Baraka tak asing lagi dengan wajah itu, yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat. Karenanya, Pendekar Kera Sakti sangat terkejut melihat Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah salah satu dari tiga kelompok perempuan patah hati. Temannya yang dua adalah Selendang Maut dan Peri Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Baraka setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.
"Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi di sini? Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok kediaman Peramal Pikun?" pikir Baraka dalam renungan sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di sekitar lehernya ada bilur-bilur luka, dan di kedua lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata tajam beberapa kali.
Dewa Racun memandang mata Pendekar Kera Sakti. Pe
Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya memperhatikan Baraka yang mencoba masuk ke dalam pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan sebagian atap."Pikun...!" desis Baraka dengan mata tak berkedip, jantungnya berdetak dengan kuat. Di belakangnya segera menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis tegang."Renggono...?"Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar anyaman pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat letak kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ dengan keadaan susah payah. Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, menggelembung kecil dan akhirnya pecah memercikkan darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun
"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu.""Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong sesama," Pendekar Kera Sakti merendahkan diri, tak lupa tangannya mengaruk kepalanya yang tak gatal.Dewa Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu depan Baraka dan bertanya, "App... apakah... ilmu 'Tenaga Matahari Merah' bisa untuk... untuk mengobati segala macam luka raac... raac... racun?"Pendekar Kera Sakti sunggingkan senyum rikuh, namun ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa.""Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua... semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu 'Tenaga Matahari Merah'"Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera berseri setelah memandang Dewa Racun."Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa teman baru? Hmm... siapa namanya? Kulihat anak muda itu cukup gagah dan ganteng."
"Maksudmu?""Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung Amuk tersinggung, atau merasa jengkel dengan jaaa... jaaa....""Janda?""Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan Sesat. Seb... seeeb... seeb....""Sebul?""Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal... kalau sedang marah, tak segan-segan membunuh orang walaupun perkaranya kee... keee....""Kecil!""Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin Dadung Amuk bunuh ooor... orrr... orrr...""Orok?""Orang!" sentak Dewa Racun."Kau tahu banyak tentang dia rupanya?""Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di Puri Gerbang Kayangan. Ak... aku... aku pernah terdesak melawannya."Semakin sangsi hati Baraka. Jika benar Singo Bodong itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa Racun itu agaknya bukan pengakuan yang dibuat-buat.
Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang. Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti monyet kegatalan. Tontonan itu memancing seseorang untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-tunggu oleh Baraka.Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada Baraka, "Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa... datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya Dadung Amuk!"Baraka kerutkan dahi. Setahu Baraka, orang tinggi besar yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Baraka pun membantah. "Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi bernama Singo Bodong!""Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak... aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti mengenaliku, Baraka! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, cobalah kau panggil dia!"Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan
Pendekar Kera Sakti mengajak Singo Bodong duduk di dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada Singo Bodong. "Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua orang tadi.""Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa Racun?"Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun, melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong,"Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama Dadung Amuk?""Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo Bodong dengan polos, tanpa ngotot sedikit pun."Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya Siluman Selaksa Nyawa!"Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok punya Selaksa Nyawa? Orang mana dia itu?""Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" sentak Dewa Racun dengan kegeramannya. Singo Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang Baraka.
"Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka Dadung Amuk.""Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo Bodong.Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar Kera Sakti melangkah bersama Singo Bodong ke arah bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin, "Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau secara diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak segera ditolong Baraka, bisa mati dia! Apakah dia memang bukan Dadung Amuk? Rasa-rasanya sulit aku mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk!"Baraka berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia kosong. Tidak punya ilmu apa-apa.""Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan liciknya, Baraka," balas Dewa Racun berbisik."Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya, aku tidak merasakan getaran membalik sed
Pendekar Kera Sakti ganti bicara pada Singo Bodong, "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!""Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar, Baraka? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia tahu ke mana aku pergi!""Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi mass... masih harus pamit ibunya segala!" kata Dewa Racun."Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah.""Tak ada temannya?""Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik iparnya!""Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!" kata Pendekar Kera Sakti sedikit membentak dan menahan rasa geli."Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa makanan kalau memang ada.""Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?""Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.Singo
Kecurigaan Pendekar Kera Sakti menjadi bertambah setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak Pendekar Kera Sakti dengan sungguh-sungguh."Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja hah!"Di dalam hati Baraka berkata, "Singo Bodong tidak akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!""Hei, kau tuli!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku tanya kepadamu, apakah kamu kenal dengan orang yang bernama Baraka! Kalau kenal bilang saja kenal, kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku melabrak kepalamu, tahu!""Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Kera Sakti dengan kalem. "Siapa namanya tadi?""Baraka!" teriaknya keras dengan wajah dongkol."Aneh. Nama kok Baraka?" gumam Baraka berlagak bingung."Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan membunuhnya!"Terkesiap Pendekar Kera Sakti mendengar kalimat terakhir. Ger