“Kenapa kau malah memberi spirit lawan! Ketua kita dong yang diberi semangat, goblok!”
“O, iya…! Maaf, maaf… aku latah sih!”
Baraka segera mendorong kedua tangannya dan menguatkan ototnya. Ratu Peri Malam sendiri juga ikut bersiap.
Hyyaatttt...!
Ratu Peri Malam mendahului menyerang kearah Baraka. Barakapun tak ingin ketinggalan.
Heaaaa...!
Baraka ikut melesat kedepan dan langsung melesatkan Gelang Brahmananda ditangannya kearah Ratu Peri Malam.
Wings... Wings... Wings... Wings... Wings...!
Gelang Brahmananda melesat cepat mengeluarkan sinar-sinar keemasan, berterbangan keberbagai arah menuju kearah Ratu Peri Malam. Ratu Peri Malam yang saat itu tengah melesat kearah Baraka dibuat terkejut melihat serangan aneh dan gencar yang dilancarkan oleh Baraka.
Selagi di udara, Ratu Peri Malam berusaha untuk bergerak menghindari serangan-serangan Gelang Brahmananda yang berseliweran mengarah ke
TUBUH kurus mirip tulang dibungkus kulit segera naik ke atas sebongkah batu datar lebar. Rimbunan dedaunan bambu hutan membentuk lengkung bagai lorong beratap rimbun. Di bawah rimbunan dedaunan bambu hutan itulah batu datar setinggi dada orang dewasa itu tergeletak berlumut. Dan tubuh kurus tanpa baju kecuali hanya celana pangsi hitam segera duduk bersila dl atas batu tersebut."Kurasa tempat ini sangat cocok untuk bertapa! Selain suasananya tenang, hawa angkernya terasa meniup-niup tengkuk kepalaku," pikir orang tersebut.Lalu ia mulai memejamkan mata perlahan-lahan setelah posisi duduknya terasa enak. Tapi pikirannya masih sempat bicara pada diri sendiri, "Wah, kalau tadi dari rumah bawa bantal enak juga, ya? Jadi pantatku tidak sakit duduk di atas batu ini. Sayang sekali aku tadi lupa membawa bekal nasi dan oseng-oseng pete. Coba kalau aku tak lupa membawanya, pasti tempat bersuasana ini sangat cocok sekali buat dipakai menikmati nasi putih dan oseng-oseng pete saja
Sambil melangkah dan membatin, Baraka kembali berseru dalam keadaan menengok ke kiri,"Banjiirr..!"Rombongan sesepuh desa dan si orang kurus mendekati Baraka. Pendekar Kera Sakti mulai kerutkan dahi sedikit sebagai tanda bahwa ia menaruh curiga dengan mendekatnya rombongan orang tua itu."Anak muda, benarkah kau melihat tanggul sungai jebol?!" sapa sesepuh desa itu.Baraka makin kerutkan dahinya."Jebol?! Siapa bilang tanggul sungai jebol?!"Rombongan sesepuh desa saling pandang. Orang kurus yang tadi mau bertapa itu jadi sorotan mata mereka. Orang itu bingung sendiri. Ia berkata kepada sesepuh desa, "Sumpah mati, Wak Kober! Pemuda inilah yang tadi mengabarkan bencana tersebut pertama kalinya. Aku dengar sendiri, Wak!"Sesepuh desa berkata lagi kepada Baraka, "Anak muda, kumohon kau jangan berlagak bego, nanti bego tujuh turunan baru tahu rasa kau! Katakan saja yang sejujurnya, apa yang telah kau lihat di daerah selatan sana?!"
Temannya itu bernama Bocang. Entah apa maksudnya kok diberi nama Bocang, mungkin singkatan dari Bohongan Kencang atau apa, Baraka tak mau tahu soal nama itu. Yang jelas ia pernah punya kenalan bernama Bocang dan tinggal di desa tersebut. Baraka ingat rumahnya, karena dia pernah datang ke rumah Bocang dua kali, saat Bocang pingsan dari jatuhnya dan saat Bocang mengundang Baraka untuk kondangan dalam rangka sunatan adik Bocang."Lho, apa Nak Baraka belum tahu," kata tantenya Bocang yang juga tinggal serumah dengan anak itu."Belum tahu soal apa, Bibi?""Bocang kan sudah meninggal.""Hah...? Meninggal?!""Iya. Sudah empat puluh hari ini. Kami mau selametan empat puluh harinya nanti malam. Kalau Nak Baraka mau hadir, silakan hadir nanti malam. Kebetulan nanti malam kami panggil dukun segala untuk menghadirkan rohnya Bocang."Baraka kerutkan dahi memandangi bibinya Bocang yang masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun, tapi masih belum menikah
"Tak salah lagi," ucap Baraka dalam renungan, "...itu pasti suara si Iblis Dedemit. Pantas kalau kau pun dikejar-kejar Raga Paksa, karena sebenarnya kau pun akan dipaksa agar menunjukkan di mana letak kuburan si Iblis Dedemit Itu. Bukan sekadar ingin dibunuhnya!""Mungkin saja begitu, sebab Bocang ceritakan hal itu sampai sekecil-kecilnya sih. Kalau aku kan nggak pernah cerita sama siapa-siapa, kecuali hanya kepada sembilan orang di kedai Ki Somat!" Katok Banjir bicara bagai orang tak berdosa, Baraka hanya tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. Terpesona oleh kebodohan Katok Banjir.-o0o-BERKAT kelihaian Pendekar Kera Sakti merayu, akhirnya Katok Banjir bersedia antarkan Baraka ke Bukit Jengkal Demit. Anak itu masih ingat jalan menuju ke kuburan si Iblis Dedemit. Memang pada mulanya Katok Banjir takut disuruh kembali ke kuburan itu, maklum wajahnya sendiri sudah seperti kuburan, jika ia bercermin sering takut dengan wajah sendiri. Tapi secara tak langsung Barak
