Sementara, Ikan Mas Dewa terus meluncur berputar-putar. Semakin besar gelombang dan ombak yang terbuat. Akibatnya, semakin banyak perahu yang terbalik atau pecah karena saling bentur. Para saudagar dan bangsawan tak berani mendayung perahu ke tengah telaga. Kekuatan Ikan Mas Dewa benar-benar membuat mereka ngeri. Belasan saudagar dan bangsawan bahkan tampak tergesa-gesa menambatkan perahu lalu meloncat ke daratan.
Namun, bagi para pesilat yang sudah terbiasa melihat sesuatu yang menggiriskan, kekuatan Ikan Mas Dewa malah membuat semangat mereka terbakar. Sambil menjaga keseimbangan perahu agar tak terbalik, mereka melemparkan berbagai jenis senjata tajam. Maka dalam beberapa kejap mata, puluhan tombak, pedang, golok, trisula, dan anak panah tampak berlesatan. Namun, Ikan Mas Dewa tampak tenang-tenang saja. Hujan senjata yang menimpa tubuhnya tak satu pun yang dapat melukai. Padahal, senjata-senjata itu dilemparkan dengan kekuatan penuh yang disertai tenaga dalam.
Mel
Keempat kakek itu langsung menerjang Baraka dengan serangan-serangan mematikan. Mereka meloncat bergantian dan saling bertukar perahu. Baraka jadi kerepotan. Selain harus menghindari sambaran golok yang datang bertubi-tubi, dia pun harus tetap memegangi tali baja yang membelit Ikan Mas Dewa."Empat Iblis Gundul! Kalian benar-benar tak tahu peradatan!" Tiba-tiba, dari sisi kiri perahu Baraka terdengar teriakan keras yang dibarengi melesatnya sebuah perahu. Penumpangnya seorang kakek berwajah halus yang mengenakan pakaian serba hijau. Dia Bagus Tembini alias Sastrawan Berbudi!Usai berteriak, Sastrawan Berbudi langsung menerjang salah seorang dari empat kakek berkepala gundul yang disebut sebagai Empat Iblis Gundul. Cepat sekali gerakan Sastrawan Berbudi. Dengan menggunakan sebatang bambu sepanjang tiga jengkal yang ujungnya terdapat bulu-bulu halus, dia berani menangkis tebasan golok yang mengarah ke pinggang Baraka.Trang...!Bunga api memercik ke mana-ma
Bayangan itu berkelebat cepat sekali. Namun, mata Baraka yang tajam dapat melihat bila si bayangan membawa sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning berkeredepan. Jelas sekali bila pedang itu adalah sejenis pedang pusaka yang tentu saja memiliki ketajaman luar biasa! Melihat si bayangan terus melesat mendekati Ikan Mas Dewa, Baraka jadi khawatir. Walau Ikan Mas Dewa kebal terhadap senjata tajam, tapi apakah dia juga kebal terhadap tusukan atau tebasan pedang pusaka" "Awas...!" Baraka berteriak keras untuk memberi peringatan. Ikan Mas Dewa menggerakkan sirip dan ekornya, namun... lesatan bayangan merah lebih cepat. Akibatnya..... Crept! Crash...! Byarrr...! Byarrr...! Ikan Mas Dewa menggeliat kesakitan. Timbul gulungan ombak besar. Air telaga yang semula jernih berubah merah karena ternoda oleh cairan darah. "Ya, Tuhan...." Sekali lagi, Baraka menyebut nama kebesaran Sang Penguasa Tunggal. Pemuda ini dapat melihat den
PUCUK-PUCUK cemara melambai dalam senyuman, menyambut siraman sinar mentari sore hari. Aneka warna burung parkit berkicau riang bersama elusan sang bayu. Di antara jajaran manusia yang berdiri di tepi Telaga Bidadari, dua sosok bayangan berkelebat meninggalkan perahu yang mereka tumpangi.Kedua bayangan itu berkelebat cepat sekali dan menimbulkan tiupan angin kencang bergemuruh. Daun cemara berguguran, jatuh ke tanah bagai ribuan jarum yang ditebarkan dari angkasa. Ketika melewati sebuah aliran sungai yang berada di utara Kota Salakan, sosok bayangan yang ada di belakang berteriak keras, "Berhentilah, Sahabat! Kita salah langkah!"Mendengar teriakan yang dialiri tenaga dalam itu, sosok bayangan yang ada di depan langsung menghentikan kelebatan tubuhnya. Ternyata, dia seorang kakek berkepala gundul licin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus jubah kuning dan selempang kain merah bercorak kotak-kotak. Wajahnya yang halus menyiratkan sifat welas asih. Seuntai tasbih meli
"Jahanam kau, Sastrawan Jelek! Sudah tahu kenapa bertanya lagi!" sentak salah satu dari Empat Iblis Gundul yang mengenakan kalung perak. Namanya Surogentini. Sambil berkata, Surogentini menggerak-gerakkan goloknya seakan sedang mencacah wajah Sastrawan Berbudi. Sementara, ketiga teman Surogentini yang bernama Surogati, Waraksuro, dan Banyaksuro langsung memasang kuda-kuda.Namun, Sastrawan Berbudi malah tersenyum. Ditatapnya wajah Empat Iblis Gundul bergantian."Kupikir, aneh juga tindakan kalian ini," ujarnya."Jauh-jauh kalian datang dari Pesisir Laut Selatan tentu terkandung satu tujuan untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa. Tapi, kenapa kalian malah hendak menantang perkara denganku, padahal aku tidak membawa benda yang kalian inginkan itu?""Jangan banyak mulut kau, Sastrawan Kudisan!" sergap Waraksuro. "Kau dan temanmu, pendeta gendeng itu, telah mempermalukan kami di hadapan sekian banyak orang! Untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa,
"Mereka Empat Iblis Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa. Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju. Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh Dewi Pedang Halilintar."Jahanam kau, Sastrawan Bau!" Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari tangannya terkepal untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba datang menyerangny
Empat Iblis Gundul tampak mengedarkan pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Iblis Gundul meneriakkan kata-kata tantangan."Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat urusan dengan Empat Iblis Gundul, kenapa menyembunyikan diri!"Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu. Sementara, sang mentari telah jauh condong ke barat. Sinarnya lemah, mengelus hangat.Memuncak amarah Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedruk-gedruk tanah penuh rasa kesal. Hingga, bumi bergetar diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat I
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat kekerasan itu.""Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria Seribu Syair. Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi."Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair. Melihat bekas putra mahkota itu membungkukkan badan, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan tak tertulis di rimba persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan oleh ketinggian ilmuny
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sastrawan Berbudi. "Kau tetap saja tak berubah, Sahabat. Sungguh aku benar-benar kagum kepadamu. Kau sangat pandai merendah. Ha ha ha.... Tahukah kau, Sahabat, sikap merendah itu justru membuat diriku merasa semakin kecil dan tak ada apa-apanya bila dibanding dengan dirimu?.”“Benar! Benar apa yang dikatakan Sastrawan Berbudi," sahut Pendeta Tasbih Terbang. "Aku pun merasa kecil dan tak berarti sama sekali. Sungguh kau memang patut dipuji dan disanjung, Sahabatku Ksatria Seribu Syair. Kau memiliki jiwa besar. Aku tahu riwayat hidupmu. Kau difitnah orang. Kau diburu orang. Namun, kau tetap tabah dan tak mendendam kepada siapa pun....""Ya! Ya!" potong Ksatria Seribu Syair, cepat."Aku telah melupakan perjalanan hidupku di masa muda. Kau tak perlu mengungkit-ungkit lagi, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang...."Melihat air muka Ksatria Seribu Syair yang berubah kelam, Pendeta Tasbih Terbang sedikit kaget. Si pendeta
Baraka memandang dengan sengaja tak berkedip supaya kelihatan sedang meneropong mata dan membaca pikiran wanita itu. Si wanita mulai tertarik dan mendesak pertanyaan, "Kalau kau memang peramal, sebutkan nama guruku!""Hmmm... gurumu adalah Nini Pancungsari, orang berilmu tinggi yang punya dendam dengan tokoh sakti bernama Raja Hantu Malam!"Angin Betina mulai semakin tertarik dengan gerak mata yang sedikit melebar tanda terperanjat. Padahal semua keterangan itu sudah diperoleh Baraka jauh sebelum ia bertemu dengan Angin Betina."Apa kau tahu siapa pembunuh guruku?""Hmmm... ya, tahu! Tapi berbeda dengan alam pikiranmu.""Jelaskan!""Gurumu bertarung melawan Raja Hantu Malam, bekerja sama dengan Sri Maharatu. Mereka berhasil membunuh Raja Hantu Malam, gurumu mengambil kalung pusaka Raja Hantu Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil pusaka Cambuk Getar Bumi. Tapi Sri Maharatu orang kejam. Gurumu dipakai bahan percobaan kesaktian cambuk itu. Sr
Pendekar Kera Sakti hanya meraba kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh para tokoh tua. Diam-diam dia mempunyai kecemasan walau kecil sekali. Kecemasan itu berupa bayangan kesaktian Raja Tumbal jika pedang maha sakti itu tak jadi diberikan kepada orangtua Delima Gusti. Menurut Baraka, kesaktian Raja Tumbal akan semakin berlipat ganda; punya pedang maha sakti dan Seruling Malaikat.Siapa orangnya yang bisa mengalahkan dua pusaka dalam satu tangan itu"Baraka sempatkan diri berhenti sejenak. Tanpa terasa, perutnya terdengar mengeluarkan suara aneh.“Ah... sudah lapar aku” membatin Baraka, rupanya karena ruwetnya apa yang saat ini dipikirkannya, sampai Baraka lupa mengisi tenaganya. Gagasan yang terlintas adalah singgah di desa Pucangan, karena desa itulah yang terdekat dari tempatnya berhenti."Aku akan mampir ke kedainya Ki Rosowelas dan mengisi perut di sana. Sekalian ingin melihat kabarnya Sundari, anak gadis Ki Ros
Mereka tiba di padepokan sang Resi ketika matahari mulai bergeser ke barat. Cahayanya masih terang benderang. Kedatangan mereka disambut oleh dua murid sang Resi yang luput dari pembantaian Dampu Sabang. Kedua orang itu adalah Dul dan Sukat."Guru tidak ada di tempat," kata Sukat"Ke mana beliau?""Pergi ke Bukit Kayangan," jawab Dul."Ke Bukit Kayangan!" Baraka berkerut dahi."Ya. Beliau ingin temui seorang tokoh sakti di sana bergelar si Setan Bodong!" kata Sukat tanpa menyadari bahwa yang diajak bicara adalah murid si Setan Bodong. Hal itu membuat Delima Gusti memandangi ke arah Baraka, sebab ia tahu bahwa Baraka adalah murid si Setan Bodong. Tapi karena Baraka berpikir beberapa saat, maka Delima Gusti pun segera ajukan tanya kepada Sukat."Kapan beliau pulang kemari?""Menurut hitungan, hari ini Guru pulang. Mungkin sedikit sore baru tiba.""Kalau begitu begini saja," kata Baraka kepada Delima Gusti. "Kau tunggu sang Resi d
BARAKA terpaksa menemani Delima Gusti dalam perjalanan ke Lembah Sunyi, untuk menemui Resi Wulung Gading. Hal itu dilakukan Baraka demi memperoleh keterangan sejelas-jelasnya dari Delima Gusti tentang kebenaran kata-katanya itu. Sebab, hati Pendekar Kera Sakti kini diliputi kecemasan yang tersembunyi. Jika benar Pedang Kayu Petir akan dijadikan maskawin bagi Raja Tumbal untuk melamar Delima Gusti, itu berarti Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal. Semakin sulit menumbangkan orang yang telah memiliki pusaka Seruling Malaikat itu."Kabarnya memang begitu, Gandar Saka sudah berusia banyak, tapi ia masih awet muda karena memang mempunyai ilmu awet muda. Ia seperti lelaki berusia tiga puluhan," tutur Delima Gusti."Kau pernah bertemu dengannya?""Pernah, yaitu ketika ia selamatkan ayahku dari ancaman orang-orang Pulau Dadap. Waktu itu kami masih bermusuhan dengan Pulau Dadap. Setelah itu aku tak pernah bertemu lagi, karena aku jarang ada di kadipaten. Bel
Wuuut...! Pedang itu kenai tempat kosong karena Delima Gusti menghindar dengan lompatan ke samping.Weess...! Dan ternyata dengan sentakan tangan yang terjulur bergerak ke belakang, pedang bergagang hitam itu bisa kembali mundur dengan cepat.Wuuut!Taab...! Dalam sekejap pedang itu sudah kembali ke tangan pemiliknya. Jurus itu belum pernah dilihat oleh Baraka. Tangan perempuan berpakaian hitam itu seperti mempunyai daya sedot yang mampu membuat pedangnya yang sudah melayang lurus menjadi kembali ke tempat semula. Tentu saja hal itu bisa dilakukan karena tenaga dalam yang tinggi dan sangat terkendali."Bahaya sekali jurus pedangnya itu," gumam Baraka masih belum mau bertindak.Tetapi di lain sisi, Delima Gusti pun lakukan jurus yang memukau, ia tak mau mundur setapak pun ketika lawannya maju menyerang. Pedangnya berkelebat cepat membuat tangkisan-tangkisan sambil mencuri kesempatan untuk merobek perut atau dada lawannya. Bahkan dalam satu keeempata
Sebuah pembelaan telah dilakukan Baraka. Palupi merasa sedang ditutupi kelemahannya. Rupanya Baraka benar-benar menjaga rahasia kelemahan ilmu Palupi, sehingga pendekar tampan itu merasa harus berpikir dan berjuang sendiri mencari jalan keluar dari masalah yang masih buntu itu."Pembelaannya terhadapku cukup membuat hatiku semakin bangga padanya," pikir Palupi. "Tapi apakah pembelaan itu berarti awal tumbuhnya rasa cintanya pada diriku? Semoga saja begitu. Seandainya tidak begitu, aku pun tak boleh sakit hati, karena cinta bebas memilih dan tak baik dipaksakan. Aku hanya bisa berharap agar ia dekat dengan hatiku, jauh dari hati perempuan lain. Mulai sekarang harus kupahami bahwa tidak setiap harapan menjadi kenyataan. Jika harapan itu jauh dari kenyataan, aku tak boleh terlalu kecewa. Untuk membendung rasa kecewa agar tidak melukai hatiku, sebaiknya segalanya kuserahkan kepada garis kehidupanku saja. Biar sang nasib yang menentukan perjalanan kasihku."Termenungn
"Aneh...!" gumam Baraka sambil berkerut dahi dan manggut-manggut."Dalam keadaan seperti dulu, aku sanggup menumbangkan Raja Tumbal. Sayang tak pernah berhasil kutemui kecuali hanya begundalnya saja. Tapi dalam keadaan setelah menjadi ratu dengan penobatan resmi ini, aku merasa kalah ilmu dengan Raja Tumbal. Tapi... hanya kau yang tahu hal itu. Kumohon jangan sampai bocor kepada siapa pun."Baraka kian mengangguk-angguk. "Aku paham maksudmu.""Jadi, dalam menghadapi Raja Tumbal nantinya aku sangat membutuhkan bantuanmu. Kecuali aku bisa memiliki Pedang Kayu Petir, mungkin aku berani hadapi sendiri paman tiriku itu. Tanpa pedang tersebut, aku butuh berlindung di belakangmu, Baraka. Maukah kau menjadi panglima perangku?" tanya Palupi yang membuat Baraka bingung menjawabnya.-o0o-Sebenarnya Baraka tidak ingin mempunyai jabatan yang akan mengikat kebebasannya. Menjadi senopati atau panglima perang adalah pekerjaan yang menyita waktu. Ban
"Aku hanya memancing perhatian bagi orang-orang yang bernafsu memiliki pedang tersebut. Tentu saja bukan orang berilmu rendah yang menghendaki pedang itu, pasti orang berilmu tinggi. Lalu, aku bisa kenali orang-orang berilmu tinggi itu, dan bisa tahu apakah dia berpihak kepada Purnama Laras, atau berpihak kepada orang lain. Sasaran utamaku pada waktu itu adalah Purnama Laras dan orang-orangnya. Karena aku tak tahu hati Purnama Laras ternyata amat mulia. Jika aku ingin lakukan penyerangan, aku harus tahu siapa-siapa saja yang akan kuhadapi nantinya. Jadi kupancing mereka dengan berita adanya Pedang Kayu Petir pada diriku. Sebab aku tahu pedang itu pasti masih diminati oleh para tokoh sakti."Napas Baraka terhempas panjang sebagai penghilang kedongkolan, ia segera bertanya, "Lantas apa kesimpulanmu kala itu?""Ternyata Purnama Laras sangat berhasrat untuk memiliki pedang itu, juga dirimu kulihat sangat bernafsu untuk memilikinya, tapi tak kulihat kau ada di pihak Purnama
"Baiklah, kita lupakan dulu tentang pertemuanku dengan sang Begawan itu," kata Baraka. "Sekarang bagaimana dengan Raja Tumbal?""Untuk mengalahkan Seruling Malaikat-nya kupikir aku harus menggunakan Pedang Kayu Petir kalau memang tak sanggup menandingi kesaktian pusaka tersebut. Persoalannya adalah, saat ini sudah hampir masuk purnama ketiga, berarti aku dan para pejabat di istana harus segera tinggalkan negeri ini. Raja Tumbal akan ganti menguasai negeri ini.""Apakah kau sudah bicarakan kepada Palupi, termasuk tentang Pedang Kayu Petir yang saat menjadi orang gila disebut-sebutkan itu?""Aku belum berani membicarakan karena ia masih menikmati masa kegembiraan. Setelah pesta ini usai, aku akan membicarakannya."Tak ingin mengganggu kebahagiaan dan kegembiraan yang sedang berlangsung pada diri seseorang, sungguh merupakan sikap yang baik dan patut dikagumi. Baraka mengerti betul maksud hati Purnama Laras. Tetapi menurutnya, persoalan Raja Tumbal ada