Siapa yang berani masuk ke Pulau Racun Api tanpa izin?" Suaranya bergema dengan nada menantang.Guo Xiang segera berlutut dan memberikan hormat kepada sosok tersebut. "Teecu datang berkunjung ... salam hormat, Subo!" Ia menarik tangan Shu Zhen untuk ikut bersujud.Dengan wajah bingung, Shu Zhen mengikuti instruksi Guo Xiang."Xiang'er! Kamukah itu?" Suara sosok berpaka
Malam itu, udara terasa agak sesak dan penuh dengan ketegangan. Di dalam sebuah rumah sederhana di Pulau Racun Api, percakapan berlangsung dengan penuh keprihatinan. Bu Sam Nio, seorang wanita tua dengan rambut yang sudah memutih dan keriput di wajahnya yang bijak, duduk di hadapan Guo Xiang dan Shu Zhen. Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Aku tidak bisa berbuat banyak kalau putra walikota telah dibunuh oleh Shu Zhen," katanya pelan, suaranya serak namun tegas. "Lebih baik kalian berpisah untuk sementara waktu. Mereka sedang mencari pasangan yang membunuh putra walikota... jika kalian berpisah, kemungkinan lolos masih besar. Tak ada yang mengenali kalian sebagai pendekar terkenal, jadi menurutku tidak ada yang perlu dilakukan untuk saat ini."Ucapan Bu Sam Nio membuat udara semakin sesak. Tak banyak yang bisa dilakukan di Pulau Racun Api ini."Jadi, bagaimana menurut Subo?" tanya Guo Xiang, matanya mencari jawaban di wajah Bu Sam Nio."Kamu tinggal di sini dulu sem
Sudah sebulan Shu Zhen berada di Perguruan Bangau Putih. Setiap hari ia menghabiskan waktu membersihkan lingkungan perguruan, hanya mendapat sedikit pelajaran ilmu bela diri. Ia dikenal dengan nama Liu Kang dan tampak seperti pemuda biasa yang berdedikasi, meskipun hatinya dipenuhi rahasia kelam yang bahkan ia sendiri tidak menyadarinya. Qian Wang, pemimpin perguruan yang juga kakeknya, tidak mengenali Shu Zhen. Begitu pula Shu Zhen yang tidak memiliki ingatan bahwa kakeknya adalah pembunuh kedua orang tuanya.Suasana di perguruan tiba-tiba berubah menjadi hiruk pikuk. Para pelayan wanita bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatunya."Ssst ... Liu Kang! Cepat bersihkan tempat ini, Tuan Putri Qian Lian akan datang melihat kemajuan murid-murid perguruan yang belajar ilmu bela diri termasuk murid luar!" bisik seorang pelayan wanita dengan nada terburu-buru.Shu Zhen, dengan sapu di tangan, menghentikan gerakannya sejenak. "Aku ini murid luar, Kak ... apa aku boleh bersiap-siap?" tanya
Setiap kali Putri Qian Lian berkunjung ke tempat tinggal Shu Zhen, murid-murid lain, terutama dari Perguruan Bangau Putih, merasa iri hati. Mereka memandang dengan kecemburuan, menyaksikan kedekatan keduanya.Mereka menunggu waktu yang tepat ketika Putri Qian Lian kembali ke Perguruan Kun Lun. Mereka merasa terhina dengan keberanian Shu Zhen yang berani menjalin hubungan dengan putri Ketua Qian Chao dan cucu Qian Wang. Qian Wang, yang terkadang masih duduk sebagai Ketua Perguruan Bangau Putih, sering mengabaikan perasaan putranya yang sakit hati.Hari yang dinanti akhirnya tiba. Tiga murid senior, Han Zhou, Zhang Yuan, dan Chao Laong, merasa dendam mereka semakin membara. Ketiganya pernah berharap mendapatkan cinta Putri Qian Lian, namun harapan itu tak pernah berbalas. Kini, rasa sakit hati mereka tertuju pada Shu Zhen.Han Zhou, dengan wajah serius dan tatapan tajam, memimpin langkah mereka menuju tempat Shu Zhen berlatih. Zhang Yuan, dengan tubuh tegap dan ekspresi marah, mengepalk