Wuuutt...!Tab...!Baraka menangkap genggaman tinju lawannya dengan satu tangan. Genggaman itu bagai ingin diremas oleh tangan Baraka. Hal itu cukup mencengangkan mata Katok Banjir, bahkan mata Raga Paksa sendiri ikut terbelalak lebar."Belum pernah ada yang bisa menangkap pukulan si Genjotpati selama ini. Biasanya pukulan itu menghancurkan benda apa saja yang dihantamnya. Tapi tulang tangan anak muda itu tidak menjadi remuk, dan bahkan ia kelihatan ingin meremukkan genggaman si Genjotpati. Alangkah hebatnya! Murid dari perguruan mana dia sebenarnya?!"Kecamuk batin Raga Paksa terhenti, berubah menjadi sentakan mengagetkan ketika ia melihat wajah Genjotpati menyeringai kesakitan sambil memekik panjang. Terdengar pula suara tulang berderak.Krakk!"Waooow...!" pekik Genjotpati kelojotan di tempat. Karena sakitnya maka ia pun segera lepaskan pukulan tangan kirinya yang bertelapak tangan membuka.Wuuuttt..! Baraka menadah pukulan itu den
Buuhg...!Genjotpati terguling-guling di tanah karena terkena hentakan agak kuat, posisinya waktu itu ada di dekat Raga Paksa, Baraka sendiri terpental tak seberapa jauh, tapi ia masih mampu kuasai keseimbangannya sehingga masih mampu berdiri tegak saat daratkan kaki ke tanah. Matanya memandang tajam kepada lawan-lawannya. Ia tersenyum tipis melihat Raga Paksa mengeluarkan darah pada hidung dan telinganya.Sementara itu, Katok Banjir tampak aman di persembunyiannya, tapi masih belum bisa kedipkan mata melihat kehebatan pertarungan tokoh-tokoh yang menurut anggapannya berilmu tinggi itu."Baru sekarang ada orang berani melawan Raga Paksa dan bisa membuat Raga Paksa berdarah!" pikirnya dengan polos. "Kalau begitu, Kang Baraka ini sebenarnya orang sakti dong? Tapi kok nggak punya kumis dan jenggot panjang, ya?"Preman yang ditakuti penduduk desa itu membatin, "Dadaku panas sekali! Sialan, jurusnya mampu membuat jurusku pecah menjadi dua kali lipat lebih keku
Baraka balikkan badan. "Lihat saja nih...," katanya pelan kepada Katok Banjir. Lalu, sang Pendekar Kera Sakti segera gunakan jurus 'Sentak Bumi' yang diajarkan Setan Bodong padanya. Dengan cara menghentakkan kakinya ke tanah dialiri tenaga dalam tinggi, maka seseorang yang bersembunyi di balik semak-semak itu terlempar ke atas bagaikan ada kekuatan yang membuangnya terbang.Dugg...! Wuuut...!Wes, wess...!Orang itu pun bersalto dua kali sambil menjaga keseimbangan tubuhnya. Dalam kejap berikut orang tersebut sudah mendarat di depan Baraka dan Katok Banjir dalam jarak enam langkah.Katok Banjir terbengong melompong melihat kehebatan jurus 'Sentak Bumi, dan segera heran melihat sosok berwajah cantik jelita berdiri di depannya. Sosok cantik jelita itu berambut sepundak, lurus dan lemas dengan rambut depan diponi, tanpa ikat kepala. Wajah cantik berhidung bangir itu mempunyai mata bundar bening dan bibir mungil melenakan jika dipagut. Usianya sekitar dua pul
"Sebutkan dulu namamu, nanti aku akan menyerangmu!"Gadis itu menatap tajam dan penuh pancaran kebencian, tapi akhirnya ia pun berkata dengan nada kian ketus,"Namaku Awan Sari! Puas?""Belum. Mana bisa puas, diapa-apakan saja belum kok sudah disuruh puas?" ledek Baraka sengaja bikin jengkel hati si cantik itu.Bahkan Baraka berseru lagi dari atas pohon, "Yang benar namamu Awan Sari atau Sari Awan?""Mulutmu itu yang kena penyakit sariawan!" sentaknya makin tampak jelas kejengkelannya. Hati pendekar tampan yang konyol itu merasa gembira bisa membuat gadis secantik Awan Sari bersungut cemberut penuh kedongkolan.Bahkan Awan Sari segera lepaskan pukulan bersinar merah seperti tadi, namun lagi-lagi hanya dihindari oleh Baraka dengan pergunakan gerakan kilatnya yang dinamakan jurus ‘Gerak Kilat Dewa Kayangan’ itu. Itulah sebabnya tahu-tahu Baraka sudah ada di bawah dan posisinya ada di belakang Awan Sari. Sedangkan pukulan A
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern