"Hmmm... Kalau cuma puyer picisan, mana dapat melawan pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'!” ejek Mahisa Birawa.
"Keparat! Licik sekali kau, Jahanam!" umpat Kakaroto sambil mendekap dadanya yang mulai sesak.
"Binatang culas! Kau benar-benar bukan manusia, Mahisa Birawa!" tambah Sawuni dengan napas memburu, dadanya terasa sesak pula. Mendengar kata-kata kasar Kakaroto dan Istrinya, Mahisa Birawa mengerutkan kening. Dia sedikit heran melihat ketahanan tubuh suami-istri yang telah berusia lanjut itu. Sebenarnya, bila seseorang telah menghirup 'Racun Pembunuh Naga', maka tak sampai tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang itu pasti dijemput maut.
"Hmmm... Aku dapat memastikan bila puyer 'Penghidup Jiwa' sama sekali tak mampu melawan pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'...," gumam Mahisa Birawa. "Tapi kenapa mereka bisa bertahan cukup lama. Hmmm... Kemungkinan besar mereka mempunyai tenaga simpanan. Agar tak mengulur waktu, lebih baik ku lumatkan tubuh kakek nenek yang sok
Tersurut mundur si pemuda polos Baraka. Bukan karena gentar, melainkan karena tahu kakek berikat kepala batik mempersiapkan pukulan 'Pelebur Sukma' yang teramat dahsyat."Hmmm... Menilik dari ilmu pukulan yang telah disiapkan kakek itu, dia pasti ingin membunuhku! Terpaksa aku harus menggunakan Ilmu Angin Es dan Api milikku"Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tangan pemuda dari lembah kera itu ini berubah menjadi berkilauan. Lalu 2 larik sinar berkilauan yang berbeda warna muncul dikedua tangannya. Di tangan kiri berwarna putih berkilauan seperti salju dan ditangan kanan berwarna merah berkilauan seperti matahari yang membara. Tanpa segan-segan lagi, kedua tangannya segera dihantamkan ke depan.Werrr! Werrr!Tanpa bisa dicegah dua larik sinar berkilauan itu meluncur, rupanya Baraka telah mengerahkan jurus pertama dari Ilmu Angin Es dan Apinya bernama ‘Dua Unsur Sejalan’ yang langsung memapak pukulan 'Pelebur Sukma' milik
"Aku pun tak menyangka bila Kakek dan istri Kakek adalah sepasang pendekar bergelar Sepasang Nelayan Sakti. Sungguh aku juga tak menyangka, Kek...." potong Kemuning."Aku pun demikian. Aku sama sekali tak menyangka bila kau sebenarnya bernama Kemuning, murid Dewi Pedang Halilintar...," sahut Sawuni seperti latah. "Sungguh pandai kau menyembunyikan kepandaianmu, Kemuning. Benar-benar tak kusangka bila kau adalah Dewi Pedang Kuning...."Kakaroto, Baraka, dan Sawuni sama-sama mengeluarkan isi hatinya. Mereka berucap dengan mata berbinar-binar. Namun, Kemuning atau Dewi Pedang Kuning tampak menundukkan kepala. Lidah si gadis terasa kelu. Bibirnya terasa kaku untuk diajak mengucap kata-kata, "Eh, kau kenapa, Kemuning?" tegur Kakaroto. "Di antara kita sudah tidak ada rahasia lagi. Adakah sesuatu yang membuat hatimu risau?"Perlahan Kemuning mengangkat wajah. Ditatapnya Kakaroto dengan sinar mata redup. "Maafkan aku, Ki...," desisnya.Kontan kening Kakaroto berk
"Berikan aku anggur yang paling bagus dan makanan yang paling enak," pinta Baraka.Kening si pelayan langsung berkerut. Selama bekerja sebagai pelayan kedai, belum pernah dia menjumpai orang yang memesan makanan dengan memberikan uang terlebih dulu. Namun, rasa heran di hati lelaki berpakaian putih-putih itu segera berubah menjadi rasa geli. Setelah menatap wajah Baraka beberapa saat, dia berlalu sambil mengulum senyum. Sejenak, kekhawatiran di hati si pelayan lenyap.Baraka duduk diam menanti pesanannya. Sikapnya acuh tak acuh walau tahu banyak mata memperhatikan. Sesekali kepalanya digaruk dengan senyum cengar cengir. Sementara, di sudut ruangan kedai sebelah belakang tampak seorang gadis cantik yang juga tak lepas memperhatikan semua gerak-gerik Baraka. Gadis berpakaian serba kuning itu duduk semeja dengan seorang nenek yang juga berpakaian serba kuning. Walau sudah tua, wajah si nenek masih menyiratkan sinar kecantikan.Baraka terkesiap saat mendengar seruan
"Kurang ajarrr...! Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!” bentak Iblis Perenggut Roh seraya bangkit dari tempat duduknya. Bibir Dewi Pedang Halilintar mengulum senyum. "Siapa yang tak kenal kau? Sekali lihat, setiap orang pasti akan mengingat dirimu seumur hidup. Karena, kau punya mulut monyong dan kumis kaku panjang yang benar-benar mirip tikus comberan!" "Bangsat!" Sambil memaki, Iblis Perenggut Roh menjejak lantai. Mendadak, tubuh kakek kurus ini melayang cepat seperti burung walet. Jemari tangan kanannya terkepal dan menjulur lurus ke depan. Para pengunjung kedai yang telah mengenal Iblis Perenggut Roh terperangah. Mereka menatap kelebatan tubuh si kakek tanpa berkedip. Walau tahu Iblis Perenggut Roh punya sifat berangasan, mereka sama sekali tak menyangka bila si kakek hendak menjatuhkan tangan maut. Kepalan tangan kanan Iblis Perenggut Roh memang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Sekali lihat, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
Cepat Baraka mendekap mulut karena kelepasan bicara. Tadi, pemuda ini memang merasa geli melihat sikap iblis Perenggut Roh yang tampak begitu takut kepada Iblis Pencabut Jiwa."Jahanam!" geram Iblis Perenggut Roh. Kakek kurus yang merasa terhina itu tak kuasa menahan hawa amarah. Jajaran giginya yang bertautan memperdengarkan suara gemelutuk. Seluruh rasa kesalnya tertumpah pada Baraka.Dengan sorot mata tajam menusuk, Iblis Perenggut Roh menghampiri. Begitu sampai di hadapan Baraka, tangan kanan Iblis Perenggut Roh melayang untuk menepuk bahu kiri si pemuda!Melihat Baraka yang tampak tenang-tenang saja, seluruh pengunjung kedai terbelalak. Walau hanya sebuah tepukan, jangan dikira jemari tangan Iblis Perenggut Roh tidak berbahaya. Karena, tepukan itu disertai ilmu 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'!Balok baja pun akan lumer terkena pukulan tokoh sesat itu, apalagi bahu seorang pemuda yang hanya terdiri dari tulang dan segumpal daging empuk!"Jangan!"
Terbayang di benak Baraka, ucapan Kakaroto yang ingin menjodohkan dirinya dengan Kemuning. Ucapan si kakek yang mengiang di telinga itu membuat hati Baraka makin sedih. Dengan langkah gontai, Baraka keluar rumah. Ditatapnya langit biru yang ditebari awan perak. Baraka tak mau menangis. Karena kalau menangis, berarti dia tidak tabah. Dan kalau tidak tabah, berarti dia tak kuasa men-jalani hidup yang memang penuh tantangan dan cobaan. Begitulah pengertian yang telah mendarah daging dalam diri Baraka sejak kecil.Dengan langkah masih gontai, Baraka melangkah ke halaman samping rumah. Mendadak, langkah pemuda polos itu terhenyak. Cepat diambilnya sebatang kayu besi yang tergeletak di tanah. Batang kayu berwarna hitam itu ternyata potongan dayung perahu."Dayung ini senjata Kakek Kakaroto," desis Baraka, mengamati potongan kayu di tangannya. "Dayung ini terpapas jadi dua karena tebasan senjata tajam. Hmmm.... Bersama Nenek Sawuni, Kakek Kakaroto tentu habis melakukan pertem
Walau Baraka bukanlah seorang pemuda yang gampang naik pitam, tapi karena desakan rasa sedih dan kehilangan, darahnya jadi mendidih. Apalagi, Dewi Pedang Halilintar tak segera memberi penjelasan."Kau akui bila darah yang melumuri pedangmu adalah pedang Sepasang Nelayan Sakti, tapi kenapa kau tak mau mengakui bila kaulah pembunuh kakek nenek itu!” seru Baraka dengan sorot mata berkilat-kilat."Aku tidak membunuh siapa-siapa...," sahut Dewi Pedang Halilintar.Bummm...!Terdesak rasa jengkel, Baraka menggedruk tanah. Tanpa sadar gedrukannya disertai tenaga dalam. Akibatnya, bumi berguncang, dan tubuh Dewi Pedang Halilintar jatuh berguling-guling."Dasar Tolol!" maki Dewi Pedang Halilintar kemudian. Bola matanya melotot besar, tak berkedip menatap wajah Baraka. Melihat perubahan sikap si nenek, Baraka menggeram marah. "Aku memang Tolol! Tapi, kalau cuma memecahkan kepala seseorang pembunuh kejam macam kau, kurasa aku cukup mampu!""Aku bu
Mendelik mata Baraka mendengar cerita Dewi Pedang Halilintar. Amarahnya memuncak lagi. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Nek?" selidiknya lagi."Kalau kau tak percaya, kau boleh bunuh aku sekarang juga."Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar itu, Baraka mendesah. Antara percaya dan tidak, Baraka berkata, "Lanjutkan ceritamu, Nek."Dewi Pedang Halilintar batuk-batuk sebentar, lalu berkata, "Kemuning yang berilmu lebih rendah ditotok hingga tak dapat berbuat apa-apa. Dan dengan kecepatan luar biasa, pemuda itu memungut potongan senjata yang tergeletak di tanah. Tak dapat aku menghindar ketika mata pancing melukai bahu kiriku. Selagi aku mengaduh kesakitan, tiba-tiba pemuda itu menggebuk punggungku dengan potongan dayung....""Lalu?" buru Baraka."Aku jatuh ke tanah. Namun sebelum pingsan, aku sempat melihat pemuda berpakaian serba merah itu menyambar tubuh Kemuning dan membawanya lari....""Keparat!" geram Baraka tiba-tiba."Bila ka