Mendelik mata Baraka mendengar cerita Dewi Pedang Halilintar. Amarahnya memuncak lagi. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Nek?" selidiknya lagi.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh bunuh aku sekarang juga."
Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar itu, Baraka mendesah. Antara percaya dan tidak, Baraka berkata, "Lanjutkan ceritamu, Nek."
Dewi Pedang Halilintar batuk-batuk sebentar, lalu berkata, "Kemuning yang berilmu lebih rendah ditotok hingga tak dapat berbuat apa-apa. Dan dengan kecepatan luar biasa, pemuda itu memungut potongan senjata yang tergeletak di tanah. Tak dapat aku menghindar ketika mata pancing melukai bahu kiriku. Selagi aku mengaduh kesakitan, tiba-tiba pemuda itu menggebuk punggungku dengan potongan dayung...."
"Lalu?" buru Baraka.
"Aku jatuh ke tanah. Namun sebelum pingsan, aku sempat melihat pemuda berpakaian serba merah itu menyambar tubuh Kemuning dan membawanya lari...."
"Keparat!" geram Baraka tiba-tiba.
"Bila ka
Sementara, Ikan Mas Dewa terus meluncur berputar-putar. Semakin besar gelombang dan ombak yang terbuat. Akibatnya, semakin banyak perahu yang terbalik atau pecah karena saling bentur. Para saudagar dan bangsawan tak berani mendayung perahu ke tengah telaga. Kekuatan Ikan Mas Dewa benar-benar membuat mereka ngeri. Belasan saudagar dan bangsawan bahkan tampak tergesa-gesa menambatkan perahu lalu meloncat ke daratan. Namun, bagi para pesilat yang sudah terbiasa melihat sesuatu yang menggiriskan, kekuatan Ikan Mas Dewa malah membuat semangat mereka terbakar. Sambil menjaga keseimbangan perahu agar tak terbalik, mereka melemparkan berbagai jenis senjata tajam. Maka dalam beberapa kejap mata, puluhan tombak, pedang, golok, trisula, dan anak panah tampak berlesatan. Namun, Ikan Mas Dewa tampak tenang-tenang saja. Hujan senjata yang menimpa tubuhnya tak satu pun yang dapat melukai. Padahal, senjata-senjata itu dilemparkan dengan kekuatan penuh yang disertai tenaga dalam. Mel
Keempat kakek itu langsung menerjang Baraka dengan serangan-serangan mematikan. Mereka meloncat bergantian dan saling bertukar perahu. Baraka jadi kerepotan. Selain harus menghindari sambaran golok yang datang bertubi-tubi, dia pun harus tetap memegangi tali baja yang membelit Ikan Mas Dewa."Empat Iblis Gundul! Kalian benar-benar tak tahu peradatan!" Tiba-tiba, dari sisi kiri perahu Baraka terdengar teriakan keras yang dibarengi melesatnya sebuah perahu. Penumpangnya seorang kakek berwajah halus yang mengenakan pakaian serba hijau. Dia Bagus Tembini alias Sastrawan Berbudi!Usai berteriak, Sastrawan Berbudi langsung menerjang salah seorang dari empat kakek berkepala gundul yang disebut sebagai Empat Iblis Gundul. Cepat sekali gerakan Sastrawan Berbudi. Dengan menggunakan sebatang bambu sepanjang tiga jengkal yang ujungnya terdapat bulu-bulu halus, dia berani menangkis tebasan golok yang mengarah ke pinggang Baraka.Trang...!Bunga api memercik ke mana-ma
Bayangan itu berkelebat cepat sekali. Namun, mata Baraka yang tajam dapat melihat bila si bayangan membawa sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning berkeredepan. Jelas sekali bila pedang itu adalah sejenis pedang pusaka yang tentu saja memiliki ketajaman luar biasa! Melihat si bayangan terus melesat mendekati Ikan Mas Dewa, Baraka jadi khawatir. Walau Ikan Mas Dewa kebal terhadap senjata tajam, tapi apakah dia juga kebal terhadap tusukan atau tebasan pedang pusaka" "Awas...!" Baraka berteriak keras untuk memberi peringatan. Ikan Mas Dewa menggerakkan sirip dan ekornya, namun... lesatan bayangan merah lebih cepat. Akibatnya..... Crept! Crash...! Byarrr...! Byarrr...! Ikan Mas Dewa menggeliat kesakitan. Timbul gulungan ombak besar. Air telaga yang semula jernih berubah merah karena ternoda oleh cairan darah. "Ya, Tuhan...." Sekali lagi, Baraka menyebut nama kebesaran Sang Penguasa Tunggal. Pemuda ini dapat melihat den
PUCUK-PUCUK cemara melambai dalam senyuman, menyambut siraman sinar mentari sore hari. Aneka warna burung parkit berkicau riang bersama elusan sang bayu. Di antara jajaran manusia yang berdiri di tepi Telaga Bidadari, dua sosok bayangan berkelebat meninggalkan perahu yang mereka tumpangi.Kedua bayangan itu berkelebat cepat sekali dan menimbulkan tiupan angin kencang bergemuruh. Daun cemara berguguran, jatuh ke tanah bagai ribuan jarum yang ditebarkan dari angkasa. Ketika melewati sebuah aliran sungai yang berada di utara Kota Salakan, sosok bayangan yang ada di belakang berteriak keras, "Berhentilah, Sahabat! Kita salah langkah!"Mendengar teriakan yang dialiri tenaga dalam itu, sosok bayangan yang ada di depan langsung menghentikan kelebatan tubuhnya. Ternyata, dia seorang kakek berkepala gundul licin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus jubah kuning dan selempang kain merah bercorak kotak-kotak. Wajahnya yang halus menyiratkan sifat welas asih. Seuntai tasbih meli
