Baraka balikkan badan. "Lihat saja nih...," katanya pelan kepada Katok Banjir. Lalu, sang Pendekar Kera Sakti segera gunakan jurus 'Sentak Bumi' yang diajarkan Setan Bodong padanya. Dengan cara menghentakkan kakinya ke tanah dialiri tenaga dalam tinggi, maka seseorang yang bersembunyi di balik semak-semak itu terlempar ke atas bagaikan ada kekuatan yang membuangnya terbang.
Dugg...! Wuuut...!
Wes, wess...!
Orang itu pun bersalto dua kali sambil menjaga keseimbangan tubuhnya. Dalam kejap berikut orang tersebut sudah mendarat di depan Baraka dan Katok Banjir dalam jarak enam langkah.
Katok Banjir terbengong melompong melihat kehebatan jurus 'Sentak Bumi, dan segera heran melihat sosok berwajah cantik jelita berdiri di depannya. Sosok cantik jelita itu berambut sepundak, lurus dan lemas dengan rambut depan diponi, tanpa ikat kepala. Wajah cantik berhidung bangir itu mempunyai mata bundar bening dan bibir mungil melenakan jika dipagut. Usianya sekitar dua pul
"Sebutkan dulu namamu, nanti aku akan menyerangmu!"Gadis itu menatap tajam dan penuh pancaran kebencian, tapi akhirnya ia pun berkata dengan nada kian ketus,"Namaku Awan Sari! Puas?""Belum. Mana bisa puas, diapa-apakan saja belum kok sudah disuruh puas?" ledek Baraka sengaja bikin jengkel hati si cantik itu.Bahkan Baraka berseru lagi dari atas pohon, "Yang benar namamu Awan Sari atau Sari Awan?""Mulutmu itu yang kena penyakit sariawan!" sentaknya makin tampak jelas kejengkelannya. Hati pendekar tampan yang konyol itu merasa gembira bisa membuat gadis secantik Awan Sari bersungut cemberut penuh kedongkolan.Bahkan Awan Sari segera lepaskan pukulan bersinar merah seperti tadi, namun lagi-lagi hanya dihindari oleh Baraka dengan pergunakan gerakan kilatnya yang dinamakan jurus ‘Gerak Kilat Dewa Kayangan’ itu. Itulah sebabnya tahu-tahu Baraka sudah ada di bawah dan posisinya ada di belakang Awan Sari. Sedangkan pukulan A
"Karena kau telah mengusik kegemaran pribadiku dengan racunmu itu, maka aku pun terpaksa akan mengusik nyawamu, Awan Sari!""Tak ada yang kutakuti sedikit pun pada dirimu, Dadanila! Cuma kuminta pertimbangkanlah langkahmu nanti. Jika kau berurusan denganku, maka kau akan berurusan dengan guruku; si Hantu Cungkring!""Kau pikir gurumu punya kekuatan untuk melumpuhkan aku?! Justru gurumu si Hantu Cungkring akan kubuat bertekuk lutut dan menyembah-nyembah dl depanku, bila mana perlu sampai menciumi telapak kakiku karena muridnya telah mengganggu hobi pribadiku!""Lancang sekali mulutmu, Dadanila! Jangan salahkan aku kalau kau sebentar lagi kehilangan kepala dan pulang nyasar- nyasar!""Buktikan kecongkakanmu! Terima dulu jurus 'Pancaran Maut'-ku ini, Awan Sari! Hiaaah...!"Clappp...!Sinar kuning melesat dari ujung kuku jari telunjuk kiri Dadanila. Sinar kuning itu berbentuk panjang dan lurus, gerakannya sangat cepat. Awan Sari menangkisnya den
"Luar biasa. Memang anak ini benar-benar anak aneh. Pingsan saja masih bisa menantang, apalagi kalau dalam keadaan sadar. Oh, aku tak bisa bertahan lagi."Sistem penyembuhan untuk menghancurkan Racun Kembang Kubur telah membuat kepekaan tinggi dari semua urat saraf di tubuh sang Pendekar Kera Sakti. Karenanya, pemuda itu bagaikan pria yang rajin minum ginseng dan makan telur-madu. Perempuan yang sudah telanjur menjadi korban racun 'Penakluk Hawa' dari darah kejantanan Baraka, akhirnya terkulai lemas sendiri. Cahaya matanya berbinar-binar penuh kelegaan. Wajahnya berseri bagai telah menemukan segunung kegembiraan yang didambakan.Apa yang terjadi jika Baraka sadar pada saat Dadanila menjadi pilot penerbangan menuju ambang surga cintanya? Marahkah Baraka melihat dirinya yang pingsan dimanfaatkan oleh Dadanila?Ternyata tidak. Wah, edan lagi nih. Baraka malah memberikan respon yang lebih agresif lagi. Hal itu disebabkan karena sistem penyembuhan tadi telah membuat
Merasa hatinya telah damai batinnya telah terpenuhi, sekalipun di tempatnya Dadanila dipanggil sebagai Gusti Ratu dan sering keluarkan perintah, tapi di depan pemuda tampan menggiurkan itu ia tak mampu keluarkan perintah bahkan menolak perintah pun tak sanggup. Dadanila mengendap-endap mendekati bagian dekat mulut gua. Baraka membayang-bayangi dari kejauhan. Nyala api unggun tak sempat dipadamkan. Mudah-mudahan orang yang baru masuk tadi tidak sempat menangkap nyala api unggun yang ada di kedalaman lorong gua tersebut. Tapi seandainya orang itu mengetahui ada nyala api unggun, Baraka sudah punya rencana sendiri untuk orang tersebut.Tamu gua itu ternyata seorang lelaki berambut putih panjangnya sepunggung. Rambut putihnya diikat ke belakang dengan seutas tali yang sepertinya dari jenis akar pepohonan. Kumis dan jenggotnya cukup lebat tapi lemas, berwarna putih rata. Wajah tuanya mempunyai sepasang mata cekung. Mata itu memancarkan rasa dingin yang tidak bisa ditebak apa yang
