ANGIN aneh menerpa alam sekitar Pulau Dedemit. Seperti diceritakan. Pulau Dedemit merupakan wilayah kekuasaan Raja Dedemit yang bernama Kala Coro. Orangnya tinggi, besar, wajahnya menyeramkan karena serba besar sampai pada giginya pun besar-besar. Kepalanya gundul berkuncir segepok melengkung ke belakang. Untung ditutup dengan mahkota sehingga tak kelihatan gundul total.
Kala Coro bukan Dedemit sembarang Dedemit. Dedemit belel pun bukan. Dedemit murahan juga bukan. Kesaktiannya sudah tentu sangat tinggi. Kalau tak tinggi, tak akan menjadi Raja Dedemit. Mungkin hanya menjadi Raja singa.
Ia mempunyai anak buah atau perajurit Dedemit juga. Tapi Dedemit yang sudah menjelma menjadi manusia. Walau demikian, ciri-ciri Dedemit masih ada pada mereka; tubuh tinggi, besar, sangar dan punya kekuatan besar juga. Nama Kala Coro sendiri cukup dikenal di kalangan para tokoh tingkat tinggi.
Pulau Dedemit sendiri awalnya milik Ratu Geledek Hitam. Ia diserang Kala Coro dan kalah,
Sanjung Jelita menggeliat pelan-pelan berusaha untuk bangkit dari jatuhnya. Sanjung Jelita pejamkan mata sejenak, menahan napasnya beberapa saat, lalu disalurkanlah hawa murni di daerah punggung, sehingga rasa sakit di punggungnya itu mulai berkurang.Raja Kala Coro mengumpat dengan sebaris maki- makian yang tak jelas karena suaranya menggelegar menggetarkan pepohonan dan bebatuan sekelilingnya. Yang jelas, Sanjung Jelita segera kerutkan dahi melihat sesosok tubuh asing yang berdiri dalam jarak delapan langkah dari Kala Coro.“Monyet gabuk! Rupanya kau yang mengganggu perjalananku, Ratu Peri Malam!”Sanjung Jelita terperangah. “Rupanya perempuan cantik itulah yang bernama Ratu Peri Malam?! Ya, ampuuun…? Alangkah cantiknya dia! Ternyata benar apa yang pernah diceritakan Ayah memang benar. Ratu penguasa para peri yang munculnya tiap malam sampai menjelang fajar itu ternyata memang benar-benar memiliki rupa tercantik di dunia.”
Blaammm…! Kraakkk…! Brraakk…!Guncangnya hebat terasa jelas. Bumi bagai ingin tenggelam atau terjungkir balik tak karuan. Ledakan tadi yang membuat alam porak poranda. Ditambah lagi getaran jatuhnya tubuh Kala Coro seakan kian membuat tanah di sekelilingnya melesak ke dalam. Bukir cadas itu longsor hampir separuh bagian. Salah satu sisi puncaknya menyembur ke atas.Braaasss…!Udara menjadi kotor karena badai menerbangkan serpihan tanah cadas. Sanjung Jelita sendiri yang jaraknya cukup jauh bisa terpental ke belakang, masuk ke semak-semak dan terkapar di sana. Begitupun tubuh langsing sekal milik Ratu Peri Malam. Tubuh itu melayang-layang akibat daya ledak super dahysat tadi. Hanya bedanya, Ratu Peri Malam bisa cepat kuasai diri dan mengatur keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak terhempas seperti Kala Coro. Ratu Peri Malam hinggap di salah satu dahan pohon yang belum tumbang tapi sedang meliuk-liuk akibat sisa badai yang menghempas
MALAM itu, Baraka bermalam di sebuah gubuk tengah sawah milik petani, pada saat ia tertidur bayang-bayang wajah Raja Kala Coro, calon mertuanya itu, muncul di dalam mimpinya. Sang Raja Kala Coro seolah-olah berpakaian serba ungu dan bercahaya. Dalam mimpi itu, Kala Coro seakan bicara kepada Baraka.“Hai, Baraka…….apa kabar? Aku sekarang sudah nggak bisa ketemu kamu dalam wujud nyata. Soalnya aku sudah tak berjasad lagi.”“Kenapa bisa begitu, Paduka?”“Tentunya ada sebabnya. Kalau diceritakan terlalu panjang, bisa-bisa kau tidur dua hari-dua malam baru bangun. Aku akan memberikanmu sebuah senjata maha sakti... Namanya Pedang Raja Dedemit”“Pedang Raja Dedemit, Maksudnya bagaimana, Paduka?”“Carilah sendiri. Namanya saja mimpi, masa’ harus jelas sekali sih?”Setelah bicara begitu, Baraka terbangun dalam sentakan kecil. Oh, ternyata ia berada di tengah sawah dan di
“Jang…. Jang…. Oh, jangan…. Jangan, Baraka.”“Aku hanya ingin meyakinkan apakah wajahmu mulus tanpa tahi lalat atau ada tahi lalatnya. Tak mau ngapa-ngapain kok.”“Ooh… syukurlah. Kukira kau ingin menciumku. Aku sudah takut saja. Soalnya aku sudah….”Cuup…! Tiba-tiba pipi Sanjung Jelita dicium olah Baraka. Kontan darah Sanjung Jelita bagaikan muncrat. Uratnya bagaikan putus. Tubuh lemas. Tulangnya seperti dari tepung terigu. Sanjung Jelita tertegun mematung di tempat dengan pandangan mata hampa. Matanya itu tak berkedip walau ditertawakan oleh Baraka.“Apakah…. Apakah aku habis disambar petir?” ucapnya lirih dan datar.Baraka kian tertawa kalem. “Apakah ada petir yang tampan?”“Nggak tahu…. Badanku…. Badanku jadi lemas sekali. Ooh…. Ooh…!”“Jelita….! Yuu…! Hei, kenapa
“Yang kutanyakan, dari mana kau tahu namaku Dukun Gadai?”“Ooo… itu? He, he, he, he… Aku tadi mendengar sahabatku itu menyebutmu Dukun Gadai. Sahabatku itu tak pernah bohong, jadi aku percaya bahwa namamu Dukun Gadai. Apa mau diganti Gadai Jaya?”“Hmm…! Kau pikir aku kendaraaan angkutan umum sejenis kapal?” Dukun Gadai melangkah hampir mengelilingi. Ia bertanya, “Siapa kau?”“Namaku Pengemis Sakti Tongkat Merah!”“O, jadi kau sahabatnya? Dan tidak terima kalau sahabatmu itu menerima ganjaran atas kelancangannya mau sembuhkan gadis itu?”“Benar! Aku tidak bisa diam saja. Sebagai sahabatnya, matipun kujalani demi membela sahabatku itu. Aku juga ingin mengangkatnya sebagai muridku!” jawab Pengemis Sakti Tongkat Merah agak keras, memancing perhatian Baraka. Sang pemuda tampan segera memandang Pengemis Sakti Tongkat Merah dengan heran dan rada-rada k
Wuuttt…!Dukun Gadai menghantam dengan tongkatnya dari samping.Traakk…! Blaamm!Ledakan mengagetkan terjadi kembali. Tapi tongkat yang menyala merah itu berputar dengan cepat bagaikan baling-baling, bergerak menuju Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tentu saja Pengemis Sakti Tongkat Merah kaget dan kebingungan menangkap kembali tongkatnya. Akhirnya ia sentakkan kaki, melenting di udara. Tapi gerakannya terlambat. Kakinya sudah lebih dulu disambar tongkatnya sendiri pada saat melompat ke atas.Dess…!“Waoow…!” pekikan si jubah kuning sangat keras. Ia jatuh di samping tongkatnya yang telah kembali ke wujud semula. Ia mengerang kesakitan dan memegangi betis kirinya. Ternyata dalam waktu singkat betis itu membengkak biru, makin lama semakin besar dan terasa sakit sekali bagi Pengemis Sakti Tongkat Merah.“Itu hanya hajaran ringan saja,” kata Dukun Gadai. “Agaknya kau perlu diberi pelajaran se
“Rupanya dia membayang-bayangiku selalu,” pikir Pendekar Kera Sakti dalam renungannya. “Dia pernah bilang, ‘Carilah aku di antara kecantikan-kecantikan yang menyebar di sekelilingmu. Aku ada di antara mereka’. Rupanya dengan cara seperti itulah aku diuji untuk membedakan mana yang calon istri mana yang calon korban cinta. Ah, unik sekali percintaan warga kayangan itu. Tapi secara jujur kuakui, dia memang cantik dan sangat menggairahkan semangatku. Tapi alangkah sukarnya memperoleh dirinya? Oke deh, kalau memang dia jodohku, tetap harus kukejar bagaimanapun caranya. Masa’ iya Pendekar Kera Sakti tak mampu menaklukkan bidadari secantik dia? Hmmm…. Awas nanti kalau berhasil kutangkap, habislah kau punya bibir, Non!”Tiba-tiba terdengar suara sapaan orang dalam merintih, “Hoi, hoi….tolong dong kakiku ini! Uuh…! Sakitnya bukan main nih!”Pengemis Sakti Tongkat Merah ternyata semakin tak bisa jalan. B
“Tidak,” jawab Sanjung Jelita setelah mempertajam telinganya dengan berkerut dahi dan sedikit memiringkan kepala.“Tapi aku mendengarnya, Jelita! Aku mendengar jawaban Ayahmu!” Baraka tampak berapi-api.“Paduka, bicaralah lagi padaku!”“Kau memang mendengar suaraku, Baraka. Hanya kau yang mendengar. Orang lain tak bisa mendengarnya.”“Berteriaklah, Paduka! Teriak yang keras biar Jelita mendengar suaramu!”“Menantu kurang ajar, Aku disuruh teriak-teriak! Nggak mau!”“Yaah, Paduka… Sekali saja, Kek. Biar Jelita lega dan ikut gembira! Ayo, berteriaklah sekeras-kerasnya, Paduka!”“Dasar Menantu bandel. Biar aku teriak sampai mulutku robek tetap saja tak ada yang mendengarnya kecuali dirimu sendiri. Sebab tali ikatan batin yang ada hanya antara kau dan aku. Sudah, masukkan lagi aku ke dalam kakimu! Cari si Ratu Peri Malam di Hutan Kulit Setan,
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikannya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut poni, pakaian rompi kulit ular emas tanpa lengan, memiliki rajah naga emas melingkar di punggung lengannya”.Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan ciri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Kera Sakti, Baraka.Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis seusianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpali
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar."Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!""Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar."Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat. Untung Baraka selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar biru berkelok-kelok bagai lidah petirpun keluar dari sentakan kedua tangan Baraka.Claaap...!Jurus 'Cahaya Kilat Biru' warisan Ki Ageng Buana yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar mer
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l