"Jahanam kau, Sastrawan Jelek! Sudah tahu kenapa bertanya lagi!" sentak salah satu dari Empat Iblis Gundul yang mengenakan kalung perak. Namanya Surogentini. Sambil berkata, Surogentini menggerak-gerakkan goloknya seakan sedang mencacah wajah Sastrawan Berbudi. Sementara, ketiga teman Surogentini yang bernama Surogati, Waraksuro, dan Banyaksuro langsung memasang kuda-kuda.Namun, Sastrawan Berbudi malah tersenyum. Ditatapnya wajah Empat Iblis Gundul bergantian."Kupikir, aneh juga tindakan kalian ini," ujarnya."Jauh-jauh kalian datang dari Pesisir Laut Selatan tentu terkandung satu tujuan untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa. Tapi, kenapa kalian malah hendak menantang perkara denganku, padahal aku tidak membawa benda yang kalian inginkan itu?""Jangan banyak mulut kau, Sastrawan Kudisan!" sergap Waraksuro. "Kau dan temanmu, pendeta gendeng itu, telah mempermalukan kami di hadapan sekian banyak orang! Untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa,
"Mereka Empat Iblis Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa. Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju. Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh Dewi Pedang Halilintar."Jahanam kau, Sastrawan Bau!" Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari tangannya terkepal untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba datang menyerangny
Empat Iblis Gundul tampak mengedarkan pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Iblis Gundul meneriakkan kata-kata tantangan."Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat urusan dengan Empat Iblis Gundul, kenapa menyembunyikan diri!"Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu. Sementara, sang mentari telah jauh condong ke barat. Sinarnya lemah, mengelus hangat.Memuncak amarah Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedruk-gedruk tanah penuh rasa kesal. Hingga, bumi bergetar diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat I
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat kekerasan itu.""Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria Seribu Syair. Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi."Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair. Melihat bekas putra mahkota itu membungkukkan badan, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan tak tertulis di rimba persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan oleh ketinggian ilmuny
Maka, pendekar tampan yang ternyata sejak tadi diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba mengutarakan maksudnya kepada Pak Tua pemilik kedai tersebut. "Apakah kau menyediakan kamar untuk penginapan, Ki?""Tidak. Maksudmu bagaimana, Baraka?""Kalau ada kamar, aku akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam itu. Karena..., terus terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam perjalanan menemui Raja Hantu Malam.""Hahh...!" Ki Rosowelas terkejut. Baraka memang tidak jelaskan pokok masalah sebenarnya agar tak mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik kedai itu.Baraka hanya berkata, "Aku punya sedikit urusan dengan Raja Hantu Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan hitam itu memang Raja Hantu Malam, berarti aku tak perlu susah-susah mendaki Gunung Keong Langit. Jika memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa sebenarnya bayangan hitam itu.""Tapi dia berbahaya, Baraka. Bayangan hitam itu, baik dia
Karena tutur katanya sopan dan wajah Baraka tidak kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas pun mempersilakan Baraka untuk masuk ke kedainya. Kedai itu tidak ditutup semua, melainkan disisakan satu pintu untuk keluarnya Baraka nanti. Selain mengisi perutnya, Baraka juga memesan secangkir arak. Dua potong ketan bakar dinikmati pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani Baraka dengan ikut menikmati secangkir arak pula.Seorang gadis manis berkulit hitam segera bergegas ke belakang setelah membantu beberes tempat itu. Gadis manis berusia sekitar dua puluh tahun itu adalah anak tunggal Ki Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun.Mulanya Ki Rosowelas dan mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan, karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi tidak pernah mempunyai anak. Ketika mereka sudah berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi sayang sang istri harus mening
"Kuhancurkan tubuh Sumbaruni jika kau tak mau tunduk padaku, Baraka!" kata Nila Cendani mengancam dengan suara dingin."Aku tak akan pernah tunduk pada orang sesat sepertimu, Nila Cendani!""Bagus. Kalau begitu kau ingin lihat tubuh Sumbaruni hancur sekarang juga!"Wuuut...! Claaap...!Dari mata Nila Cendani melesat selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni yang terkapar tak berdaya itu. Baraka yang memang mengetahui kalau serangannya bisa menyentuh Ratu Tanpa Tapak, cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus 'Tapak Dewa Kayangan', yaitu Sinar putih perak yang keluar dari telapak tangan yang disatukan di dada dan disentakkan ke depan.Baraka memang sudah mengetahui keistimewaan akan dirinya yang akan selalu perjaka, walaupun keperjakaannya itu sudah di obral kesana kemari.Claap...!Blegaaarrr...! Ledakan lebih dahsyat dari yang tadi telah membuat tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di seberang sana tumba
Dalam perjalanannya menuju Gunung Keong Langit, yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk gunung itu seperti rumah keong raksasa itu, Baraka sempat berpikir tentang semua kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu."Mungkin memang karena tak beristri lagi, maka Raja Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa diawali dari dasar laut? Mengapa sasaran pertamanya Ratu Asmaradani? Apakah dengan begitu tingkah lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi? Atau karena Raja Hantu Malam tak bisa menahan hasratnya untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu Asmaradani yang masih tampak muda itu?"Renungan itu patah. Langkah pun terhenti. Pandangan Baraka segera tertuju ke arah kirinya. Di sana ada tanah lega berpohon jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu kesakitan dengan letupan-letupan yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Baraka segera bergegas ke pertarungan dua perempuan yang jaraknya l
Pada saat Pendekar Kera Sakti tercengang, wajah Ratu Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya terdengar jelas, "Paksa dia untuk sembuhkan diriku, Baraka. Jika memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan caramu. Aku mohon bantuanmu. Pendekar Kera Sakti...!"Baraka masih tertegun merinding melihat keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan alangkah menderitanya hidup tanpa bagian perut ke bawah.-o0o-RINDU MALAM hanya diizinkan oleh Ratu Asmaradani mengantar Baraka sampai di permukaan laut saja. Ia harus segera kembali, karena sang Ratu punya firasat adanya rasa cinta di hati Rindu Malam. Bahkan sebelum ia ditugaskan mengantarkan Baraka ke permukaan laut, sang Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya, "Tak satu pun boleh mencintai Baraka dan merayunya. Dia orang terhormat, murid dari kakak sepupuku. Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Raja Hantu Malam, kalian semua, termasuk aku, berhutang budi kepadanya.
"Ibuku adalah adik dari ibunya Dewi Pedang. Jadi cukup dekat hubunganku dengan bibi gurumu itu, Baraka."Pendekar tampan angguk-anggukkan kepala. Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar Kera Sakti merasa lega dan bangga bisa bertemu dengan Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik dari gurunya sendiri. Tetapi Baraka diam-diam menyimpan keheranan kecil."Tentunya dia punya ilmu tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan persoalannya sendiri? Mengapa harus meminta bantuan padaku?"Kemudian Baraka pun bertanya, "Jadi, bagaimana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu? Bibi atau....""Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang kubutuhkan, tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa menolongku.""Boleh aku tahu apa kesulitanmu, Nyai Ratu?""Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki berilmu tinggi dapat masuk ke negeri ini. Ia mengaku
"Gusti Ratu kami mempunyai ilmu 'Latar Bayangan' yang membuat semua pemandangan di sini seperti pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta."Apakah di sini juga ada siang dan malam?""Ya. Kami juga mengenal siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan rembulan," jawab Rindu Malam."Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai kepekaan indera keenam saja yang bisa sampai di tempat kami ini. Tetapi jika kau tinggal di sini, kau akan dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar masuk ke negeri kami, seperti contohnya ilmu yang kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana Cinta."Seandainya ada...." Kelana Cinta tak jadi teruskan kata, ia melihat seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana. Wanita berambut pendek itu membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Baraka.Maka Kelana Cinta berkata, "Sebaiknya kita segera masuk ke istana. Pendeta Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk menghadap sang Ratu.""O
"Aneh sekali!" gumam Baraka sambil memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak ada pohon, tak ada atap, tak ada apa-apa. Tentu saja Pendekar Kera Sakti bingung mencari di mana negeri Samudera Kencana itu.Rindu Malam membawa Baraka persis ke tengah pulau. Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak saling mendekat di depan dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung telunjuk dan ujung jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat. Kelana Cinta memusatkan pikirannya, mengerahkan tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung pertemuan dua telunjuk tersebut.Kejap berikut, ujung telunjuk itu lepaskan selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar itu melesat tanpa putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut. Sinar itu bergerak sesuai dengan langkah kaki Kelana Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Baraka. Sinar warna-
"Memang... memang hanya salah paham saja."Baraka tertawa, tapi Rindu Malam dan Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling menyerang. Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya tidak membuat si pendekar tampan besar kepala, karena merasa diperebutkan.Tiba-tiba sekelebat bayangan datang dari arah belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah berwujud di depan mereka, membuat Sumbaruni dan Baraka sedikit tercengang melihat penampilan seorang tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus dan berjubah putih kusam. Orang itu bukan orang tua yang bertarung aneh di puncak bukit seberang tadi, melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Baraka dan Sumbaruni. Dia adalah Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan di Bukit Kayangan untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki Empu Sakya."Sumbaruni, syukurlah kau bisa kutemui di sini!" kata Raja Maut."Ada apa, Prasonco?" tanya Sumbaruni menyebutkan nama asli Raja Maut.