BULAN PURNAMA kurang dua malam lagi. Bukit Jengkal Demit sudah banyak disatroni para tokoh rimba persilatan. Tentu saja mereka datang secara sembunyi- sembunyi. Ada yang datang berdua, ada yang datangnya bertiga. Tetapi yang banyak mereka datang secara pribadi. Sendiri dan tersembunyi. Arah sasaran mereka adalah kuburan di bawah pohon beringin berdaun merah.Pohon beringin berdaun merah hanya ada satu di seluruh Bukit Jengkal Demit. Di bawah pohon itulah jenazah Iblis Dedemit dimakamkan oleh murid tanggungnya yang bernama Layang Petir. Keadaan si Layang Petir yang gemar mabuk kala itu membuat rahasia tentang kuburan Iblis Dedemit bocor ke mana-mana. Akibatnya sekarang kuburan itu menjadi bahan incaran para tokoh. Mereka yakin bahwa Patung Dedemit akan keluar dari makam itu, sebab tanda-tandanya persis seperti apa yang dikabarkan oleh Layang Petir, yaitu tentang rembulan berwarna hitam.Jika dari awal kemunculan rembulan sudah ada awan hitam melapisi cahayanya, maka sud
"Iih...!" Baraka bergidik merinding membayangkan diajak bercumbu seorang banci. Dadanila sempat tertawa melihat Baraka bergidik merinding.Dadanila berkata kepada Baraka, "Kalau saja sekarang ia masih hidup dan mengejar-ngejarmu untuk diajak bercumbu, mungkin aku akan korbankan nyawaku buat melawannya mati-matian.""Ah, kecemburuanmu itu hanya luapan gairah belaka!" ujar Baraka yang membuat Dadanila tersipu dan mencubit lengan Baraka."Kusarankan lebih baik kalian pikirkan hubungan kasih kalian itu. Kulihat kalian amat mesra. Tak perlu memikirkan Patung Dedemit, nanti kalian malah tak jadi kawin.""Kawinnya sih sudah," jawab Dadanila sambil cekikikan, matanya masih saja melirik jalang dan nakal. Tapi tokoh tua itu tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan berkata dengan serius lagi. "Bulan purnama nanti akan terjadi pertarungan yang sia-sia. Kuburan itu akan menjadi kubangan darah, dan darah itu adalah darah orang yang menjadi korban kabar bohong! Barangkali to
Di atas pohon itu gairah Baraka juga terbakar lagi. Ia menjadi pemuda yang mudah terpancing khayalan mesum. Tapi ia segera sadar akan pengaruh kekuatan sinar dari mata Pak Tua yang membuatnya jadi begitu. Maka secara diam-diam ia melawan kekuatan aneh itu dengan pengaturan napas tingkat tinggi dan penyaluran hawa murninya ke seluruh tubuh. Cara itu berhasil meredakan tuntutan batin yang menghendaki pergumulan dengan Dadanila atau siapa saja. Sambil memperhatikan suasana di sekitar makam Iblis Dedemit, Baraka mengobati dirinya sendiri terus-terusan sehingga kekuatan sinar beracun itu lenyap dari dirinya.Tiba-tiba Baraka dan Dadanila tertarik dengan datangnya suara deru kaki kuda dari arah barat. Ternyata ada tiga orang penunggang kuda yang sedang menuju ke makam di bawah pohon beringin merah itu."Kau kenal mereka?" tanya Baraka pelan kepada Dadanila yang berdiri di sampingnya di atas dahan yang sama."Kalau tak salah mereka adalah orang-orang Lembah Cingur!" ja
Brukk...!Cambuk Berang jatuh terkapar sambil menahan rasa sakit di punggung dan dada. Sementara itu, Nyai Perawan Busik terpental pula akibat ledakan tadi, namun tak sempat membuatnya jatuh terduduk seperti si Malaikat Bisu itu."Setan alas kau, Malaikat Bisu! Mundurlah, biar kuhabisi nyawa si anak monyet itu!" seru Nyai Perawan Busik.Malaikat Bisu hanya gelengkan kepala dengan sorot pandangan mata yang tajam, menantang sang Nyai. Akibatnya nenek itu menggeram jengkel dan melepaskan pukulan pelumpuh yang bersinar kuning kecil seperti telur ayam kampung.Clappp...!Dari pergelangan tangannya keluar sinar kuning itu. Tapi oleh Malaikat Bisu sinar tersebut dihantam de- ngan kepala tongkat yang berbentuk tengkorak manusia.Duarr...!Agaknya Malaikat Bisu tak mau musuh lamanya dihabisi oleh orang lain, ia berusaha untuk mempertahankan nyawa Cambuk Berang, karena nanti akan dibunuhnya sendiri. Persoalan
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern